ads
Tuesday, September 26, 2017

September 26, 2017
2

Sampai saat ini, masih banyak umat Islam yang beranggapan bahwa Muharam adalah bulan saat Rasulullah melakukan perjalanan hijrah dari Mekah menuju Madinah. Kesimpulan ini mereka tarik begitu saja dari adanya gelaran peringatan tahun baru hijriah setiap bulan Muharam.
Muharam memang menjadi bulan pertama dalam kalender hijriah. Akan tetapi, senyatanya perjalanan hijrah beliau tidak dilakukan pada bulan tersebut. Beliau --yang dibersamai Abu Bakar-- meninggalkan Mekah pada 26 atau 27 Shafar dan menginap beberapa malam di Gua Tsur, dan baru tiba di Madinah pada Jumat, 12 Rabiul Awal. Saya sering menyebut 12 Rabiul Awal ini sebagai tarikh pokok dalam kehidupan Rasulullah karena pada tanggal itulah beliau lahir, beliau hijrah (tiba di Madinah), dan beliau wafat.
Peristiwa hijrah Nabi telah disepakati para sahabat sebagai tahun pertama bagi kalender Islam. Akan tetapi, mereka belum bersepakat dalam menentukan awal bulannya. Atas usul Umar bin Khattab, disepakatilah Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender hijriah.
***
Hijrah selalu direfleksikan sebagai momentum untuk melakukan transformasi diri dan keberislaman, berhijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan dan dari keburukan menuju kebaikan. Dalam konteks kebangsaan, tahun baru hijriah juga patut dijadikan momentum transformasi keberumatan yang mewujud dalam kehidupan damai dan toleran.

Abdullah bin Uraiqith
Keberadaan sosok bernama Abdullah bin Uraiqith dalam perjalanan hijrah Nabi menyiratkan pesan damai dan toleran dalam Islam. Abdullah bin Uraiqith bukan seorang muslim, tetapi justru dialah yang dipercaya Nabi sebagai penunjuk jalan dan pengawal dalam perjalanan hijrah, dengan sejumlah upah dari Abu Bakar.
Misi yang diemban Abdullah bin Uraiqith sangat berat dan penuh risiko. Begitu pula bagi Nabi, memercayakan pengawalan selama hijrah kepada Abdullah bin Uraiqith juga menyimpan risiko yang tidak ringan. Bisa saja sosok nonmuslim ini justru berkhianat dan membawa Nabi dalam perangkap kaum musyrik di Mekah. Pasalnya, pada saat yang sama kaum kafir Mekah menjanjikan imbalan 100 unta bagi siapa saja yang berhasil menangkap Muhammad. Sikap saling percaya dan menolak berkhianat membuat kedua pihak, baik Nabi maupun Abdullah bin Uraiqith, berhasil membangun harmoni selama perjalanan migrasi.
Selama hijrah tidak ada sedikit pun perlakuan diskriminatif apalagi kasar yang diterima Abdullah bin Uraiqith. Begitu pula ketika sampai di Madinah, tidak satu pun sahabat Nabi yang melakukan kekerasan fisik maupun verbal kepadanya. Abdullah bin Uraiqith justru diperlakukan secara terhormat.
Peristiwa di perkemahan Ummu Ma’bad, sebelum Rasulullah tiba di Madinah, juga bisa menjadi pelajaran penting bagi kita. Saat itu dahaga hebat datang menyerang bersama rasa lapar yang juga tak tertahan. Rasulullah mengajak Abu Bakar, Amir bin Fuhairah, dan Abdullah bin Uraiqith untuk mencari sesuatu untuk menghilangkan lapar dan dahaga.
Ringkas cerita, di perkemahan Ummu Ma’bah itu beliau mendapatkan susu segar dari seekor kambing kecil yang kurus kering. Dengan tangan sendiri beliau mengulurkan semangkuk susu kepada Abdullah bin Uraiqith, selain juga kepada Abu bakar ash-Shiddiq dan Amir bin Fuhairah (bekas budak Abu Bakar). Beliau justru meminum susu kambing itu paling belakang, setelah semua orang puas melepas dahaga mereka.
“Mengapa Anda tidak minum terlebih dahulu?” tanya Ummu Ma’bad heran.
Beliau menjawab, “Khadimul umam akhiruhum syurban; pelayan umat itu minumnya belakangan.”
Dr. Yusuf Qardhawi dan Fahmi Huwaidi dalam al-Waqtu fi Hayat al-Muslim menyampaikan dua hal penting dari keberadaan Abdullah bin Uraiqith dalam misi hijrah Nabi. Pertama, secara positif, ada kemaslahatan yang memang dibutuhkan Nabi dari sosok nonmuslim tersebut. Kedua, secara negatif, ada kekafiran dalam diri Abdullah bin Uraiqith yang jelas bertentangan dengan dakwah Nabi. Namun, Nabi lebih memprioritaskan unsur kemaslahatan daripada kekafiran Abdullah bin Uraiqith. Perkara kekafirannya, biarlah menjadi urusan dia dengan Sang Yang Mahakuasa.

