ads
Sunday, January 6, 2019

January 06, 2019

Assalamualaikum...
Mau Tanya. Ketika shalat fardhu berjamaah, bacaan imam (Fatihah & surah) dijahrkan dan makmum mendengarkan berdasar ayat;
وَ إِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dalam hal ini makmum hanya membaca Fatihah setelah membaca aamiin bersama imam.

Pertanyaan:

Apakah yang demikian juga berlaku untuk shalat sunnah yang surahnya ditentukan, seperti shalat Unsil Qabri, shalat Lailatul Qadar, shalat Rebu Pungkasan di bulan Shafar dsb? Makmum cukup membaca al-Fatihah saja atau makmum perlu ikut membaca semua bacaan yang dijahrkan oleh imam?
Matur nuwun.

Jawaban:
Pertanyaan ini sebetulnya bisa dijawab sendiri oleh penanya dengan merujuk, misalnya, kepada pelaksanaan Shalat ‘Id dan Shalat Witir. Berdasarkan hadits Nabi, Rasulullah “telah menentukan” bacaan surah-surah tertentu untuk dibaca saat Shalat ‘Id.
1.     Surah Qaf (surah ke-50) pada rekaat pertama dan surah al-Qamar (surah ke-54) pada rekaat kedua.
أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي ما كان يقرأ به رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأضحى والفطر فقال كان يقرأ فيهما بق والقرآن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر [1]
Bahwasanya Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Waqid al-Laitsiy mengenai surah apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat Idul Adha dan Idul Fitri. Ia menjawab, “Beliau biasa membaca Qaaf, wal qur’anil majiid (yakni surah Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar (yakni surah al-Qamar). (HR. Muslim)

2.    Bisa juga membaca surah al-A’la (surah ke-87) pada rekaat pertama dan surah al-Ghasyiyah (surah ke-88) pada rekaat kedua.
عن النعمان بن بشير قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في العيدين وفي الجمعة بسبح اسم ربك الأعلى وهل أتاك حديث الغاشية قال وإذا اجتمع العيد والجمعة في يوم واحد يقرأ بهما أيضا في الصلاتين[2]
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat ‘Id maupun Shalat Jum’at biasa membaca Sabbihisma rabbikal a’laa (yakni surah al-A’laa) dan Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah (yakni surah al-Ghasyiyah).” Nu’man bin Basyir kembali berkata, “Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, beliau juga membaca kedua surah tersebut dalam kedua shalat itu.” (HR. Muslim)


Begitu pula Shalat Witir, Rasulullah juga “telah menentukan” beberapa surah tertentu yang beliau baca dalam shalat tersebut. Di antaranya tersebut dalam sabda Nabi berikut ini.
عن عبد العزيز بن جريج قال سألنا عائشة بأي شيء كان يوتر رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت كان يقرأ في الركعة الأولى بسبح اسم ربك الأعلى وفي الثانية قل يا أيها الكافرون وفي الثالثة قل هو الله أحد والمعوذتين[3]
Dari Abdul Aziz bin Juraij, ia berkata, “Kami bertanya kepada Aisyah, ‘Dengan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Shalat Witir?’ Aisyah menjawab, ‘Pada rekaat pertama beliau membaca Sabbihismarabbikal a’la (yakni surah al-A’la), Qul yaa ayyuhal kafirun (yakni surah al-Kafirun) pada rekaat kedua, dan Qul huwallahu ahad (yakni surah al-Ikhlas) serta al-mu’awwidzatain (yakni surah al-Falaq dan an-Nas pada rekaat ketiga.’” (HR. at-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

Saat menjadi makmum Shalat ‘Id dan Shalat Witir, apakah kita ikut membaca surah-surah yang dibaca oleh imam? Ternyata tidak. Kita cukup membaca surah al-Fatihah saja. Kesimpulan ini secara otomatis telah menjawab pertanyaan pokok di atas.

Perhatian!
1.     Perlu diketahui bahwa Shalat li Unsil Qabri atau Anisil Qabri merupakan salah satu shalat ala sufi yang memang dipertentangkan keabsahannya oleh para ulama. Syaikh Nawawi al-Bantani termasuk ulama yang mengabsahkannya (Nihayatuz Zain, Bandung: Almaarif, Hlm. 107). Pendapat ini diikuti pula oleh KH. Ali Ma’shum (Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah, hlm. 8-10). Di antara mereka yang menolak shalat ini adalah Ibnu Hajar al-Haitami. Ulama fikih Syafi’iyah termasuk salah seorang penentang shalat-shalat ala sufi sebagaimana catatannya dalam Tuhfah al-Muhtaj, II/238.
نَعَمْ إنْ نَوَى مُطْلَقَ الصَّلَاةِ ثُمَّ دَعَا بَعْدَهَا بِمَا يَتَضَمَّنُ نَحْوَ اسْتِعَاذَةٍ أَوْ اسْتِخَارَةٍ مُطْلَقَةٍ لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ.
“Ya, shalat-shalat ala sufi itu tidak boleh dilakukan, namun bila orang niat shalat sunnah mutlak kemudian setelahnya berdoa dengan doa yang mengandung semacam permohonan perlindungan atau istikharah secara mutlak, maka hal itu tidak mengapa (boleh dilakukan).” Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami diamini pula oleh Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Argumentasi beliau terdokumentasikan dalam buku NU Menjawab (I/12-17): “Tidak ada dasarnya dalam syariat. Terbukti, shalat tersebut tidak tertulis dalam kitab-kitab fikih yang mu’tabar (otoritatif). Selain itu, hadits tentang shalat tersebut juga berstatus maudhu’ (palsu).”[4]

2.    Hadits tentang Shalat Lailatul Qadar tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits mu’tabar. Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) memang terdapat hadits yang menganjurkan menghidupkan Lailatu Qadar dengan memperbanyak beribadah, termasuk dengan shalat.[5] Tetapi hadits tersebut tidak menyebutkan adanya bacaan-bacaan khusus dalam shalat tersebut. Hadits tentang Shalat Lailatul Qadar hanya termaktub dalam kitab Khazinatul Asror karya Syekh Muhammad Haqqi an-Nazili halaman 38 dan kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khaubawiyyi (al-Khubawi atau al-Khubuwi, w. 1824 M) halaman 272. Namun, hadits ini diperselisihkan derajatnya oleh para ulama (entah dhaif maupun maudhu’).[6]

3.    Tentang Shalat Rabu Pungkasan atau Wekasan bisa dibaca dalam https://babarusyda.blogspot.com/2011/11/shalat-rabo-wekasan.html

4.    Tidak sedikit umat Islam yang antusias untuk menunaikan shalat-shalat tertentu yang disebut memiliki khasiat tertentu. Melaksanakannya secara sempurna lengkap dengan bacaan-bacaannya yang telah ditentukan seolah menjadi kewajiban. Ada kesan sakral yang tinggi dalam shalat-shalat tersebut. Tetapi, janggalnya, mereka kurang begitu antusias terhadap shalat-shalat dan bacaan-bacaan yang “mainstream” atau “biasa” (dalam tanda petik). Misalnya, imam shalat Jumat, shalat Witir, atau shalat ‘Id tidak membaca surah al-A’la, --walaupun sah-sah saja diganti dengan surah yang lain--, tetapi mengapa orang-orang tidak pernah mempertanyakannya? Mengapa? Monggo direnungkan!



[5] وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3478&idto=3479&bk_no=52&ID=1202 ,

0 comments: