Pujian diberikan karena
ada sesuatu yang dikagumi. Namun, ada pula pujian yang diucapkan sekadar
basa-basi. Bahkan, ada juga pujian dimanis-maniskan karena pamrih duniawi.
Kata Imam al-Ghazali,
orang yang dipuji sebenarnya sedang dihadapkan pada dua potensi keburukan.
Pertama, terjangkit penyakit hati yang berbahaya, yaitu sombong dan bangga diri
(‘ujub). Kedua, terlena sehingga lupa diri. Pada titik inilah kita mesti
menyadari ternyata pujian itu sejatinya adalah ujian.
Bagaimana kita
menyikapinya? Segera kembalikan pujian itu kepada Dzat yang paling berhak
mendapatkan pujian. Dialah Allah yang Maha Hamid (terpuji).
Ibnu Athaillah
as-Sakandary dalam al-Hikam mengatakan, “Jika engkau mendapat pujian,
sementara engkau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Tuhan yang memang
layak menyandang segala pujian.”
Lebih lanjut
as-Sakandary mewejang, “Seorang mukmin jika dipuji, ia akan malu kepada Allah
karena ia dipuji dengan sifat yang tidak terdapat dalam dirinya.”
Seperti ini pula yang
dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq, tatkala dipuji seseorang ia justru mengadu
kepada Allah, “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku
sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku.
Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah
aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku
dengan perkataan mereka.”
Pujian datang tiada
lain karena keburukan-keburukan kita telah ditutupi oleh Allah Ta’ala. Kalaulah
bukan karena Allah menutupi aib-aib kita, niscaya tidak akan ada orang memuji
kita. Bahkan, seandainya Allah menjadikan setiap keburukan adalah searoma
bangkai, tentu tidak akan pernah ada seorang pun yang sudi duduk berdekatan
dengan kita.
Abu Madyan
al-Maghribi, seorang sufi kelahiran Sevilla (Spanyol), berpesan melalui al-Hikam
al-Ghawtsiyah, “Siapa yang mengenali diri sendiri maka ia tidak akan
tertipu oleh sanjungan manusia.” Mengenali diri bisa diejawantahkan melalui
sederet pertanyaan: siapa sebenarnya kita, untuk apa kita di dunia, dan ke mana
muara kita selepas mati nanti.
Bagi mereka yang cinta
dunia dan lalai dengan kesejatian diri, semua madah akan membuat mereka semakin
pongah. Ketika pujian didapatkan, mereka senang bukan kepalang. Tetapi, ketika tak
ada yang memuji, mereka kecewa dan sakit hati. Na’udzubillah.
*) Tulisan ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Jumat Kliwon, 25 Januari 2019, halaman 12.
10 comments:
Emang saya lebih suka ga dipuji daripada dipuji.. kalo dah dipuji, bawaanya beraaatt hahaha
@Andie: berat diongkos juga, ya, Mas. Hehe
berat tanggung jawabnya mas hahaha
Iya kadang kalau udah dipuji gitu langsung sombong dan tinggi hati.. langsung dibeber beberkan kemana mana tuh berita, ini itulah.. mending yang biasa biasa aja, dan mereka tau karya kita yaang biasa tapi dampaknya luar biasa kan, bisa memotivasi orang lain untuk bisa berkembang dan maju juga
Kalau saya lebih baik di uji dari pada di puji....,
@Andie: hehehe.... iya, Mas.
@Bepe: bener banget, Mas. Sepakat
@Jhon Simpel: memang berat kalau dipuji ya, Mas.
Wahhh tombol balasnya tidak berfungsi dengan baik ya mas, apa mau saya buatkan seperti milik saya di blog be-pe .blogspot.com?
@Bepe: boleh, Mas. Tapi gimana caranya...
Post a Comment