ads
Wednesday, August 10, 2016

August 10, 2016
12
Agak terlambat saya tiba di lokasi. Maklum, kampus UGM cukup awam bagi saya. Harus muter-muter dulu untuk mencari di mana gedung Radiopoetro Fakultas Kedokteran berada. Untunglah tidak terlalu lama terlambat. Hanya 10 menit.

Saat memasuki ruangan yang telah ditentukan, sudah ada sekira 150-an orang di sana. Mereka adalah para pegawai atau karyawan Fak. Kedokteran.

Di dinding ruangan sudah terpampang tulisan “Forum Pengajian Pegawai Fakultas Kedokteran UGM, Bersama Ustadz bla bla bla....dan seterusnya.” Judulnya memang pengajian, namun saya lebih cenderung menyebutnya seminar atau kuliah. Pasalnya, berbeda dengan pengajian di kampung, pengajian di kampus lebih mirip seminar atau kuliah. Ada presentasi singkat lalu tanya-jawab. Dan, dihadiri oleh orang-orang yang berpakaian rapi khas kantoran. Tidak sarungan dan berpeci seperti saat pengajian selapanan atau tahlilan. Benar-benar mirip seminar atau kuliah!

“Biasanya siapa yang memberi materi kajian?” tanya saya kepada panitia.

“Tidak pasti, Tadz. Sering juga Ustad Tuasikal dan teman-temannya.”

Satu jam lebih sedikit waktu saya gunakan untuk presentasi dan tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab, saya sangat berharap banyak pertanyaan yang menambah ilmu baru bagi saya, syukur-syukur memaksa saya begadang untuk mencari jawabannya. Namun, harapan itu belum terwujudkan. Mungkin pada lain waktu atau di forum berbeda saya bisa mendapatkannya.

Satu jam lebih sedikit, acara purna. Dipungkasi dengan pembagian doorprize bagi para penanya. Doorprize-nya berupa buku-buku agama. Dari sampulnya, aku ketahui itu bukan buku karya Gus Mus, Kiai Ali Mustafa Ya’qub, Cak Nun, atau Gus Ali Masyhuri Sidoarjo. Bukan pula buku karya santri menara, santri Sarang, santri Lirboyo, santri Sidogiri, atau santri Langitan. Tapi, buku agama karya “mereka”.

Sebelum ditutup, panitia menyampaikan pengumuman sekaligus undangan terbuka untuk menghadiri pengajian yang diasuh oleh Ustadz Khalid Basalamah. Saat itulah saya mendesah dan bertanya dalam hati, “Kenapa tidak Cak Nun, Syafi’i Ma’arif, Hasyim Muzadi, Gus Qoyyum, atau semisalnya?”

Ah, sudahlah...! Yang jelas pengajian di kampus itu benar-benar berbeda dengan di desa. Tidak hanya format acaranya yang berbeda, tetapi juga pemberian amplopnya. Jika di kampung atau di desa, panitia senyam-senyum menyalami ustadnya dengan menyodorkan telapak tangan yang berbalut amplop. Atau, sekena tangannya asal menyelipkan amplop ke saku baju sang ustad. Begitulah di desa. Di kampus tidak demikian; ada proses tanda tangan yang harus dilakoni oleh sang ustad. Buat laporan, katanya.

Dalam hati saya tersenyum kecil, “Lha wong sekian tahun lamanya jadi buruh penerbitan, belum pernah sekalipun aku tanda tangan saat menerima gaji bulanan. Ini hanya satu jam kok pakai tanda tangan segala...!”



12 comments:

Admin said...

wih wah mantab om. satu jam aja udh dpt tandatangan ya om.
dpt plus plus lagi. pahalanya apalagi ya om :)
asyik jg ya om diundang ke UGM..

Akhmad Muhaimin Azzet said...

Bismillaah... ya, Kangmas, sungguh ini penting agar ada "warna" dan lebih "seger". Sungguh, beragama itu juga ada "rasa" dan "cinta" :)

Di sebuah kampus yang "mewah" (karena bayarnya juga mahal), sy pernah diminta mimpin Yasin dan tahlil sebelum mengisi pengajian, lengkap dengan selembar kertas yg berisi nama-nama dosen, karyawan, dan pengurus yayasan yang sudah meninggal dunia :)

Irham Sya'roni said...

Dengan rasa dan cinta itulah akan lahir kesejukan, kedamaian, dan kerukunan dalam aneka warnanya, ya, Kangmas...
Kepengurusan pengajian yg kangmas ampu mungkin minna, makanya lebih luwes acaranya. :)

Irham Sya'roni said...

Yang penting bukan tanda tangannya, Hayy, tapi bagaimana bisa ikut berperan aktif menebarkan kebaikan di sana. Kalau ada plus plusnya, itu cuma bonus dari-Nya saja. :)

Kang Oim said...

Hehe, kang irham saya paham maksid sampean dengan "mereka" itu.. Itulah pengajian mereka kang

Irham Sya'roni said...

Jadi tantangan dan PR buat sampean dan kita semua, Kang..

Berbagai Info said...

Pengalaman ya gan!

Kang Nurul Iman said...

Pengalaman saya sih kang kalau dimintai tanda tangan itu memang buat bukti tertulis kang soalnya saya juga waktu kemarin jadi panitia yang kaya begitu juga demikian kang karena untuk bukti katanya dan nanti itu akan dibicarakan di LPJ (lembar pertanggung jawaban) kang.

Irham Sya'roni said...

Iya, Mas.

Irham Sya'roni said...

Yang terikat birokrasi memang seringnya begitu, Kang. Beda kalau di majelis-majelis lain.

Ana Merya said...

Artis kali pake tanda tangan... #Kidding..
Yah anggap aja pengalaman baru ya pak. :D

Irham Sya'roni said...

Hehe... kalau artis mah orang-orang pada berebut minta foto bareng. Kalau ini, tidak. :))