عَنْ
أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ
: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (رواه البخاري ومسلم)
وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah,
Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama)
kami ini yang tidak ada sumber darinya maka tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[1] Dalam
riwayat Muslim[2]
disebutkan: “Siapa yang melakukan suatu amalan yang bukan urusan (agama) kami
maka tertolak.”
Ummul Mukminin
Ummul Mukminin (ibu orang-orang beriman) adalah gelar kehormatan bagi para istri
Rasulullah. Bentuk jamaknya adalah ummahatul mukminin. Disebut ibu
orang-orang beriman karena kedudukan mereka layaknya seorang ibu; harus dihormati,
dimuliakan, dan haram dinikahi oleh siapa pun setelah Rasulullah.
Ummu
Abdillah
Sayyidah Aisyah memang tidak memiliki keturunan. Akan tetapi, Rasulullah
tetap memberinya kun-yah[3]
Ummu Abdillah. Kata “Abdillah” diambil dari nama keponakan Sayyidah Aisyah,
yaitu Abdullah bin Zubair bin Awam.[4]
Sayyidah
Aisyah
Ayah Aisyah bernama Abu Bakar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu
Ruman binti ‘Amir al-Kinaniyah. Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang
dinikahi dalam keadaan perawan. Ia tidak hanya cantik, tetapi juga cerdas dan ahli
ilmu serta berakhlak mulia.
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan, sebelum Rasulullah menikahi
Aisyah, Jibril memperlihatkan kepada Rasulullah gambar Aisyah yang terdapat
dalam secarik kain sutra berwarna hijau sembari berkata, “Ia adalah calon
istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.”
Pengertian
Bid’ah
Tema utama hadits ini adalah tentang muhdatsah, atau sering
disebut juga dengan bid’ah. Kedua kata tersebut secara bahasa berarti
perkara baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Bid’ah secara bahasa dapat
dibedakan menjadi bid’ah hasanah (baik/positif) dan bid’ah sayyiah (buruk/negatif).
Adapun secara syariat, pengertian bid’ah ialah perkara baru dalam
agama yang tidak memiliki dasar syar’i atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i
(baik dalil khusus maupun dalil umum).
Berangkat dari pengertian itulah Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Bid‘ah
adalah perkara baru yang tidak memiliki dalil syariat. Adapun perkara baru yang
memiliki sumber syariat sebagai dalilnya, maka tidak termasuk bid‘ah secara syariat.
Ia hanya bisa disebut sebagai bid‘ah secara bahasa.”
Pandangan Ibnu Rajab tersebut seiya sekata dengan penjelasan Imam
Syafi’i, yang menyebutkan bahwa muhdatsah (perkara baru) itu dibagi menjadi
dua.
- Perkara baru yang bertentangan dengan Alquran, Sunnah Rasul, atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat, atau ijma’ (kesepakatan ulama). Inilah yang dimaksud dengan bid‘ah dhalalah (sesat).
- Perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum agama, maka ia termasuk muhdatsah ghairu madzmumah (perkara baru yang tidak tercela).
Muhdatsah ghairu madzmumah secara majaz sering diistilahkan dengan bid’ah hasanah
(perkara baru yang baik). Secara hakikat, bid’ah hasanah bukanlah bid’ah
(yang sesat) sebagaimana disabdakan oleh Nabi “kullu bid’atin dhalalah”.
Pembagian bid’ah dan kontroversi/ikhtilaf yang melingkupinya
dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.
Apakah
Bid’ah Itu Hukum Syariat?
Para ulama membagi hukum syariat (taklifiyah) menjadi lima macam,
yaitu wajib, sunnah/mandub, haram, makruh, dan mubah. Tidak ada jenis keenam bertajuk
“bid’ah” dalam pembagian itu.
Dengan demikian, pada hakikatnya bid’ah bukanlah hukum syariat, melainkan
suatu sifat yang terikat dengan hukum syariat. Karena itulah ketika menyebut bid’ah
terhadap suatu perkara, tidak bisa kita hanya memvonisnya bid’ah tanpa menelusuri
status hukumnya secara syar’i.
Tiga
Syarat Memvonis Bid’ah
Hadits di atas bisa dijadikan sebagai rumus sederhana untuk
menetapkan suatu perkara terkategorikan bid’ah (dhalalah/sesat) atau
tidak. Berdasarkan hadits di atas, sesuatu bisa dikategorikan bid’ah yang sesat
manakala memenuhi tiga syarat berikut. Ketiga syarat ini harus terpenuhi
semuanya.
- Perkara baru.
- Dalam agama.
- Tidak memiliki dalil syar’i atau bertentangan dengan syariat.
Jika diurai, ketiga syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut.
- Perkara baru yang bukan masalah agama maka tidak termasuk bid’ah. Misalnya, alat transportasi dan komunikasi yang semakin canggih.
- Perkara baru dalam agama, tetapi tidak memiliki dalil syar’i atau bertentangan dengan syariat, maka inilah yang termasuk bid’ah. Misalnya, shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab.
- Perkara baru dalam agama namun memiliki dalil syar’i (baik dalil umum maupun atau dalil khusus) atau tidak bertentangan dengan syariat, maka ia tidak termasuk bid’ah. Misalnya, tahlilan (membaca tahlil), yasinan (membaca surah Yasin), dan peringatan maulid Nabi.
Kesimpulan
Term bid’ah masih menjadi perdebatan ulama dari beragam kelompok dan
kalangan dari masa ke masa. Catatan ini terlalu singkat untuk menguraikannya
secara tuntas. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang baru bisa
dikategorikan bid’ah dhalalah apabila
merupakan perkara agama dan bertentangan dengan syariat. Karena itu, kata
bid’ah tidak bisa berdiri sendiri tanpa dihubungkan kaidah-kaidah hukum syar’i.
Banyak amalan dan tradisi umat Islam yang divonis bid’ah dhalalah
oleh saudara muslim lain karena dianggap tidak memiliki dalil khusus dan kuat. Mereka
lupa bahwa dalil tidak hanya bersifat khusus, tetapi ada pula yang bersifat
umum. Dan dalil umum ini cukup dan sah untuk dijadikan payung hukum atas suatu amalan
atau tradisi.
Referensi
Ibnu Hajar
al-Haitami, 2011, al-Fathu al-Mubin bi Syarhi al-Arbain, Cet. II,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Isnan Ansory,
2018, Bid’ah Apakah Hukum Syariah?, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Muhammad
al-Khidhr, 1413/2010, Mausu’ah al-A’mal al-Kamilah, Syiria: Dar
an-Nawadir.
Tim Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur, 2012, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Surabaya:
Khalista.
[1] HR. al-Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[2] HR. Muslim no. 1718.
[3] Kun-yah ialah nama yang diawali dengan kata
Abu, Ummu, dan sejenisnya.
[4] Zubair bin Awam adalah suami Asma’ binti Abu Bakar.
Adapun Asma’ adalah saudara Aisyah, tetapi beda ibu.
2 comments:
Setuju mas, dengan rumusan point pertama: Perkara baru yang bukan masalah agama maka tidak termasuk bid’ah.
Terus point ketiga, contoh yang diambil seperti: tahlilan (membaca tahlil), yasinan (membaca surah Yasin), dan peringatan maulid Nabi.
Bukannya contoh-contoh tersebut termasuk ibadah mas?
@Andie: benar, Mas. Termasuk perkara agama namun memiliki dalil syar’i (baik dalil umum maupun atau dalil khusus) atau tidak bertentangan dengan syariat.
Post a Comment