ads
Sunday, August 11, 2013

August 11, 2013

Hukum dan Dalil Puasa Syawal

Hukum puasa Syawal menurut mayoritas ulama (termasuk Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan ulama-ulama lain) adalah sunnah. Mereka berdasar pada hadits Nabi berikut ini.

Dari Abu Ayyub al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa satu tahun.” (HR. Muslim dan lain-lain)[1]

Dari Tsauban r.a., bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah)

Hanya Imam Malik yang menyatakan bahwa puasa bulan Syawal hukumnya makruh dengan alasan karena takut umat Islam berkeyakinan bahwa puasa Syawal merupakan bagian dari puasa Ramadhan.

Puasa Syawal Berapa Hari?
Berdasarkan hadits di atas, puasa Syawal dilaksanakan selama 6 hari.

Tanggal Berapa Puasa Syawal Dilaksanakan?
Puasa sunnah ini boleh dilaksanakan pada tanggal berapa pun, yang penting masih dalam bulan Syawal. Karena, Rasulullah Saw memang tidak menyebut pelaksanaan puasa ini harus pada awal Syawal, tengah Syawal, atau akhir Syawal. Jadi, kita boleh melaksanakannya kapan pun selama masih bulan Syawal. Kita juga melaksanakannya secara berturut-tutur atau acak (terpisah-pisah).

Walaupun demikian, menurut ulama Syafi’iyah, yang lebih utama (afdhal) adalah dilaksanakan secara berturut-turut mulai tanggal 2 Syawal sampai tanggal 7 Syawal.

Imam an-Nawawi dalam Syarahan-Nawawi ‘ala Muslim mengatakan:

قال أصحابنا : والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر ، فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة ؛ لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال

”Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata bahwa yang paling utama adalah melakukan puasa Syawal secara berturut-turut setelah Idul Fithri (tanggal 2 Syawal). Namun, jika dilakukan secara terpisah-pisah (tidak berurutan) atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka tetap mendapatkan keutamaan mutaba’ah (yaitu mengiri puasa Ramadhan dengan puasa syawal). Karena, (pelaksanaan) seperti itu tetap disebut dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal."

An-Nawawi menyebutkan juga dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:

فقال أصحابنا يستحب صوم ستة ايام من شوال لهذا الحديث قالوا ويستحب ان يصومها متتابعة في اول شوال فان فرقها أو أخرها عن أول شوال جاز وكان فاعلا لاصل هذه السنة لعموم الحديث واطلاقه وهذا لا خلاف فيه عندنا وبه قال أحمد وداود

“Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata: ‘Dianjurkan berpuasa enam hari bulan Syawal berdasarkan hadits ini’. Mereka juga berkata: ‘Dan dianjurkan juga berpuasa secara berurutan mulai awal Syawal. Namun jika dilakukan secara acak (terpisah-pisah) atau ditunda hingga akhir bulan, maka itu juga dibolehkan, dan orang yang melakukannya telah menjalankan sunnah sesuai dengan keumuman makna hadits dan kemutlakannya. Hal ini tidak ada perbedaan (pendapat) di kalangan madzhab kami. Dan ini pun menjadi pendapat Ahmad dan Abu Dawud.

Tata Cara Puasa Syawal
Tata caranya sama seperti puasa Ramadhan, yakni harus ada niat dan menjauhi semua hal yang membatalkan puasa. Sebagaimana kita tahu bahwa niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari (yakni sebelum terbit fajar). Akan tetapi, berbeda halnya dengan puasa sunnah, termasuk puasa Syawal. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa niat puasa Syawal boleh dilakukan pada pagi hari sampai sebelum tergelincirnya matahari (waktu Zhuhur). Mereka berdalil pada hadits dari Aisyah:

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi saw menemuiku dan bertanya, Apakah kamu mempunyai makanan? Kami menjawab, ‘Tidak ada. Beliau berkata, ‘Kalau begitu, saya akan berpuasa. Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin, dan keju). Maka beliau pun berkata, ‘Bawalah kemari, sesungguhnya tadi pagi aku berpuasa.Maka, beliau lalu memakannya.” (HR. Muslim no. 1154)

Bacaan Niat Puasa Syawal
Bagi kalangan awam, pertanyaan mengenai bacaan niat suatu ibadah selalu saja dikemukakan. Padahal, sejatinya semua ulama telah bersepakat (tanpa ada perbedaan pendapat sedikit pun) bahwa niat itu berada di dalam hati dan tidak harus berupa rangkaian kata yang panjang. Jika kita cermati hadits dari Aisyah di atas, Rasulullah cukup berniat dengan mengatakan ‘Kalau begitu, saya akan berpuasa.’ Apa yang beliau ucapkan ini tentu beliau niatkan juga di dalam hati. Nah, hati inilah tempat niat yang sesungguhnya. Bahkan, menjadi tidak sah apabila lisan mengucap niat sementara hati tidak berniat sama sekali.

Andai kita tulis atau redaksionalkan, niat puasa Syawal bisa tertuang sebagai berikut.

نَوَيْتُ صَوْمَ شَوَّالٍ سُنَّةً لَلّهِ تَعَالَى

Saya berniat puasa Syawal sunnah karena Allah Ta’ala.


[1] Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1164), Abu Dawud (no. 2433), At-Tirmidzi (no. 759), An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (2/no. 2862), Ibnu Majah (no. 1716), Ahmad (5/417 & 419), dan lainnya.


0 comments: