ads
Monday, September 15, 2014

September 15, 2014
2
Di Gua Selarong, petilasan P. Diponegoro (dok. 2008)
Dulu, sebelum kami pindah ke rumah baru, kegiatan bimbingan keagamaan di mushalla Al-Mujahadah berlangsung cukup padat. Selepas Ashar, kegiatan TPA dan Madin(Madrasah Diniyah). Setelah Maghrib, pengajian dan semaan al-Qur’an. Sehabis Isya’, sekali atau dua kali dalam seminggu (?), kajian fiqih untuk remaja. Setiap Ahad pagi pun kita gelar semaan al-Qur’an (Juz Amma, Yasin, dsb). Sesekali pula kita agendakan rekreasi pendidikan atau outbound di tempat-tempat wisata di sekitar Bantul. Tetapi, itu dulu! Sejak pindah ke rumah baru, saya hanya bisa sekali dalam seminggu ke Al-Mujahadah, setiap malam Jum’at sehabis Maghrib. Itu pun untuk memberi kajian ibu-ibu di mushalla. Bukan untuk membimbing anak-anak TPA dan Madin, karena menurut kabar yang saya terima, TPA dan Madin sudah cukup lama bubar. (Duh, eman-eman sekali, ya! :-( ) Kemungkinan karena banyak staf pengajar yang mengundurkan diri disebabkan pindah kependudukan, banyak kesibukan, atau alasan-alasan lain. Akhirnya, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan rekreatif-edukatif seperti dulu di mushalla tersebut. Tinggal tersisa pengajian ba’da Maghrib sampai Isya’ untuk anak-anak, yang diasuh oleh H. Nur Iskandar, Hj. Siti Alfiyah, dan Ust. Fajar Abdul Bashir. Selebihnya adalah pengajian untuk orang tua.

Demi harapan terus membimbing generasi masa depan, sempat pula kami mengonsep kegiatan lain sebagai pengganti TPA dan Madin, yaitu tadarus al-Qur’an dan majelis ta’lim remaja saban malam Ahad. Tempatnya bukan di Mushalla Al-Mujahadah, melainkan di rumah saya di pinggir sawah. Mulanya kegiatan ini berjalan baik, tetapi memasuki musim hujan kegiatan ini menjadi terhambat hingga akhirnya benar-benar vakum alias berhenti total.

Mungkin karena rumah saya jauh sehingga mereka merasa berat kalau harus mengaji bersama di rumah saya, pikirku saat itu.
Suasana rumah saya saat maghrib tiba.

Sebetulnya, sebelum benar-benar berhenti total, sempat tersisa seorang saja yang masih aktif datang ke rumah untuk mengaji dan belajar. Namanya Rizqi. Tetapi, tidak lama kemudian ia pun ikut berhenti setelah mempunyai kesibukan baru sebagai calon mahasiswa. Alhamdulillah, sekarang Rizqi diterima di IST Akprind Yogyakarta.

Jujur, keadaan ini membuat saya sangat bersedih. Ada perasaan bersalah dan berdosa karena saya “menelantarkan” mereka. Tetapi, apa mau dikata, harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Kita boleh berkehendak, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Saya sudah berusaha istiqamah, tetapi kesibukan mereka para remaja itu tidak kalah padat dibandingkan para orang tua. Akhirnya, saya hanya bisa pasrah. 
Anak-anak TPA berziarah di Makam Sewu (dok. 2008)
 
Kreasi santri putra
 
Kreasi santri putri
Selepas prosesi wisuda santri TPA se-Kab. Bantul.

***

Suatu malam, satu setengah tahun yang lalu, tiga perwakilan remaja menemui saya. Mereka meminta saya untuk mendampingi lagi para remaja mengaji dan belajar agama bersama.

Alhamdulillah, semangat mereka kembali menyala! batinku girang.

“Program ini murni karena keinginan kalian atau karena tekanan dan paksaan dari para sesepuh kampung?” tanyaku kepada mereka saat itu.

Wajar saya bertanya seperti itu, karena saat itu memang sedang terjadi "kecelakaan gadis" di kampung mereka. Anda pasti tahu apa maksud dari "kecelakaan gadis", kan? Para sesepuh kampung pun berasa kecolongan. Mereka lalu berpikir bahwa para pemuda harus dibentengi dengan kegiatan-kegiatan positif agar tidak terulang kecelakaan serupa.

“Ini murni program kami, Mas," jawab mereka saat itu. "Salah satunya untuk membentengi kami dari pengaruh buruk yang berseliweran saat ini.”

“Alhamdulillah, aku senang mendengarnya. Oke, kapan kita mulai?” tanyaku.

“Nanti kami kabari, Mas. Kami musyawarahkan dulu dengan teman-teman kapan waktunya,” jawab mereka.

Sebulan telah berlalu. SMS yang saya kirim dijawab oleh mereka: “Belum kami musyawarkan, Mas.” Dua bulan pun terlewati, SMS saya pun kembali mendapat jawaban yang tidak jauh berbeda: “Kami masih kesulitan menentukan waktunya, Mas. Masih sibuk semua.” Tiga bulan, empat bulan, hingga dua belas bulan alias setahun pun terlampaui. Kegiatan yang mereka rencanakan belum juga dimulai.

Sampai akhirnya, dalam rapat RT, sesepuh kampung menanyakan realisasi kegiatan itu. Perwakilan remaja/pemuda lalu menjawab dan memberi pernyataan dengan tegas bahwa mereka sudah siap melaksanakan kegiatan tersebut. Lagi-lagi mereka menunjuk saya sebagai pembimbing. Itu artinya, pernyataan mereka setahun yang lalu mereka ulangi kembali dalam rapat RT.

Para sesepuh kampung pun menyambut baik pernyataan remaja/pemuda tersebut. Silih berganti para sesepuh memberi wejangan kepada para remaja/pemuda. Walaupun senyatanya saya merasakan pahit, karena sesungguhnya yang dibutuhkan bukanlah pernyataan dan wejangan, melainkan kesungguhan untuk merealisasikan dan konsistensi dalam melaksanakan.

Rapat RT hampir rampung, tetapi saya masih tidak kuasa mengomentari semua pernyataan dan wejangan yang sudah berloncatan. Ada ketakutan sekaligus kemarahan yang terpendam. Takut jika saya pribadi tidak bisa konsisten/istiqamah melaksanakan amanah yang diembankan kepada saya, yaitu membimbing para pemuda. Marah karena teringat dusta mereka terhadap saya setahun lamanya.

Akhirnya, demi kebaikan bersama, penunjukan itu pun saya terima. Saya siap mendampingi para remaja/pemuda mengaji dan belajar agama bersama, dengan syarat semua unsur yang terlibat HARUS ISTIQAMAH. Saya sebagai pembimbing berjanji akan istiqamah, mereka para remaja dan pemuda juga harus istiqamah, begitu pula orang tua harus istiqamah menegur anaknya jika tidak berangkat mengaji bersama. Tanpa konsistensi/istiqamah, mustahil suatu kegiatan akan berlangsung abadi dan mustahil pula akan berujung indah. Alhamdulillah, semua yang hadir dalam rapat itu menyatakan menerima syarat dari saya tersebut.
Kak Babel, Mbak Ewa, & De' Arin di depan mushalla

Bersambung --> 3 

2 comments:

memoar biru blog said...

aku lama mengikuti seri tulisan ini , Mas Ustadz, sampean ini sungguh dilimpahi hidup dengan banyak keberkahan, ya.... aku melek sama rumahnya yang dekat sawah. aku sudah lama memendam andai punya rumah dekat sawah. bau jerami dibakar kala senja sangat khas, duhhhh ^_^

Irham Sya'roni said...

Alhamdulillah, semoga karunia Allah ini bisa saya jaga sebagai sebuah amanah. Tentang rumah mewah (mepet sawah), memang mengasyikkan, Mas, jauh dari polusi dan dekat dengan dedaunan hijau. :)