Santri Nurbin

Hot

Post Top Ad

LightBlog

Thursday, April 24, 2025

TIGA DOA MALAIKAT JIBRIL YANG DIAMINKAN KANJENG NABI

April 24, 2025 0

 


Dikisahkan ketika Rasulullah menaiki mimbar, pada tangga pertama beliau berucap “aamiin”. Pada tangga kedua dan ketiga beliau juga berucap “aamiin”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan aamiin tiga kali.”

Rasulullah lalu menjelaskan, bahwa saat menaiki tangga pertama, Malaikat Jibril datang dan berkata: 

 

شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan dan melewatinya tetapi dosa-dosanya tidak diampuni.”


Karena itulah Rasulullah lalu mengucapkan ‘aamiin’.

Pada tangga kedua Malaikat Jibril berkata: 

 

شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

Celakalah orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya tetapi hal itu tidak bisa memasukkannya ke surga.”


Rasulullah kembali mengucapkan ‘aamin’.

Pada tangga ketiga Malaikat Jibril berkata: 


 شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ

Celakalah orang yang ketika namamu disebut di dekatnya tetapi dia tidak bershalawat kepadamu.”


Rasulullah kembali mengucapkan ‘aamiin’.

 

(Hadits ini diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan didokumentasikan oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, bab Man Dzukira ‘Indahu an-Nabiyyu fa lam Yushalli ‘Alaihi, hadits nomor 644.)

Read More

Doa Meredam Amarah & Meluluhkan Hati Seseorang

April 24, 2025 0

 

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ ، وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِيْ ، وَأَجِرْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ

Artinya, “Tuhanku, ampunilah dosaku, redamlah murka hatiku, dan lindungilah diriku dari pengaruh setan.”

 

اللَّهُمَّ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْكَبِيْرُ وَأَنَا عَبْدُكَ الضَّعِيْفُ الذَّلِيْلُ الَّذِيْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ، اللَّهُمَّ سَخِّرْ لِيْ كَمَا سَخَّرْتَ فِرْعَوْنَ لِمُوْسَى وَلَيِّنْ لِيْ قَلْبَهُ كَمَا لَيَّنْتَ الْحَدِيْدَ لِدَاوُدَ فَإِنَّهُ لَا يَنْطِقُ إِلَّا بِإِذْنِكَ نَاصِيَتُهُ فِيْ قَبْضَتِكَ وَقَلْبُهُ فِيْ يَدِكَ جَلَّ ثَنَاءُ وَجْهِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Mahabesar. Aku ini adalah hamba-Mu yang lemah dan hina, tiada daya dan kekuataan kecuali dengan pertolongan-Mu. Ya Allah, mudahkanlah bagiku urusanku, sebagaimana Engkau mudahkan bagi urusan Fir'aun kepada Musa dan lunakkan hatinya bagiku sebagaimana Engkau lunakkan besi bagi Nabi Daud. Karena sungguh dia tidak akan berbicara kecuali dengan izin-Mu, ubun-ubunnya dalam genggaman-Mu, dan hatinya di tangan-Mu. Pujian wajah-Mu telah Agung, wahai Dzat yang lebih sayangnya para penyayang.

Read More

Friday, April 4, 2025

Mengurai Hadits Aqiqah ( مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ )

April 04, 2025 0

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيُّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَعَ الغُلَامِ عَقِيقَةٌ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى.

Dari Salman bin Amir adh-Dhabby, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersama setiap anak, ada aqiqahnya. Maka tumpahkanlah darah untuknya dan bersihkanlah kotoran darinya.” (HR. al-Bukhari no. 5472, Abu Dawud no. 2839, at-Tirmidzi no. 1515, an-Nasa’i no. 4214, dan Ibnu Majah no. 3164)

 

Periwayat pertama hadits ini adalah Salman bin Amir adh-Dhabby, seorang sahabat Nabi.  Namanya adalah Salman bin Amir bin Aus bin Hajr bin Amr bin al-Harits bin Taim bin Dzuhl bin bin Malik bin Sa’d bin Bakr bin Dhabbah. Ia hidup hingga masa pemerintahan Muawiyah, tinggal di Bashrah dan meninggal di kota ini pula.[1]

 

Kosa Kata

عَنْ

:

Dari

قَالَ - يَقُولُ

:

Berkata, bersabda

سَمِعْتُ

:

Aku telah mendengar

مَعَ

:

Bersama

الغُلَامِ

:

Anak laki-laki

عَقِيقَةٌ

:

Aqiqah (rambut bayi yang dicukur; hewan yang disembelih karena kelahiran bayi).

