Agak
terlambat saya tiba di lokasi. Maklum, kampus UGM cukup awam bagi saya. Harus
muter-muter dulu untuk mencari di mana gedung Radiopoetro Fakultas Kedokteran
berada. Untunglah tidak terlalu lama terlambat. Hanya 10 menit.
Saat
memasuki ruangan yang telah ditentukan, sudah ada sekira 150-an orang di sana.
Mereka adalah para pegawai atau karyawan Fak. Kedokteran.
Di
dinding ruangan sudah terpampang tulisan “Forum Pengajian Pegawai Fakultas
Kedokteran UGM, Bersama Ustadz bla bla bla....dan seterusnya.” Judulnya memang
pengajian, namun saya lebih cenderung menyebutnya seminar atau kuliah.
Pasalnya, berbeda dengan pengajian di kampung, pengajian di kampus lebih mirip
seminar atau kuliah. Ada presentasi singkat lalu tanya-jawab. Dan, dihadiri
oleh orang-orang yang berpakaian rapi khas kantoran. Tidak sarungan dan berpeci
seperti saat pengajian selapanan atau tahlilan. Benar-benar mirip seminar atau
kuliah!
“Biasanya
siapa yang memberi materi kajian?” tanya saya kepada panitia.
“Tidak
pasti, Tadz. Sering juga Ustad Tuasikal dan teman-temannya.”
Satu
jam lebih sedikit waktu saya gunakan untuk presentasi dan tanya jawab. Dalam
sesi tanya jawab, saya sangat berharap banyak pertanyaan yang menambah ilmu
baru bagi saya, syukur-syukur memaksa saya begadang untuk mencari jawabannya.
Namun, harapan itu belum terwujudkan. Mungkin pada lain waktu atau di forum
berbeda saya bisa mendapatkannya.
Satu
jam lebih sedikit, acara purna. Dipungkasi dengan pembagian doorprize bagi para
penanya. Doorprize-nya berupa buku-buku agama. Dari sampulnya, aku ketahui itu
bukan buku karya Gus Mus, Kiai Ali Mustafa Ya’qub, Cak Nun, atau Gus Ali
Masyhuri Sidoarjo. Bukan pula buku karya santri menara, santri Sarang, santri
Lirboyo, santri Sidogiri, atau santri Langitan. Tapi, buku agama karya
“mereka”.
Sebelum
ditutup, panitia menyampaikan pengumuman sekaligus undangan terbuka untuk
menghadiri pengajian yang diasuh oleh Ustadz Khalid Basalamah. Saat itulah saya
mendesah dan bertanya dalam hati, “Kenapa tidak Cak Nun, Syafi’i Ma’arif,
Hasyim Muzadi, Gus Qoyyum, atau semisalnya?”
Ah,
sudahlah...! Yang jelas pengajian di kampus itu benar-benar berbeda dengan di
desa. Tidak hanya format acaranya yang berbeda, tetapi juga pemberian
amplopnya. Jika di kampung atau di desa, panitia senyam-senyum menyalami
ustadnya dengan menyodorkan telapak tangan yang berbalut amplop. Atau, sekena
tangannya asal menyelipkan amplop ke saku baju sang ustad. Begitulah di desa.
Di kampus tidak demikian; ada proses tanda tangan yang harus dilakoni oleh sang
ustad. Buat laporan, katanya.
Dalam
hati saya tersenyum kecil, “Lha wong sekian tahun lamanya jadi buruh
penerbitan, belum pernah sekalipun aku tanda tangan saat menerima gaji bulanan.
Ini hanya satu jam kok pakai tanda tangan segala...!”
12 comments:
wih wah mantab om. satu jam aja udh dpt tandatangan ya om.
dpt plus plus lagi. pahalanya apalagi ya om :)
asyik jg ya om diundang ke UGM..
Bismillaah... ya, Kangmas, sungguh ini penting agar ada "warna" dan lebih "seger". Sungguh, beragama itu juga ada "rasa" dan "cinta" :)
Di sebuah kampus yang "mewah" (karena bayarnya juga mahal), sy pernah diminta mimpin Yasin dan tahlil sebelum mengisi pengajian, lengkap dengan selembar kertas yg berisi nama-nama dosen, karyawan, dan pengurus yayasan yang sudah meninggal dunia :)
Dengan rasa dan cinta itulah akan lahir kesejukan, kedamaian, dan kerukunan dalam aneka warnanya, ya, Kangmas...
Kepengurusan pengajian yg kangmas ampu mungkin minna, makanya lebih luwes acaranya. :)
Yang penting bukan tanda tangannya, Hayy, tapi bagaimana bisa ikut berperan aktif menebarkan kebaikan di sana. Kalau ada plus plusnya, itu cuma bonus dari-Nya saja. :)
Hehe, kang irham saya paham maksid sampean dengan "mereka" itu.. Itulah pengajian mereka kang
Jadi tantangan dan PR buat sampean dan kita semua, Kang..
Pengalaman ya gan!
Pengalaman saya sih kang kalau dimintai tanda tangan itu memang buat bukti tertulis kang soalnya saya juga waktu kemarin jadi panitia yang kaya begitu juga demikian kang karena untuk bukti katanya dan nanti itu akan dibicarakan di LPJ (lembar pertanggung jawaban) kang.
Iya, Mas.
Yang terikat birokrasi memang seringnya begitu, Kang. Beda kalau di majelis-majelis lain.
Artis kali pake tanda tangan... #Kidding..
Yah anggap aja pengalaman baru ya pak. :D
Hehe... kalau artis mah orang-orang pada berebut minta foto bareng. Kalau ini, tidak. :))
Post a Comment