Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : MJS Press, Yogyakarta
Cetakan : II, November 2018
Tebal : x + 202 halaman
ISBN : 978-602-74625-0-2
Tidak sedikit orang yang menganggap filsafat itu menyesatkan dan membahayakan.
Dinilai menyesatkan karena filsafat dituding mendewakan
akal dan menegasikan Sang Yang Maha Penggenggam pengetahuan. Didakwa membahayakan
karena karakter filsafat memang merangsang manusia agar selalu mengkritisi dan
melakukan uji ulang. Tersebab itulah filsafat dicurigai merusak “tatanan”,
“kenyamanan”, dan “kemapanan”. Dalam pandangan ini, filsafat seolah disejajarkan
dengan bisikan setan, dan para pemangkunya dibayangkan seperti makhluk yang
menyeramkan.
Kalangan lain memandang filsafat bak kalam kudus yang
keluar dari mulut suci sang filsuf. Bagi kalangan ini, filsuf bagaikan malaikat
langit yang nircela. Sementara kalangan ketiga memandang filsuf sebagai manusia
biasa yang tan-kalis dari salah dan dosa. Ia bukan makhluk nirmala, bukan pula makhluk
yang seluruh hidupnya penuh cela. Filsuf adalah manusia biasa yang kadang
berbuat benar, kadang pula salah.
Sebagaimana diakui penulisnya, buku ini bukanlah
buku sejarah, melainkan sekadar kumpulan catatan kecil yang memuat sisi-sisi
manusiawi para filsuf yang meliputi: kehidupan ekonomi, cinta dan seksualitas, kekeliruan
konsep, akhir hidup yang mengenaskan,
dan sisi-sisi unik lainnya. Bahkan, beberapa di antaranya justru membongkar aib
mereka. (hlm. vi-vii)
Diogenes
(412-323 SM), misalnya, karena kemelaratannya acap kali ia harus mengemis atau
bahkan mencuri makanan untuk mempertahankan
hidupnya. Saat ditanya mengapa mengemis, sang pendiri paham sinisme ini berapologi,
“Untuk mengajarkan manusia bagaimana seharusnya mereka membelanjakan harta.” (hlm.
147-148). Fragmen kemiskinan juga dilakonkan Karl Marx (1818-1883), sang filsuf
ekonomi kelahiran Prussia (sekarang Jerman). Penulis Das Kapital ini hidup
dalam kondisi sangat miskin, khususnya saat usia tua. Untuk membiayai hidup dan
keluarganya, Marx dibantu temannya, Friedrich Engels, anak seorang pengusaha
tekstil yang kaya raya. Hal ini menjadi ironi bagi Das Kapital yang selalu
mengkritik sistem ekonomi kapitalis. (hlm. 114)
Filsuf juga memiliki berahi untuk bercinta dan
dorongan untuk memuaskan hasrat seksualnya. Friedrich Nietzsche (1844-1900), misalnya,
ia pernah terlibat dalam cinta segitiga dengan Lou Salome dan Paul Ree, walaupun
akhirnya gagal semua (hlm. 93). Perselingkuhan Friedrich Hegel (1770-1831) dengan
Christina Burkhardtin bahkan membuahkan anak lelaki, yang kemudian tumbuh menjadi
tentara kolonial Belanda dan meninggal di Batavia (hlm. 134). Percintaan
terlarang juga diperlihatkan Jean-Paul Satre (1905-1980), sang playboy yang
seumur hidupnya tidak pernah memiliki pasangan hidup yang sah dan tidak pernah
memiliki rumah yang tetap (hlm. 70).
Kehidupan seksual berbeda juga dilakonkan Michel
Foucault (1926-1984), filsuf Prancis pelaku homoseksual dan pecandu obat-obatan
terlarang. Foucault muda bahkan sempat depresi berat dan beberapa kali mencoba
bunuh diri (hlm. 97-98). Kelainan seksual lain dipertontonkan JJ. Rousseau
(1712-1778), filsus Prancis yang ekshibisionis. Ketika bisa mempertontonkan
pantatnya kepada para perempuan, di situlah Rousseau mendapatkan sensasi seksualnya
(hlm. 73). Kepuasan seksual didapatkan juga oleh Diogenes ketika melakukan masturbasi
di ruang terbuka. Saat orang-orang memprotes perilakunya, Diogenes menjawab
datar, “Kalau aku bisa menghilangkan rasa laparku dengan menggosok-gosok
perutku, tentu aku pun akan melakukannya.” (hlm. 144)
Buku ini bisa menjadi penghilang
penat dan pengusir jenuh di tengah
jejalan teori dan konsep kefilsafatan yang menyesaki kepala. Hampir semua tokoh
filsafat yang diangkat buku ini adalah para filsuf Barat, kecuali Mahatma
Gandhi (hlm. 100-104), filsuf India yang takut gelap, yang namanya ikut
terselip di dalam buku ini.
0 comments:
Post a Comment