عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ
الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.)رواه البخاري ومسلم (
Dari
Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun atas lima perkara, yaitu
bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; mendirikan shalat; membayar zakat;
menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tokoh:
Abdullah bin Umar bin Khattab
Namanya
adalah Abdullah, putra dari khalifah yang kedua, Umar bin Khattab. Ibunya
bernama Zainab binti Mazh’un. Saudari kandungnya bernama Hafshah, istri
Rasulullah.[1]
Abdullah
bin Umar bin Khattab familier disebut Ibnu Umar. Ia memiliki nama kun-yah[2]
Abu Abdirrahman, yang artinya bapaknya Abdurrahman.
Ibnu
Umar termasuk salah seorang dari empat sahabat Nabi yang digelari al-Abadillah
al-Arba’ah, yaitu empat orang ahli ilmu dan pemberi fatwa yang memiliki
nama Abdullah. Mereka adalah: (1) Abdullah bin Umar bin Khattab, (2) Abdullah
bin Abbas, (3) Abdullah bin Amr bin Ash, dan (4) Abdullah bin Zubair.[3]
Ibnu
Umar adalah perawi/periwayat hadits terbanyak setelah Abu Hurairah. Hadits yang
ia riwayatkan mencapai 2630 hadits.[4]
Ibnu
Umar lahir satu atau dua tahun sebelum bi’tsatur Rasul (diutusnya
Rasulullah), dan wafat pada tahun 72 H atau 74 H. Tentang kematian Ibnu Umar, Ibnu
Atsir menuturkan bahwa kematian Ibnu Umar disebabkan oleh tombak beracun. Al-Hajjaj
adalah sosok yang memerintah seseorang membunuh Ibnu Umar dengan tombak
tersebut. [5]
Telaah
Fiqih
Dalam
hadits di atas terdapat redaksi
رضي الله عنهما , yang berarti “Semoga
Allah meridhai mereka berdua, yakni Ibnu Umar dan Umar bin Khattab.” Bacaan Radhiyallahu
‘anhu (‘anha, ‘anhuma, atau ‘anhum) disebut dengan Taradhi (ترضي). Inti dari taradhi adalah doa memohonkan keridhaan.
Disebutkan
oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’, “Dianjurkan membaca taradhi dan
tarahhum (rahimahullah) kepada para sahabat, tabi’in, dan
orang-orang sesudah mereka (para ulama dan orang-orang yang baik), yaitu
membaca radhiyallaahu ‘anhu, rahmatullaah ‘alaih, atau rahimahullah,
dan sejenisnya.”
Kandungan
Hadits
- Rukun Islam ada lima, (1) bersyahadat (bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah), (2) mendirikan shalat, (3) membayar zakat, (4) menunaikan haji ke Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.
- Urutan rukun Islam hendaknya tidak menjadi persoalan. Bagi para guru dan pendidik, hendaknya tidak pula membuat soal ulangan/ujian yang menanyakan tentang urutan rukun Islam, karena hal tersebut tidak urgen dan tidak pula substansial. Lihat kembali hadits ke-2, di sana disebutkan rukun Islam yang ketiga sampai kelima adalah (3) membayar zakat, (4) berpuasa Ramadhan, dan (5) haji ke Baitullah.
- Syahadat (bersaksi atau persaksian) berarti mengikrarkan sesuatu yang diketahui atau diilmui dan diyakini dengan mantap lalu mengamalkan konsekuensinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersaksi/ber·sak·si/ v berarti - 1 ada saksinya; mempunyai (memakai) saksi; -2 menyatakan (mengakui) dengan sesungguhnya. Makna yang kedua tersebut sesuai dengan maksud dari kebersaksian syahadat.
[1] Muhammad Raji Hasan Kinas, Nafahat
‘Athirah fi Sirah Shahabat Rasulillah, alih bahasa Nurhasan Humaedi, dkk.,
“Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi; Kisah Hidup 154 Wisudawan Madrasah
Rasulullah Saw, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 101.
[2] Nama kun-yah ialah nama
yang diawali dengan kata Abu atau Ummu. Dalam Hasyiyah al-Khudhari, disebutkan
bahwa nama kun-yah bisa juga diawali dengan Ibnu, Bintu, Akhu, Ukhtu, ‘Ammu,
‘Ammatu, Khalu, atau Khalatu. Contoh: Abu Abdillah dan Ummul Khair. Lihat Syaikh
Muhammad al-Khudhari, Hasyiyah al-Khudhari ‘ala Ibni ‘Aqil, Juz 1, (Surabaya:
al-Hidayah, tth), hlm. 62.
[5] Muhammad Raji Hasan Kinas, Nafahat
‘Athirah fi Sirah Shahabat Rasulillah..., (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 103.
0 comments:
Post a Comment