Piagam Madinah
Kedatangan Nabi di Madinah telah mengubah kultur masyarakat Madinah yang semula tertutup menjadi lebih terbuka. Umat Islam kala itu memang merupakan kelompok minoritas, namun kedatangannya di Madinah mampu menyemaikan nilai-nilai baru berupa spirit persaudaraan baik sesama muslim, antarkabilah (antarsuku), maupun antara muslim dan nonmuslim. Persaudaraan sesama muslim dibangun di atas fondasi keyakinan Islam (ukhuwah islamiyah; islamic brotherhood), sementara persaudaraan muslim dengan nonmuslim dibangun di atas fondasi kemanusiaan (ukhuwah insaniyah/basyariyah; brotherhood humanities).
Misi perdamaian dan toleransi Nabi semakin mencapai puncak dengan lahirnya Piagam Madinah (Madinah Charter) pada tahun pertama atau kedua hijrah (622 M). Piagam ini secara eksplisit merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari Nabi untuk membangun toleransi. Beliau ingin menunjukkan kepada umatnya dan kabilah yang hidup di Madinah, bahwa kepemimpinannya akan mengedepankan prinsip toleransi, baik toleransi di dalam internal umat Islam maupun toleransi dalam konteks antaragama dan kabilah. (Zuhairi Misrawi, 2009: 297)
Sejak kedatangan Nabi di kota yang semula bernama Yatsrib tersebut, Madinah memancarkan pesonanya yang luar biasa. Madinah tidak lagi berarti “kota biasa”, tetapi telah menjadi kota peradaban, induk segala kota, dan kota yang penuh cinta sehingga masyarakatnya semakin karib bersahabat dan gemar membangun harmoni. Pada masanya, atas jasa Nabi, Madinah berhasil menjadi satu-satunya kota di Jazirah Arab yang mampu menerima kebhinnekaan.
Wajah Madinah yang bersahabat ini tidak hanya terlihat pada zaman Nabi, tetapi tetap terpancar sampai sekarang. Inilah wujud keberhasilan ajaran Islam, mampu menaklukkan setiap benci menjadi toleransi. Ini pun menjadi bukti bahwa agama dapat dijadikan sebagai landasan perdamaian.
Pesan damai lainnya bisa kita temukan dalam penuturan seorang Yahudi Bani Qainuqa’, Abu Yusuf Abdullah bin Salam. Saat Rasulullah tiba di Madinah, dia masih teguh dalam agama Yahudi. Namun, saat mendengar pesan-pesan sejuk Rasulullah, mantaplah hatinya untuk memeluk Islam.

Pesan Rasulullah saat itu adalah: “‘Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” (HR. at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan lain-lain)

Sumber Gambar: http://mawdoo3.com

2 comments:

Andie said...

saya baru kali ini denger Abdullah bin Uraiqith T.T

Irham Sya'roni said...

Iya, Mas, memang sering terlewatkan kok.