Bullying telah ada sejak peradaban
manusia, namun istilah tersebut baru mencuat seiring dengan intensitas
penelitian terhadap masalah perundungan pada 1970-an oleh Dan Olweus, pionir
sekaligus founding father penelitian tentang bullying.
Oleh Olweus, perundungan diartikan sebagai perilaku
agresif yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat kepada
yang lebih lemah secara repetitif, disengaja, dan bertujuan untuk menyakiti
atau melemahkan orang lain baik secara fisik maupun mental.
Perundungan bisa terjadi di mana saja dan kapan
saja dengan beragam bentuknya, baik secara fisik, verbal, sosial, mental, maupun
maya (cyber bullying). Tidak terkecuali sekolah, bisa menjadi tempat terjadinya
perundungan.
Patut disyukuri bahwa bentuk-bentuk perpeloncoan
tidak lagi memiliki ruang di lembaga pendidikan. Namun, berdasarkan penelitian
yang saya lakukan di beberapa sekolah, ternyata praktik-praktik perundungan tetap
ada walaupun dalam skala kecil dan bentuk yang dianggap “sederhana”. Kebanyakan
berupa perundungan verbal, semisal ejekan, panggilan/julukan yang tidak
menyenangkan, dan hinaan.
Sebagian kita (untuk tidak menyebut kebanyakan)
mungkin menganggap perundungan verbal adalah hal biasa, sederhana, dan alamiah
dalam kehidupan sosial anak. Kita baru menganggapnya serius manakala
perundungan itu berbentuk kekerasan fisik. Padahal jika dicermati, baik perundungan
fisik maupun verbal, keduanya sama-sama berdampak kontraproduktif bagi perkembangan
pendidikan anak. Victim (korban) akan menjadi terhambat dalam
mengaktualisasi diri dan bersosialisasi, terintimidasi, rendah diri, merasa tidak
berharga, dan sulit berkonsentrasi dalam belajar.
Merujuk pada teori social learning-nya
Albert Bandura, apabila perundungan selalu dianggap sederhana dan mendapat
penguatan, maka perilaku tersebut akan cenderung diulang, bahkan diikuti oleh
pelaku-pelaku baru. Dalam hal ini, sekolah dituntut komitmennya untuk menjadi
teladan dalam menolak segala perilaku perundungan.
Sementara bila merujuk pada teori kriminologi
bahwa terjadinya perundungan salah satunya disebabkan oleh low
self-control (kontrol diri yang rendah), maka untuk mengatasinya diperlukan
inovasi program-program sekolah yang bertujuan meningkatkan kendali diri. Peserta
didik harus disadarkan bahwa perundungan itu berbahaya dan berdampak buruk.
Terjadinya perundungan bisa pula karena dipicu problem
psikologis si pelaku. Dalam hal ini kita bisa meminjam teori frustasi-agresi-nya
Dollard dan koleganya, yang menyatakan bahwa agresivitas terjadi sebagai respon
terhadap frustrasi. Dengan perspektif ini, bisa dibilang bahwa agresi merupakan
pelampiasan dari rasa frustasi dan instabilitas emosi. Jika ini yang terjadi, sekolah
harus melakukan evaluasi; sudahkah sekolah menjadi tempat yang nyaman dan
menyenangkan bagi peserta didik. Bukan tempat yang menegangkan, apalagi
menakutkan.
Sebagai pusat menumbuhkembangkan potensi peserta
didik menjadi makhluk individu, sosial, susila, dan religius, sekolah memang memiliki
tanggung jawab besar untuk menghentikan segala praktik perundungan. Namun, tanggung
jawab ini tidak bisa dilakukan sendiri tanpa support network dari seluruh
stakeholder pendidikan.
Saatnya seluruh komponen pendidikan bersinergi menolak
segala bentuk perundungan!
*) Dipublikasikan di koran Republika pada Senin, 19 November 2018, halaman 27.
0 comments:
Post a Comment