Sampai saat ini, masih
banyak umat Islam yang beranggapan bahwa Muharam adalah bulan saat Rasulullah
melakukan perjalanan hijrah dari Mekah menuju Madinah. Kesimpulan ini mereka tarik
begitu saja dari adanya gelaran peringatan tahun baru hijriah setiap bulan Muharam.
Muharam memang menjadi
bulan pertama dalam kalender hijriah. Akan tetapi, senyatanya perjalanan hijrah
beliau tidak dilakukan pada bulan tersebut. Beliau --yang dibersamai Abu
Bakar-- meninggalkan Mekah pada 26 atau 27 Shafar dan menginap beberapa malam
di Gua Tsur, dan baru tiba di Madinah pada Jumat, 12 Rabiul Awal. Saya sering
menyebut 12 Rabiul Awal ini sebagai tarikh pokok dalam kehidupan Rasulullah
karena pada tanggal itulah beliau lahir, beliau hijrah (tiba di Madinah), dan beliau
wafat.
Peristiwa hijrah Nabi telah
disepakati para sahabat sebagai tahun pertama bagi kalender Islam. Akan tetapi,
mereka belum bersepakat dalam menentukan awal bulannya. Atas usul Umar bin
Khattab, disepakatilah Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender hijriah.
***
Hijrah selalu direfleksikan
sebagai momentum untuk melakukan transformasi diri dan keberislaman, berhijrah
dari kemaksiatan menuju ketaatan dan dari keburukan menuju kebaikan. Dalam
konteks kebangsaan, tahun baru hijriah juga patut dijadikan momentum
transformasi keberumatan yang mewujud dalam kehidupan damai dan toleran.
Abdullah bin Uraiqith
Keberadaan sosok
bernama Abdullah bin Uraiqith dalam perjalanan hijrah Nabi menyiratkan pesan
damai dan toleran dalam Islam. Abdullah bin Uraiqith bukan seorang muslim,
tetapi justru dialah yang dipercaya Nabi sebagai penunjuk jalan dan pengawal
dalam perjalanan hijrah, dengan sejumlah upah dari Abu Bakar.
Misi yang diemban
Abdullah bin Uraiqith sangat berat dan penuh risiko. Begitu pula bagi Nabi,
memercayakan pengawalan selama hijrah kepada Abdullah bin Uraiqith juga menyimpan
risiko yang tidak ringan. Bisa saja sosok nonmuslim ini justru berkhianat dan
membawa Nabi dalam perangkap kaum musyrik di Mekah. Pasalnya, pada saat yang
sama kaum kafir Mekah menjanjikan imbalan 100 unta bagi siapa saja yang
berhasil menangkap Muhammad. Sikap saling percaya dan menolak berkhianat membuat
kedua pihak, baik Nabi maupun Abdullah bin Uraiqith, berhasil membangun harmoni
selama perjalanan migrasi.
Selama hijrah tidak
ada sedikit pun perlakuan diskriminatif apalagi kasar yang diterima Abdullah
bin Uraiqith. Begitu pula ketika sampai di Madinah, tidak satu pun sahabat Nabi
yang melakukan kekerasan fisik maupun verbal kepadanya. Abdullah bin Uraiqith justru
diperlakukan secara terhormat.
Peristiwa di perkemahan
Ummu Ma’bad, sebelum Rasulullah tiba di Madinah, juga bisa menjadi pelajaran
penting bagi kita. Saat itu dahaga hebat datang menyerang bersama rasa lapar yang
juga tak tertahan. Rasulullah mengajak Abu Bakar, Amir bin Fuhairah, dan
Abdullah bin Uraiqith untuk mencari sesuatu untuk menghilangkan lapar dan
dahaga.
Ringkas cerita, di
perkemahan Ummu Ma’bah itu beliau mendapatkan susu segar dari seekor kambing kecil
yang kurus kering. Dengan tangan sendiri beliau mengulurkan semangkuk susu
kepada Abdullah bin Uraiqith, selain juga kepada Abu bakar ash-Shiddiq dan Amir
bin Fuhairah (bekas budak Abu Bakar). Beliau justru meminum susu kambing itu
paling belakang, setelah semua orang puas melepas dahaga mereka.
