Salah satu sumber
kemuliaan manusia adalah tawadhu’. Ia tidak hanya tertanam dalam hati, tetapi memancar
pula dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.
Para ulama mendefinisikan
tawadhu’ dalam dua pengertian. Pertama, merendahkan hati dengan bersikap ramah
dan lembut kepada orang lain. Dalam pengertian ini seorang yang tawadhu’ tidak akan
pernah memandang rendah dan hina siapa pun. Bak ilmu padi, semakin berisi
justru semakin merunduk.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani pernah berpetuah, sebagaimana disitir oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam
Nasha’ihul Ibad, “Jika bertemu seseorang, hendaklah engkau memandang
orang tersebut lebih utama daripada dirimu. Katakan dalam hatimu, ‘Boleh jadi
dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah daripada aku.’”
Suatu hari Zaid bin
Tsabit mengendarai unta. Melihat kedatangan sang alim penghimpun Alquran, Ibnu
Abbas buru-buru memegang tali kekang unta Zaid bin Tsabit lalu menuntunnya.
“Beginilah kami disuruh Nabi dalam memperlakukan ulama,” kata Ibnu Abbas.
Mendapat penghormatan
demikian, Zaid bin Tsabit segera turun dari untanya lalu mencium tangan Ibnu
Abbas, sepupu Rasulullah, seraya berkata, “Beginilah kami disuruh memperlakukan
keluarga Nabi.”
Pengertian kedua dari
tawadhu’ adalah tunduk dan menerima kebenaran dari siapa pun. Kata Fudhail bin
Iyadh, “Tawadhu’ adalah seseorang tunduk kepada kebenaran, patuh dan
menerimanya meski kebenaran itu datang dari anak kecil atau orang yang bodoh.” Untuk
bisa menerima kebenaran dari siapa pun tidaklah mudah. Dibutuhkan kejujuran, keobjektifan,
dan kelapangan hati. Karena itulah Sayyidina Ali bin Abi Thalib mewejang: “Lihatlah
apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”
Berbeda dengan orang yang
tawadhu’, seseorang yang sombong (takabur) tidak pernah mau menerima kebenaran
dari siapa pun, terlebih dari orang yang dianggapnya lebih rendah. Seorang yang
sombong juga anti terkadap kritik, gengsi jika dikoreksi, dan tidak mau mendengar
nasihat.
Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat dzarrah
(debu, atom, atau biji sawi).” Seorang sahabat lalu berkata, “Sesungguhnya
seseorang senang jika bajunya bagus dan alas kakinya baik (apakah ini termasuk
sombong?)” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai
keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR.
Muslim)
Semoga kita dijauhkan
dari segala kesombongan. Aamiin.
*) Tulisan ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Jumat Pon, 29 Maret 2019, halaman 12.
2 comments:
Salam kunjungan dan follow :)
@ASTraveller: terima kasih kunjungannya
Post a Comment