Hukum dan Dalil Puasa Syawal
Hukum puasa Syawal menurut mayoritas ulama (termasuk
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan ulama-ulama lain) adalah sunnah. Mereka berdasar
pada hadits Nabi berikut ini.
Dari Abu Ayyub al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa saja yang berpuasa
Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti
puasa satu tahun.” (HR. Muslim dan lain-lain)[1]
Dari Tsauban r.a., bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ
تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)
“Barangsiapa
berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa
setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh
kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah)
Hanya Imam Malik yang menyatakan bahwa puasa bulan
Syawal hukumnya makruh dengan alasan karena takut umat Islam berkeyakinan bahwa
puasa Syawal merupakan bagian dari puasa Ramadhan.
Puasa Syawal Berapa Hari?
Berdasarkan hadits di atas, puasa Syawal dilaksanakan
selama 6 hari.
Tanggal Berapa Puasa Syawal
Dilaksanakan?
Puasa sunnah ini boleh dilaksanakan pada tanggal
berapa pun, yang penting
masih dalam bulan Syawal. Karena, Rasulullah Saw memang tidak menyebut
pelaksanaan puasa ini harus pada awal Syawal, tengah Syawal, atau akhir Syawal.
Jadi, kita boleh melaksanakannya kapan pun selama masih bulan Syawal. Kita juga melaksanakannya secara berturut-tutur
atau acak (terpisah-pisah).
Walaupun demikian, menurut ulama Syafi’iyah, yang lebih
utama (afdhal) adalah dilaksanakan secara berturut-turut mulai tanggal 2
Syawal sampai tanggal 7 Syawal.
Imam an-Nawawi dalam Syarahan-Nawawi ‘ala Muslim mengatakan:
قال أصحابنا
: والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر ، فإن فرقها أو أخرها عن أوائل
شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة ؛ لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال
”Para sahabat kami (ulama
Syafi’iyah) berkata bahwa yang paling utama adalah melakukan puasa Syawal
secara berturut-turut setelah Idul Fithri (tanggal 2 Syawal). Namun, jika dilakukan
secara terpisah-pisah (tidak berurutan) atau diakhirkan hingga akhir Syawal
maka tetap mendapatkan keutamaan mutaba’ah (yaitu mengiri puasa Ramadhan
dengan puasa syawal). Karena, (pelaksanaan) seperti itu tetap disebut dengan
berpuasa enam hari pada bulan Syawal."
An-Nawawi menyebutkan juga
dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:
فقال أصحابنا يستحب صوم ستة
ايام من شوال لهذا الحديث قالوا ويستحب ان يصومها متتابعة في اول شوال فان فرقها
أو أخرها عن أول شوال جاز وكان فاعلا لاصل هذه السنة لعموم الحديث واطلاقه وهذا لا
خلاف فيه عندنا وبه قال أحمد وداود
“Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata:
‘Dianjurkan berpuasa enam hari bulan Syawal berdasarkan hadits ini’. Mereka
juga berkata: ‘Dan dianjurkan juga berpuasa secara berurutan mulai awal Syawal.
Namun jika dilakukan secara acak (terpisah-pisah) atau ditunda hingga akhir
bulan, maka itu juga dibolehkan, dan orang yang melakukannya telah menjalankan
sunnah sesuai dengan keumuman makna hadits dan kemutlakannya. Hal ini tidak ada perbedaan (pendapat) di kalangan madzhab
kami. Dan ini pun menjadi
pendapat Ahmad dan Abu Dawud.”
Tata Cara Puasa Syawal
Tata caranya sama seperti
puasa Ramadhan, yakni harus ada niat
dan menjauhi semua hal yang
membatalkan puasa. Sebagaimana kita tahu bahwa
niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari (yakni sebelum terbit fajar).
Akan tetapi, berbeda halnya dengan puasa sunnah, termasuk puasa Syawal. Jumhur
(mayoritas) ulama mengatakan bahwa niat puasa Syawal boleh dilakukan pada pagi
hari sampai sebelum tergelincirnya matahari (waktu Zhuhur). Mereka berdalil
pada hadits dari Aisyah:
دَخَلَ
عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ
شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا
يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ «
أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi saw menemuiku dan bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak ada.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, saya akan berpuasa.’ Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan
kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari
kurma, samin, dan keju).’ Maka beliau
pun berkata, ‘Bawalah kemari, sesungguhnya tadi pagi aku berpuasa.’ Maka, beliau lalu memakannya.” (HR. Muslim
no. 1154)
Bacaan Niat Puasa Syawal
Bagi kalangan awam, pertanyaan
mengenai bacaan niat suatu ibadah selalu saja dikemukakan. Padahal, sejatinya
semua ulama telah bersepakat (tanpa ada perbedaan pendapat sedikit pun) bahwa
niat itu berada di dalam hati dan tidak harus berupa rangkaian kata yang
panjang. Jika kita cermati hadits dari Aisyah di atas, Rasulullah cukup berniat
dengan mengatakan ‘Kalau begitu, saya akan berpuasa.’ Apa yang beliau ucapkan ini tentu beliau
niatkan juga di dalam hati. Nah, hati inilah tempat niat yang sesungguhnya.
Bahkan, menjadi tidak sah apabila lisan mengucap niat sementara hati tidak
berniat sama sekali.
Andai kita tulis atau
redaksionalkan, niat puasa Syawal bisa tertuang sebagai berikut.
نَوَيْتُ
صَوْمَ شَوَّالٍ سُنَّةً لَلّهِ تَعَالَى
Saya berniat puasa Syawal
sunnah karena Allah Ta’ala.
[1] Diriwayatkan
oleh Muslim (no. 1164), Abu Dawud (no. 2433), At-Tirmidzi (no. 759), An-Nasa’iy
dalam Al-Kubraa (2/no. 2862), Ibnu Majah (no. 1716), Ahmad (5/417
& 419), dan lainnya.
0 comments:
Post a Comment