فَأَهْرِيقُوا

:

Maka tumpahkanlah, maka alirkanlah (sembelihlah)

دَمًا

:

Darah

وَأَمِيطُوا

:

Hilangkanlah,  jauhkanlah, bersihkanlah

عَنْهُ

:

Darinya

الأَذَى

:

Kotoran

 

Penjelasan Hadits

  •    مَعَ الغُلَامِ عَقِيقَةٌ

Redaksi yang digunakan oleh an-Nasa’i adalah فِي الغُلَامِ, sementara dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya menggunakan redaksi مَعَ الغُلَامِ. Pada intinya, kedua redaksi tersebut memiliki maksud yang sama, bahwa setiap anak yang dilahirkan disyari’atkan dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.

Walaupun redaksi yang digunakan adalah الغُلَامِ, yang berarti anak laki-laki,[2] syari’at aqiqah ini berlaku juga bagi anak perempuan ( الجارية ). Berdasarkan hadits lain, di antaranya hadits riwayat Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ )رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ(

“Dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing/domba yang sepadan (cukup umur) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing/domba untuk bayi perempuan.” (HR. at-Tirmidzi)

Aqiqah ini dibebankan kepada wali atau orang tua dari anak tersebut hingga sang anak memasuki usia baligh. Hal ini bisa didasarkan pada tinjauan etimologis kata al-ghulam, yang berarti seorang anak sejak ia lahir hingga mendekati usia baligh.[3] Ketika sang anak sudah baligh, gugurlah tanggung jawab aqiqah ini dari pundak orang tuanya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.

Aqiqah, menurut bahasa, berarti rambut di kepala bayi yang baru lahir. Dalam arti yang lain, aqiqah adalah memotong. Adapun menurut istilah syara’, aqiqah adalah hewan yang disembelih pada hari pencukuran rambut bayi yang baru lahir. Ada pula yang mendefinisikan sebagai penyembelihan kambing karena kelahiran seorang bayi. Dan, masih banyak lagi definisi lain, yang pada intinya mencakup dua unsur pokok, yaitu penyembelihan hewan dan dilakukan karena kelahiran seorang bayi.

 

  •       فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا

 “Maka tumpahkanlah darah untuknya,” maksudnya adalah menumpahkan dan mengalirkan darah hewan aqiqah dengan cara menyembelihnya. Untuk bayi laki-laki dua ekor kambing atau domba, sedangkan untuk perempuan satu ekor kambing atau domba. Andai seorang bayi laki-laki diaqiqahi dengan satu ekor kambing maka sudah mencukupi dan mendapatkan kesunnahan aqiqah.

 

  •       وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى

Para ulama berbeda pandangan dalam memahami maksud dari “Dan bersihkanlah kotoran darinya”. Di antaranya adalah beberapa pendapat berikut ini:

  1. Bersihkanlah kepala sang bayi dengan cara mencukur habis rambutnya.
  2. Hilangkanlah kotoran dan najis dari tubuh sang bayi dengan cara memandikannya.
  3.  Bersihkanlah kemaluan sang anak dari kotoran dan najis dengan cara mengkhitannya.
  4. Jauhilah tradisi kotor warisan jahiliyah. Salah satu tradisi jahiliyah terhadap bayi yang baru lahir adalah mengolesi kepala sang bayi dengan darah.[4]

Beberapa pandangan ini bisa dikompromikan dengan cara memadukan semua pendapat tersebut. Wallahu a’lam bish-shawab.[]


Read More

Saturday, May 13, 2023

Hukum Memberikan Zakat kepada Para Habaib

May 13, 2023 0

 


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memberikan zakat kepada para ahlul bait (keluarga dan keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yakni para habib, sayyid, dan syarif.

 

Pendapat pertama, tidak boleh dan tidak sah secara mutlak (baik telah mendapatkan khumusul khumus maupun tidak).

Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah. Argumentasi dari pendapat ini adalah:

Pertama, zakat merupakan kotoran dari harta manusia sehingga tidak layak diberikan kepada Rasulullah dan ahlul baitnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya zakat ini adalah kotoran dari manusia. Dan sesungguhnya itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad,” (HR. Muslim No. 1072 dan an-Nasa’i No. 2608).

 

أما علمت أن آل محمد لا يأكلون الصدقة

“Tidakkah kamu tahu bahwa keluarga Muhammad tidak boleh memakan sedekah.” (HR. Bukhari).

إنا لا تحل لنا الصدقة

“Sungguh kami tidak boleh menerima sedekah.” (HR. Muslim)

كخْ،كخْ، اَنَّا آلُ مُحَمّدٍ لاَتَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَاتُ

“Ekh-ekh (isyarat untuk mengeluarkan makanan dari mulut), kita adalah keluarga Muhammad, sedekah tidak halal bagi kita.” (HR. Bukhori dan Muslim).

 

Kedua, Rasulullah dan ahlul baitnya telah mendapatkan khumusul khumus (seperlima dari seperlima alias 1/25) dari baitul mal maupun ghanimah (harta rampasan perang).

 

وَاعْلَمُوْا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَه وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan Ibnu Sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal []: 41)

إِنَّ لَكُمْ فِيْ خُمُسِ الْخُمُسِ مَا يُغْنِيْكُمْ

“Sesungguhnya bagi kalian (ahlul bait) mendapatkan dari khumusul khumus (seperlima dari lima bagian harta rampasan perang) bagian yang mencukupi kalian.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

 

Ketiga, kedudukan penerima zakat lebih rendah dari pemberi. Zakat diberikan kepada orang yang membutuhkan, lemah, dan tidak mampu, sedangkan ahlul bait adalah orang-orang mulia dan lebih utama daripada manusia lain. Adapun hadiah bertujuan untuk mengagungkan atau mengapresiasi seseorang yang diberi.

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم كان اذا اوتي بطعام سأل عنه فان قيل هدية اكل منها وان قيل صدقة لم يأكل منها.

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila diberi makanan, beliau menanyakannya. Apabila dijawab hadiah, beliau memakannya. Apabila dijawab sedekah (zakat), beliau tidak memakannya.”

 

Pendapat kedua, boleh dan sah manakala ahlul bait tidak lagi mendapatkan khumusul khumus.

Dalil argumentatif dari pendapat kedua adalah kondisi saat ini yang tidak ada lagi jatah khumusul khumus dari ghanimah atau baitul mal untuk ahlul bait. Dengan kata lain, hadits inna lakum fi khumusil khumus ma yughnikum tidak lagi terwujud pada saat ini. Manakala khumusul khumus (sebagai ‘illat atau alasan hukum) sudah tidak ada, maka hukum keharaman menerima zakat pun tidak lagi ada.

Berdasarkan argumentasi tersebut, disimpulkan bahwa hukum memberikan zakat kepada ahlul bait pada masa sekarang adalah boleh dan sah. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah al-Ustukhry, al-Harawi, Ibnu Yahya, Ibnu Abi Hurairah, al-Fakhrur Razi, Qadhi Husain, Ibn Syukail, Ibnu Ziyad, an-Nasyiriy, dan Ibnu Muthoir.

Bahkan menurut  ad-Dasuqi al-Maliki, pada masa sekarang, memberikan zakat kepada ahlul bait yang dalam kondisi kekurangan lebih utama daripada memberikannya kepada selain ahlul bait. Musthofa Dib al-Bugha ad-Dimasyqi, dalam al-Hadiyyah al-Mardhiyyah, menyitir ucapan para ulama bahwa membiarkan ahlul bait dalam kefakiran tanpa memberinya zakat berarti telah menyia-nyiakan, merendahkan, dan menghinakan keluarga Rasulillah.

Walaupun demikian, Syaikh Ba’asyan al-Hadhrami dalam Busyra al-Karim bi Syarhi Masa’il at-Ta’lim menyarankan:

لكن ينبغي للدافع إليهم أن يبيّن لهم أنها زكاة، فلربما يتورع من دُفعت إليه منهم منها

“Orang yang menyerahkan zakat kepada Ahlul Bait hendaknya menjelaskan bahwa harta tersebut adalah zakat. Sebab bisa jadi mereka bersikap wirai (berhati-hati) sehingga akan menolak pemberian harta (zakat) tersebut.”

Wallahu a’lam bish-shawab.[]

 

Referensi:

Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, VI/227.

Ahmad ibn Muhammad ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim ‘ala al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi al-Fiqh asy-Syafi’iy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 239.

Dr. Musthafa Dib al-Bugha ad-Dimasyqi, al-Hadiyyah al-Mardhiyyah bi Syarhi wa Adillati al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Damaskus: Dar al-Musthafa, hlm. 503.

Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Alfiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, Suriah: Dar al-Fikr, hlm. 883-884.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyah Al-Mustarsyidin, hal 106-107, cet. al-Haromain.

Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatho, I’anah ath-Thalibin, Semarang: Karya Thoha Putra, hlm. 199-200.

Syaikh al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syathiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, hlm. 292.

Syaikh Ba’asyan al-Hadhrami, Busyra al-Karim bi Syarhi Masa’il at-Ta’lim, Mesir: Dar Ibnu al-Jauzi, hlm. 361.

Syaikh Ibrahim Al-Baijuri Ibni Qasim, Hasyiyah al-Bajuri, cet. al-Haromain, I/285.

Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyyah, Indonesia: al-Haramain, hlm. 165.

Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith, at-Taqrirat as-Sadidah, hlm. 427.

***

Read More

Wednesday, April 19, 2023

Silaturahmi atau Silaturahim?

April 19, 2023 0

 


Perdebatan Tak Berkesudahan Perihal Kata “Silaturahim” dan “Silaturahmi”

Saya bukan sarjana bahasa dan sastra. Juga bukan ahli bahasa. Akan tetapi, semenjak berkecimpung di dunia penerbitan, baik sebagai penulis maupun editor, segala persoalan tentang bahasa terasa sangat menggiurkan untuk dibincangkan.

Satu di antaranya adalah kata “silaturahmi”. Kata ini selalu menjadi perdebatan tahunan setiap menjelang lebaran. Ada yang alergi dengan kata ini karena dipandang tidak islami. Menurut mereka, kata yang benar adalah “silaturahim”, bukan “silaturahmi”. Ada yang berpandangan bahwa kedua kata tersebut memiliki maksud dan makna yang sama, sehingga bisa saling bertukar untuk digunakan. Ada yang berpendapat bahwa “silaturahim” digunakan khusus untuk hubungan kekerabatan dekat (sesama anggota keluarga dari satu rahim/kandungan), sementara “silaturahmi” digunakan untuk hubungan kekerabatan jauh atau bahkan tidak memiliki hubungan kandung sama sekali.

 

Kata Serapan

Dalam kajian bahasa Indonesia kita mengenal istilah “kata serapan”, yakni kata yang berasal dari bahasa lain yang telah diintegrasikan ke bentuk bahasa dan telah diterima pemakaiannya secara umum. Ada yang diserap dari bahasa Sansekerta, Arab, Belanda, Jawa, Portugis, Inggris, dan lain-lain.

Karena tema “silaturahim vs silaturahmi” erat kaitannya dengan bahasa Arab, maka perlu saya kemukakan beberapa contoh kata lain yang diserap dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia (sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI).

Adzan ( أذان ) à menjadi Azan

Sholat  ( صلاة ) à menjadi Salat.

Zhuhur/Zhuhri ( ظهر ) à menjadi Zuhur

Shubuh/Shubhi  ( صبح ) à menjadi Subuh

Ustadz ( أستاذ ) à menjadi Ustaz

Ramadhan/Ramadlan ( رمضان ) à menjadi Ramadan

Qolbu  ( قلب ) à menjadi Kalbu

Qirthos ( قِرْطَاس ) à menjadi Kertas

Qorobah ( قَرَابَة ) à menjadi Kerabat

Fithri ( فطر) à menjadi Fitri

 

Jadi, yang Benar “Silaturahim” atau “Silaturahmi”?

Dalam tinjaun bahasa arab, kata “Silaturrahim” terdiri dari dua kata, yaitu صِلَةُ yang berarti koneksi, relasi, sangkut-paut, keterkaitan, hubungan, ikatan; danالرَّحِمِ   yang berarti rahim alias tempat janin sebelum dilahirkan. Dengan demikian, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilatur rahim) berarti hubungan baik dengan orang yang masih memiliki ikatan rahim atau darah.

Kanjeng Nabi juga menggunakan istilah صِلَةُ الرَّحِمِ  dalam beberapa sabdanya, di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِاْلعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ: "اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي". فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: "أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنَ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ". [أخرجه الهيثمي [

Artinya: Diriwayatkan dari Anas, diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu adalah cabang kuat di 'Arsy berdoa dengan lisan yang tajam: "Ya Allah sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutusku, Maka Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, "Aku adalah ar-Rahman ar-Rahim. Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan), maka barangsiapa menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa memutuskannya pasti Aku memutuskan orang itu," (HR al-Haitsami).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya atau ditambahkan umurnya maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya”.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

نْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ”. [رواه البخاري

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau hendaklah ia diam”.” [HR. al-Bukhari].

Sampai di sini, apakah sudah terang dan gamblang tanpa menyisakan persoalan? Ternyata, belum. Masih pertanyaan lanjutan yang dapat kita kemukakan, “Apakah kerabat, sanak, atau saudara yang tidak memiliki hubungan rahim atau darah tidak termasuk termasuk dalam kategori shilatur rahim?”

Ada sebagian ulama yang mendefinisikan shilatur rahim sebagai hubungan dua orang atau lebih yang memiliki ikatan kemahraman (haram dinikahi). Ada juga yang mengartikannya sebagai hubungan dua orang atau lebih yang memiliki relasi mawarits (saling mewarisi). Bahkan, ada yang memperluas makna shilatur rahim tidak hanya hubungan kemahraman dan mawarits, tetapi siapa pun yang memiliki hubungan kekerabatan baik dekat maupun jauh, baik ada kaitan nasab maupun tidak.

Ketika shilatur rahim diserap ke dalam bahasa Indonesia, ejaannya mengalami perubahan dan maknanya pun mengalami perluasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak akan kita temukan kata “silaturahim”, apalagi “shilatur rahim” atau “shilaturrahim”. Menurut KBBI, sebagai acuan baku dalam berbahasa Indonesia, “silaturahmi” berarti tali persahabatan (persaudaraan).

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa silaturahim, silaturahmi, shilatur rahim, dan shilaturrahim mempunyai maksud yang sama, hanya berbeda penulisan/ejaan. Jika “shilaturrahim” adalah bentuk baku dalam bahasa Arab, maka “silaturahmi” merupakan bentuk baku dalam bahasa Indonesia. Menurut saya, silakan gunakan kata mana pun yang lebih mudah dimafhumi dan lebih nyaman untuk diucapkan.

Ada kaidah yang menyebutkan:

لا مشاحة فى الاصطلاح

“Tidak ada perdebatan dalam istilah (jika hakihatnya sama)”

العبرة بالحقائق لا بالمسميات

“Yang dinilai adalah hakikatnya, bukan nama yang digunakan”

 

Jangan Katakan “Hubungan Silaturahim”!(?)

Sebagian orang ada yang mempermasalahkan kata “silaturahim” yang didahului dengan kata “hubungan” sehingga menjadi “hubungan silaturahim”.  Menurut mereka, ada pemubaziran kata karena kata shilat/shilah sendiri sudah berarti “hubungan”.

Pandangan ini memang benar. Ada pemubaziran kata dalam kalimat “hubungan silaturahim”. Namun, hal ini tidak perlu diambil risau, karena negara tidak jarang juga memubazirkan kata. Coba Anda lihat spanduk-spanduk yang dipasang di pinggir-pinggir jalan, baik milik instansi-instansi pemerintah maupun para anggota dewan, memberikan ucapan selamat Idul Fitri dengan kalimat “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Semestinya cukup “Selamat Idul Fitri” atau “Selamat Hari Raya Fitri”. []


Read More

Tuesday, April 18, 2023

Kapan Kita Lebaran? Ikuti Keputusan Pemerintah!

