Kisah
pilu Tiara Debora Simanjorang sangat melukai nurani sekaligus membuka mata kita
bahwa rasa empati dan kemanusiaan di korporasi rumah sakit saat ini telah digagahi
oleh syahwat kapitalisme. Rumah sakit, yang semestinya menjadi rujukan
orang-orang yang sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, telah berubah
menakutkan, ekseklusif, dan birokratis-kapitalistik. Demi meraup keuntungan
superbesar, para pemilik modal telah menjadi penguasa kejam dalam bisnis korporasi
pelayanan jasa kesehatan ini.
Para
pemilik modal memang patut kita apresiasi karena telah berkontribusi besar membangun
sarana pelayanan kesehatan di negeri ini. Akan tetapi, mereka harus membuka
kesadaran bahwa semangat membangun sarana pelayanan kesehatan tidaklah sama dengan
membangun perusahaan otomotif, tekstil, elektronik, dan barang-barang lain. Membangun
rumah sakit tidak hanya bersentuhan dengan benda atau barang dagangan, tetapi lebih
banyak bersinggungan dengan nyawa manusia. Karena itulah seharusnya nyawa manusia
lebih dipentingkan daripada syarat biaya dan tetek-bengek administrasi lainnya.
Apa
berarti pemilik modal tidak boleh meraup untung dalam bisnis korporasi jasa
pelayanan kesehatan ini? Bukan begitu, sebagai badan usaha, tentu kita mafhumi
bahwa keuntungan menjadi salah satu tujuan para pemilik modal. Akan tetapi, target
profit bukanlah satu-satunya dan paling utama dalam bisnis. Ada misi lain yang
lebih utama, yaitu sosial kemanusiaan. Jangan sampai karena benturan kepentingan
bisnis rumah sakit dan kepentingan penyelamatan pasien, rumah sakit melupakan
fungsi sosialnya.
Kembali kepada
kasus Debora, pemerintah, dalam hal ini kementerian kesehatan tidak cukup hanya
memberi surat teguran kepada pihak rumah sakit. Harus dilakukan penyelidikan secara
komprehensif dengan menggali data dan informasi secara lengkap dari kedua pihak
(rumah sakit dan pasien), apakah ada tindak pidana dalam tragedi Debora ini.
*) Tulisan ini dimuat di Koran Republika, 28 September 2017.
**) Alhamdulillah, masih diberi kekuatan dan kesempatan oleh Allah untuk terus belajar menulis.
6 comments:
Kapitalisme apapun bentuknya tetap tidak dibenarkan ya pak, banyak merugikan terutama untuk rakyat kurang mampu. Semoga kisah yang menimpa adek kita Debora tidak terulang kembali...
Iya, Kang Maman, semoga tidak ada Debora-Debora lainnya lagi.
Waah luar biasa mas Irham tulisannya masuk lagi ke media cetak hehe :D
Rumah sakit ataupun tempat pelayanan kesehatan bukannya tidak boleh mencari untung. Kalau tidak ada untung, rumah sakit lama-kelamaan akan bobrok dan tidak bisa lagi memberikan pelayanan.
Saya tidak ingin menyalahkan pihak mana pun, karena saya tidak tahu bagaimana keadaan pasien saat itu: apakah benar-benar tidak ditangani atau keadaan pasien tiba-tiba memburuk setelah kegawatan ditangani. Perlu ditekankan bahwa tidak ada jaminan bahwa pasien akan selamat jika pasien dimasukkan ke dalam ruang perawatan intensif, karena tidak jarang saya melihat pasien yang meregang nyawa di ruang perawatan intensif.
Saya setuju dengan mas Irham bahwa perlu dilakukan penyelidikan secara komprehensif terhadap kasus ini sehingga kita berharap kejadian yang serupa tidak terulang kembali.
Bener, Mas, agar maju dan berkembang, RS memang harus mengambil untung. Kalau buntung, bisa berabe deh. Cuma ya itu tadi, RS jg harus menyadari bhwa korporasi mereka berbeda dg bisnis2 lain yang minim akan misi-misi sosial-kemanusiaan. Karena itu, selain berikhtiar mendapatkan untung, RS jg harus mengedepankan misi kemanusiaan tsb. Tidak hanya target profit semata.
Nah, penyelidikan komprehensif itu nantinya yg akan menguak apa sebenarnya yg telah terjadi di sana.
Terima kasih sudah berkunjung kemari, Mas. Sukses selalu untuk Mas Bayu.
Benar sekali mas. Mari kita lihat perkembangan dari kasus ini agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Terima kasih kembali mas Irham :D
Sama-sama, Mas Bay, terima kasih juga untuk Mas Bayu.
Post a Comment