ads
Wednesday, August 23, 2017

August 23, 2017
14

Setelah absen dari menulis di koran selama empat tahun, saya merasa gamang dan berat saat hendak memulainya lagi. Beberapa lama hanya bisa duduk terpaku memandangi layar komputer yang kosong. Mencoba mengetikkan beberapa kalimat, tetapi selalu ragu untuk melanjutkan. Diketik, dihapus. Diketik lagi, dibaca dan tampaknya tidak bagus, lalu dihapus lagi.

“Kenapa bisa begitu? Bukankah menulis naskah buku dan menulis artikel di koran tidak ada bedanya? Keduanya sama-sama menulis.”

Keduanya memang sama-sama menulis, bahkan membuat status di facebook itu juga menulis, tetapi masing-masing mempunyai karakteristik yang harus kita ketahui dan jiwai. Jika sudah biasa menulis sesuai karakteristiknya, selanjutnya pasti akan terasa ringan. Mereka yang biasa menulis cerpen, tentu akan enteng-enteng saja menghasilkan karya cerpen sebanyak-banyaknya. Alah bisa karena biasa, demikian kata pepatah.

Seberat apa pun rintangan, tak bolehlah kita berputus asa. Teruslah berusaha. Akhirnya, saya coba membuat tulisan yang ringan saja. Jatuhlah pilihan pada resensi. Saya ketikkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat, akhirnya rampunglah resensi tersebut.

Ke mana harus saya kirim?
Saya pikir surat kabar harian Kedaulatan Rakyat atau Suara Merdeka masih mempunyai kolom resensi, ternyata sudah tidak ada. Akhirnya, saya pilihlah Koran Jakarta sebagai target pengiriman. Tepat satu minggu setelah saya kirimkan resensi tersebut ke opinikoranjakarta@yahoo.co.id, hari ini (Rabu, 23/08/2017) nongol juga di Koran Jakarta. Alhamdulillah... Jika tertarik membacanya, silakan klik link ini à http://www.koran-jakarta.com/islam-dan-pergulatan-ideologi-kenegaraan/

Berikut adalah tulisan asli sebelum disunting oleh redaksi Koran Jakarta.
***



Judul
:
Islam, Negara dan Masa Depan Ideologi Politik
Penulis
:
Dr. Abdul Chalik
Tebal
:
xviii + 310 halaman
Cetakan
:
Juni, 2017
Penerbit
:
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
ISBN
:
978-602-229-748-2

Islam dan Pergulatan Ideologi Kenegaraan

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam memang tidak ada habisnya diperbincangkan, bahkan selalu relevan. Setidaknya ada empat alasan mengapa isu tersebut tetap hangat untuk dikaji dan didiskusikan.
Pertama, adanya pandangan bahwa kajian tentang politik (al-siyasah) senilai dengan kajian tentang hudud, qisas, ibadah, faraid, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dalam studi keagamaan.
Kedua, adanya berbagai desakan untuk kembali kepada ajaran dan praktik klasik, terutama masa Rasulullah dan al-Khulafa’ al-Rasyidin, dalam kehidupan kenegaraan. Dua era ini kerap dipandang sebagai masa keemasan (golden age) dalam praktik perpolitikan yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah.
Ketiga, pada saat bersamaan, praktik demokrasi ala Barat di berbagai negara yang mayoritas muslim justru melahirkan instabilitas dan ketidaknyamanan karena dianggap prematur dan bertentangan dengan tradisi yang sudah lama dibangun oleh penduduk setempat. Demokrasi kemudian melahirkan hegemoni dan pemaksaan negara-negara tertentu yang dianggap terlalu vulgar dalam mempraktikkan demokrasi dalam kehidupan bernegara.
Keempat, pada saat bersamaan pula, di beberapa Perguruan Tinggi Islam, kajian Islam politik dan politik Islam mendapatkan ruang yang sangat luas. Hal itu ditandai dengan banyaknya IAIN/UIN yang membuka program Studi Politik Islam, yang salah satu misinya adalah mengembangkan kajian-kajian politik Islam dan Islam politik dalam ranah teoretik dan praktik.
Buku yang ditulis oleh dosen Politik Islam dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya ini semakin menemukan momentumnya pada hari ini, ketika tidak sedikit orang secara terang-terangan mengampanyekan khilafah dan menolak prinsip demokrasi.
Sampai hari ini khalifah dan khilafah terus didengungkan oleh banyak organisasi keagamaan dunia. Salah satunya adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Namun sayangnya, institusi yang suci ini telah dicederai oleh gerakan kelompok-kelompok semacam ISIS untuk memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan dan jauh dari kesan Islam (hlm. 294).
Pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidin, institusi bernama khalifah ini sejatinya memiliki semangat yang sama dengan sistem demokrasi, yakni pemberian ruang publik yang luas bagi kelangsungan berbangsa-bernegara. Khalifah adalah pelaksana undang-undang, sementara rakyat melalui parlemen (ahl al-hal wa al-‘aqd) menentukan ke mana arah undang-undang tersebut sesuai dengan semangat etik agama. (hlm. 293)
Namun, kekhalifahan ideal tersebut telah memudar sejak Muawiyah berkuasa (+ 661 – 680 M). Seluruh jabatan strategis diisi oleh sanak kerabatnya sehingga memungkinkan baginya memerintah tanpa batas (non-restrivted authority) dan bergerak tanpa kontrol. Ketiadaan kontrol yang ketat inilah membuat Muawiyah --yang diharapkan mampu memelihara tradisi-tradisi Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidin dalam menentukan jabatan khalifah—harus tunduk pada ambisi pribadi dan keluarganya. Kekhalifahan berdasarkan musyawarah ini kemudian benar-benar berakhir dengan ditunjuknya Yazid menjadi khalifah menggantikan ayahandanya, Muawiyah (hlm. 82-84). 
Pergantian kekuasaan dengan sistem warisan atau turun-temurun ini menjadikan fungsi khalifah mengalami pergeseran. Khalifah yang semula sebagai khalifaturrasul (wakil Nabi) dalam meneruskan perjuangan Islam, pada masa ini menjadi khalifatullah (wakil Allah). Dan, gelar ini semata-mata untuk mencari legalitas kedaulatan dan mendapatkan legitimasi rakyat. (hlm. 84)
Dalam konteks Indonesia, beban sejarah ini melahirkan berbagai alternatif baru dalam politik Islam. Salah satunya adalah ideologi Islam Nusantara, yakni ajaran Islam yang bercorak keindonesiaan dengan tradisi lokalitas yang kuat, dengan menampilkan ajaran Islam yang ramah, toleran, dan menjunjung tinggi sifat asasi manusia.