“Mengapa Anda tidak
minum terlebih dahulu?” tanya Ummu Ma’bad heran.
Beliau menjawab, “Khadimul
umam akhiruhum syurban; pelayan umat itu minumnya belakangan.”
Dr. Yusuf Qardhawi dan
Fahmi Huwaidi dalam al-Waqtu fi Hayat al-Muslim menyampaikan
dua hal penting dari keberadaan Abdullah bin Uraiqith dalam misi hijrah
Nabi. Pertama, secara positif, ada kemaslahatan yang memang
dibutuhkan Nabi dari sosok nonmuslim tersebut. Kedua, secara
negatif, ada kekafiran dalam diri Abdullah bin Uraiqith yang jelas bertentangan
dengan dakwah Nabi. Namun, Nabi lebih memprioritaskan unsur kemaslahatan
daripada kekafiran Abdullah bin Uraiqith. Perkara kekafirannya, biarlah menjadi
urusan dia dengan Sang Yang Mahakuasa.
Piagam Madinah
Kedatangan
Nabi di Madinah telah mengubah kultur masyarakat Madinah yang semula tertutup
menjadi lebih terbuka. Umat Islam kala itu memang merupakan kelompok minoritas,
namun kedatangannya di Madinah mampu menyemaikan nilai-nilai baru berupa spirit
persaudaraan baik sesama muslim, antarkabilah (antarsuku), maupun antara muslim
dan nonmuslim. Persaudaraan sesama muslim dibangun di atas fondasi keyakinan
Islam (ukhuwah islamiyah; islamic brotherhood), sementara persaudaraan
muslim dengan nonmuslim dibangun di atas fondasi kemanusiaan (ukhuwah
insaniyah/basyariyah; brotherhood
humanities).
Misi
perdamaian dan toleransi Nabi semakin mencapai puncak dengan lahirnya Piagam
Madinah (Madinah Charter) pada tahun pertama atau kedua hijrah (622 M).
Piagam ini secara eksplisit merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari Nabi
untuk membangun toleransi. Beliau ingin menunjukkan kepada umatnya dan kabilah
yang hidup di Madinah, bahwa kepemimpinannya akan mengedepankan prinsip
toleransi, baik toleransi di dalam internal umat Islam maupun toleransi dalam
konteks antaragama dan kabilah. (Zuhairi Misrawi, 2009: 297)
Sejak
kedatangan Nabi di kota yang semula bernama Yatsrib tersebut, Madinah memancarkan
pesonanya yang luar biasa. Madinah tidak lagi berarti “kota biasa”, tetapi
telah menjadi kota peradaban, induk segala kota, dan kota yang penuh cinta
sehingga masyarakatnya semakin karib bersahabat dan gemar membangun harmoni. Pada
masanya, atas jasa Nabi, Madinah berhasil menjadi satu-satunya kota di Jazirah
Arab yang mampu menerima kebhinnekaan.
Wajah
Madinah yang bersahabat ini tidak hanya terlihat pada zaman Nabi, tetapi tetap
terpancar sampai sekarang. Inilah wujud keberhasilan ajaran Islam, mampu
menaklukkan setiap benci menjadi toleransi. Ini pun menjadi bukti bahwa agama
dapat dijadikan sebagai landasan perdamaian.
Pesan
damai lainnya bisa kita temukan dalam penuturan seorang Yahudi Bani Qainuqa’,
Abu Yusuf Abdullah bin Salam. Saat Rasulullah tiba di Madinah, dia masih teguh
dalam agama Yahudi. Namun, saat mendengar pesan-pesan sejuk Rasulullah, mantaplah
hatinya untuk memeluk Islam.
Pesan
Rasulullah saat itu adalah: “‘Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam,
berikan makan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah di waktu malam ketika
orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” (HR.
at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Sumber Gambar: http://mawdoo3.com
2 comments:
saya baru kali ini denger Abdullah bin Uraiqith T.T
Iya, Mas, memang sering terlewatkan kok.
Post a Comment