Penulis : Dr. Abdul Chalik
Penerbit : Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Juni, 2017
Tebal : xviii +
310 halaman
ISBN :
978-602-229-748-2
Di Indonesia, perbincangan Islam sebagai ideologi politik mulai santer sejak kemunculan Piagam Jakarta. Piagam tersebut secara tegas menempatkan Islam sebagai dasar negara melalui penggalan teks “...Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam perkembangannya penggunaan kalimat ini mengalami perdebatan, sampai akhirnya lahir kesepakatan untuk menghilangkan kalimat tersebut pada sidang konstituante 2 Juni 1959.
Pascareformasi
1998, perbincangan Islam sebagai ideologi politik kembali mengemuka. Bersamaan
itu, ormas-ormas Islam --yang selama orde baru tiarap dan lebih banyak bergerak
di bawah tanah—bermunculan dengan agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaan
itu pula muncul beberapa organisasi dan gerakan transnasional, yang di antara gerakan
itu mengampanyekan misi pendirian pemerintahan bersistem khilafah.
Benarkah
khilafah merupakan kewajiban absolut yang harus didirikan berdasarkan sumber
primer ajaran Islam, Alquran dan Sunah? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus
juga mengajak kita merunut sejarah ideologi politik Islam dari masa ke masa dan
dari suatu negara ke negara yang lain.
Sebelum
wafat, Nabi tidak pernah mewasiatkan sistem dan struktur tertentu dalam kepemimpinan/pemerintahan.
Nabi menyerahkan urusan itu kepada umat Islam sesuai dengan tuntutan tempat dan
zaman sebagaimana sabda Nabi, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Bagaimana
dengan kemunculan khilafah pada masa khulafa’ al-rasyidin? Itu merupakan
hasil ijtihad para sahabat kala itu dengan berpijak pada sabda tersebut. (hlm.
154-155)
Dalam
konteks Indonesia --sebagai negara yang berbhinneka tunggal ika--, beban
sejarah dan kemunculan gerakan ekstrem dan eksklusif ala Al-Qaeda dan ISIS (yang
jauh dari kesan Islam) menuntut lahirnya alternatif baru dalam politik Islam.
Salah satunya adalah ideologi Islam Nusantara, yakni ajaran Islam yang bercorak
keindonesiaan dengan tradisi lokalitas yang kuat, menampilkan ajaran Islam yang
ramah, toleran, dan menjunjung tinggi sifat asasi manusia.
*) Tulisan singkat ini dimuat di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Senin, 11 September 2017, halaman 22.
6 comments:
Semoga terjaga dari aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam yg bertujuan merusak Islam
Meneladani Jejak Generasi Terbaik.
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah Swt menginginkan kebaikan kepada seseorang dari umatku, maka Allah Swt akan menaruh kecintaan terhadap sahabat-sahabatku di dalam hatinya” (HR. Dailami, Munadul Firdaus)
Rasulullah Saw bersabda, “Para Sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapapun yang kalian ikuti jejak dari mereka, niscaya kalian akan mendapatkan hidayah (petunjuk).”
Itulah generasi yang pantas kita cintai dan teladani jejak pejuangan mereka dalam menegakkan kekhilafahan Islam dan menyebarkan Islam kepenjuru dunia.
Ijma’ para sahabat, bahwa mereka lebih mendahulukan permusyawaratan untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai kepala Negara , daripada mengurus jenazah Rasulullah saw. sendiri Para sahabat dan pemimpin-pemimpin Islam pada waktu itu ramai membicarakan dan memusyawarahkan pengangkatan Khalifah, sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar Siddiq menjadi Khalifah pertama setelah Rasulullah saw.
Sikap para sahabat itu menunjukan, bahwa pengangkatan Khalifah sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan umat Islam selanjutnya. ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah Saw bersabda, “Para Sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapapun yang kalian ikuti jejak dari mereka, niscaya kalian akan mendapatkan hidayah (petunjuk).”
Aamiin... semoga dunia ini, khususnya, Indonesia senantiasa rukun dan damai, walaupun berbeda-beda suku dan agamanya.
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak komentar di blog saya.
Semua orang tahu bahwa pascawafat Rasulullah para sahabat lebih berfokus menentukan pengganti atau penerus kepemimpinan beliau (yang kemudian disebut khalifah) daripada mengurus jenazah beliau. Kita semua juga tahu bahwa mengangkat seseorang menjadi pemimpin itu sangat penting. Bahkan, dalam level sekecil apa pun (misalnya, kelas, kelompok pengajian, dll) pastilah akan kita angkat pemimpin.
Peristiwa pengangkatan Abu Bakar itu merupakan ijtihad para sahabat akan pentingnya mengangkat pemimpin; tidak boleh ada kekosongan pemimpin dalam suatu komunitas. Peristiwa itu bukan legitimasi absolut akan diwajibkannya mendirikan sebuah pemerintahan dg sistem khilafah, yg pemangku jabatannya digelari Khalifah.
Karena memang tidak pernah ada nash qath'i tentang kewajiban mendirikan (negara) khilafah, maka umat Islam di tempat dan zaman yg berbeda melakukan ijtihad politiknya (termasuk khulafa'ur rasyidin, dinasti umayyah, dinasti abbasiyah, dll) sehingga bermunculan sistem yg beragam; mamlakah (kerajaan), emirat (keamiran), sulthaniyyah (kesultanan), jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.
Salam hangat, dan salam persaudaraan!
Saya pernah membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika ada pertentangan dasar negara Indonesia dengan ajaran Islam, mari kita diskusikan. Siapa tau saya yang khilaf karena tidak menemukan pertentangannya.
Memang tidak ada pertentangan antara pesan pokok dalam sila-sila Pancasila dengan ajaran Islam, Mas. Kalau ada, pastilah para ulama dan founding father muslim sudah sedari dulu bersepakat menggugat dan mencampakkan Pancasila.
Post a Comment