Sumber Gambar:
1. https://www.getscoop.com/id/cart?1503454689
2. Foto pribadi dari HP jadul

14 comments:

John Poerba said...

Sy non muslim mas Irham....meski begitu sy selektif dalam membangun persepsi sy tentang islam...utamanya dalam orientasi dan praktik perilakunya.....sy banyak belajar bahwa di zaman Nabi islam itu sangat toleran....walaupun mayoritas saat itu tapi tetap memberi ruang bagi perbedaan....sy bayangkan betapa indah indonesia ini jika nilai ajaran islam yang sebenarnya yang di amalkan oleh segelintir orang / organisasi yg justru mengaku paling islam.....ISIS misalnya....sy pikir organisasi ini telah membunuh kemanusiaan pada titik yang paling ekstrim.....

Maya said...

Islam itu rahmat dan membawa kedamaian bagi setiap orang
selamat pagi, senang dengan kehadiran yaitu bapak yang senior di blog saya yang sangat jauh dari sempurna
Sukses utk tulisan-tulisanya

Irham Sya'roni said...

Salam kenal, Mas John Poerba. Senang bisa berkenalan dan berteman dengan Mas John. Perbedaan agama kita tidak menghalangi simpul pertemanan, sebagaimana tidak terhalanginya Rasulullah yang saat hijrah ke Madinah justru dipandu oleh seorang nonmuslim bernama Abdullah bin Uraiqith.

Ini menjadi teladan agar kita saling menghormati dan toleransi; tidak saling bermusuhan, apalagi beradu kekerasan. Karena sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kehancuran, baik kosmos maupun sosial.

Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD '45 (PBNU) menjadi pilar yang menyatukan kita dalam simpul-simpul kebangsaan yang menyejukkan.

Irham Sya'roni said...

Selamat pagi juga, Mbak Maya. Tidak ada senioritas dalam pertemanan sahabat blogger kok, Mbak. Siapa yang rajin dan istiqamah menulis, dialah blogger yang patut kita acungi jempol. Salah satu yang rajin dan istiqamah nulis adalah "www.jejakmayaku.com".
Tabik...

Maya said...

Saya jadi malu nih pak
Tabik pun
Iya pun

bapak tahu salam Lampung, terima kasih banyak 🙏🏻😀

Irham Sya'roni said...

Hehe... justru saya yang seharusnya malu, Mbak, karena baru akhir-akhir ini tergerak nulis lagi. Kalah rajin deh sama Mbak Maya. :)

Moga kita semua makin rajin dan produktif menulis.

Maman Achman said...

Ijin share aja ya pak, semoga tulisan yang sangat inspiratif ini bisa membangkitkan semangat para penulis lainnya untuk berkarya lebih baik dan lebih baik lagi. Salam Ukhuwah..

Irham Sya'roni said...

Monggo, Kang Maman. Silakan.
Matur nuwun, nggih.
Salam ukhuwah

Lisa Nel said...

Menulis bisa karena terbiasa pepatah ini juga tetap dalam ingatan saya. Karena dengan menulis saya bisa merasa hidup dua kali, tapi belum pernah mengirim tulisan ke redaksi. Masih minder ceritanya saya.. Hehe.

Selamat ya mas, tulisannya telah termuat di koran Jakarta. Semoga tambah semangat menulis.

Irham Sya'roni said...

Memelihara minder dan menganak-pinakkannya memang berisiko sangat besar, Mbak. Padahal di blog Mbak Lisa Nel ada banyak cerpen dan puisi yang tidak kalah bagusnya untuk dikirim ke media massa.

Terima kasih doanya, ya, Mbak. Semoga lain waktu giliran tulisan Mbak Lisa Nel yang nongol di koran.

Dian Restu Agustina said...

Keren, Mas. Saya suka resensinya. Terus semangat berkarya ya Mas..Ditunggu karya lainnya. Semoga banyak bermunculan di media :)

Irham Sya'roni said...

Terima kasih doa dan motivasinya, Mbak.
Karya-karya Mbak Dian, baik cerpen maupun puisi, juga bagus. Semoga semakin produktif berkarya.

konspirasi semesta said...

Assalamualaikum pak itu email-nya masih valid kan ya? 🙏

Irham Sya'roni said...

@Aulia Yumna: InsyaAllah masih.