April 18, 2023 0

 



Silang pendapat tentang penetapan 1 Syawal telah beberapa kali terjadi di negeri ini. Lebaran kali ini pun tampaknya juga akan terjadi perbedaan pendapat. Ormas besar setelah NU, yakni Muhammadiyah, telah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jum'at, 21 April 2023 M. Sementara NU dan ormas-ormas lainnya memilih menunggu keputusan pemerintah melalui sidang itsbat.

Perbedaan pendapat dalam fikih memang lumrah dan biasa. Namun, dalam masalah penting yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, keputusan pemerintah menjadi solusi untuk ditaati. Dalam kaidah fikih disebutkan: “Hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat)”.

Abdullah ibnu Umar, seorang sahabat Nabi yang faqih, manakala melihat hilal Ramadhan tidak serta-merta memutuskan sendiri (berdasarkan kefaqihannya) kapan memulai Ramadhan. Ibnu Umar justru melaporkannya kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah memberikan ketetapan dan perintah, barulah kaum muslimin berpuasa.

Sahal bin Abdillah al-Tustari (w. 283 H.) berkata, “Patuhilah pemerintah dalam 7 hal: Pemberlakuan mata uang, ukuran dan timbangan, hukum, haji, salat Jumat, dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan jihad" (Tafsir al-Qurthubi V/259 dan Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith III/696)

KH. Maimun Zubair dalam karyanya, Nushuh al-Akhyar fi ash-Shaum wa al-Ifthar (Pasal ke-3), juga memaparkan pandangan para ulama tentang kewajiban mengikuti ketetapan (itsbat) dari pemerintah atau pemegang otoritas.

Catatan ringan nan segar berikut ini saya nukil secara utuh dari tulisan KH. Dr. Abdul Ghofur Maimun Zubair dalam akun FB-nya. Sangat penting dan mencerahkan untuk kita baca dan sebarkan kepada saudara-saudara sesama muslim. Berikut ini tulisan beliau yang diposting pada 22 April 2022 dan direpost pada 18 April 2023.

***

 

Menjaga Kebersamaan Lebih Penting Ketimbang Pendapat Pribadi

 

Di Al Azhar Mesir, saya bertemu dengan sejumlah guru yang mengesankan. Salah satunya adalah Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn. Ia adalah guru besar di bidang Hadis. Di antara karyanya yang populer adalah Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim dan Al Manhal al adī fī Syar Aādī al Bukhāriyy. Penampilannya bersahaja, ramah, dan terbuka saat memberi kuliah.

Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah. Hal yang tak saya duga, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.[1]

Sikapnya ini ia sampaikan juga dalam karnya, Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim. Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat jelas membela metode hisab ia mengakhirnya dengan statemen bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim yang (kelak akan) mempertanggungjawabkan ijtihad dan keputusannya di depan Allah. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.[2]

Sepertinya, Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadhan yang sama dan Idul Adha yang sama saya kira sangat besar. Rasanya itu hanya bisa terwujud jika tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian meski harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting.

Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya. Sama halnya dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul.

Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, A awah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori. Pertama perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah, latar belakang akhlak. Kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah, murni sudut pandang pemikiran. Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati. Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri. Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.[3]

Mohon maaf, sekedar menyampaikan harapan-harapan. Semoga tidak semakin menambah kekeruhan.

Wallāhu a’lam bi a awāb.

 

[1] Mencoba mengingat-ingat memori masa lalu. Wallāhu a’lam.

[2] Lihat: Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim, jilid 4, hal. 507.

وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم، والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك. وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.

[3] A awah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, hal. 1213

Keterangan foto: Nuū Al Akhyār adalah karyat KH. Maimoen Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik dengan berbagai komentar dari beliau.

Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal harus ada upaya serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah. Dalam satu wilayah sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan, dan sebagian lainnya masih berbuka karena beranggapan masih berada di bulan Sya’ban, adalah kenyataan yang tak boleh diterima. Kemudian di akhir Ramadhan, sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat.

Lihat: Nuū Al Akhyār, hal. 19.      


Read More