Sejarah telah
mencatat bahwa periode klasik merupakan masa keemasan dan kejayaan Islam di berbagai
bidang, termasuk di bidang sains dan pendidikan. Pada masa itu peradaban dan
kebudayaan Islam, khususnya di Andalusia, mencapai puncak paling tinggi dan
tidak tertandingi oleh bangsa mana pun. Saat bangsa Eropa-Kristen masih buta
huruf, umat Islam di Andalusia justru telah menjadi kaum terdidik dan
terpelajar, bahkan tidak sedikit yang menjadi ilmuwan prolifik dengan
karya-karya besar dan bermutu tinggi. Ketika umat Islam di Andalusia mendirikan
Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru terbuka mata akan pentingnya
ilmu pengetahuan. Mereka berdatangan ke universitas tersebut untuk menimba ilmu
pengetahuan dari ilmuwan dan intelektual muslim. Mereka juga menerjemahkan ilmu-ilmu
pengetahuan Islam ke dalam bahasa Eropa. Semangat keilmuan Eropa-Kristen inilah
yang kemudian melahirkan renaissance, kebangkitan intelektual dan
kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak penting dan
babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai berakhirnya
periode klasik Islam.
Kata
Kunci: Pendidikan Islam, Andalusia, Renaisans, Renaissance
A. Pendahuluan
Periode
Klasik (650-1250 M)[1]
merupakan periode yang sangat membanggakan bagi umat Islam. Pada periode ini serentetan
kemajuan dan kegemilangan dalam peradaban dan kebudayaan berhasil dicapai oleh
umat Islam. Selain kemajuan Daulah
Abbasiyah di Timur (750-1256 M) yang berpusat di Baghdad, kemajuan peradaban juga
diraih oleh Daulah Islam di Barat (Andalusia). Keduanya saling berkompetisi
dalam mengembangkan dan melejitkan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kebudayaan masing-masing
sehingga sejarah mencatat abad-abad itu sebagai The Golden Age of Islam, masa
keemasan Islam dan peradabannya.
Khusus Andalusia, kemajuan paling menonjol
terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I, Abdurrahman III, dan al-Hakam
II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah memberikan motivasi dan kontribusi yang
sangat besar dan signifikan dalam menata dan memacu gerak kebangkitan
kebudayaan Islam di Andalusia.[2] Pada masa pemerintahan Abdurrahman I, terjadi pembangunan
besar-besaran di segala bidang, termasuk pembangunan istana dan Masjid Agung
al-Hamra. Abdurrahman I juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai
sekolah dasar dan menengah hingga perguruan tinggi serta lembaga-lembaga kajian
ilmiah.[3]
Terhadap Abdurrahman III (912-961 M) Historians’
History of the World menuliskan pesona kebesarannya, bahwa “Dia (Abdurrahman
III) adalah tokoh terbesar di antara khalifah-khalifah di Spanyol, dan
pemerintahannya adalah masa yang teramat gemilang bagi kerajaan itu.”[4]
Sementara Khalifah al-Hakam II dikenal sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia
memperluas dan memperbesar perpustakaan Cordova sehingga menjadi perpustakaan
terbesar untuk seluruh kawasan Eropa pada masanya dan pada abad-abad
berikutnya.[5] Al-Hakam II juga mencurahkan
perhatiannya kepada dunia pendidikan dengan membangun puluhan sekolah baru dan
meningkatkan kualitas Universitas Cordova.[6]
Saat
umat Islam di Andalusia sibuk dan asyik mengkaji ilmu pengetahuan, bangsa
Eropa-Kristen masih tenggelam dalam buta huruf. Ketika umat Islam di Andalusia
mendirikan Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru tersadar dari “masa
jahiliyah” mereka. Mereka lalu berbondong-bondong ke universitas prestisius tersebut
untuk menimba ilmu pengetahuan dari intelektual muslim. Semangat mereka dalam mencari
ilmu melejit kuat. Semua khazanah pustaka berbahasa Arab mereka terjemahkan ke
dalam bahasa Eropa sampai akhirnya mereka memasuki era renaissance, yakni
kebangkitan intelektual dan kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi
tonggak penting dan babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus
menandai berakhirnya periode klasik Islam.
Makalah ini akan mengkaji pola pendidikan Islam
di Andalusia sehingga negara tersebut mencapai puncak peradaban tertinggi pada
zamannya. Selain itu, akan dikaji pula pengaruh dan kontribusi pendidikan Islam
di Andalusia terhadap lahirnya renaisans di Eropa.
B. Pembahasan
1.
Sejarah
Masuknya Islam di Andalusia
Andalusia adalah sebutan untuk wilayah Semenanjung
Iberia, yang sekarang mencakup wilayah Spanyol dan sebagian kecil Portugal. Pada
406 M Semenanjung Iberia dikuasai oleh bangsa Vandals[7],
karena itulah wilayah tersebut dinamakan Vandalusia. Dalam
perkembangannya, Vandalusia direbut oleh bangsa Goth atau Visigoth. Cukup lama bangsa
Goth menguasai Vandalusia, sampai akhirnya pada 711 M pasukan Islam berhasil
merebutnya. Sejak itulah nama Vandalusia berubah menjadi Andalusia.[8]
Kondisi sosial masyarakat Andalusia sebelum dikuasai
Islam sangat memprihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke dalam tiga kelas
sosial. Kelompok masyarakat kelas 1 diduduki para penguasa, yang terdiri dari raja,
para pangeran, pembesar istana, pemuka agama, dan tuan tanah besar. Mereka bertindak
sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat kelas 2 yang terdiri dari tuan
tanah kecil dan kelompok masyarakat kelas 3 yang terdiri dari para pekerja
kasar, buruh, dan budak.[9]
Sikap intoleransi juga dipertontonkan penguasa Andalusia (yang saat itu dikuasai
bangsa Goth) terhadap mereka yang beraliran monofisit[10].
Penduduk yang beragama Yahudi juga dipaksa mengikuti baptis yang dilakukan oleh
penguasa. Siapa yang menolak, akan disiksa bahkan dibunuh. Kondisi ini
mengakibatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Andalusia tidak keruan.
Di sisi lain, keadaan umat Islam justru lebih makmur, damai, toleran, penuh
persaudaraan, dan tidak membedakan masyarakat berdasarkan status sosial. Dalam
kondisi itulah mereka berbondong-bondong meminta perlindungan kepada umat Islam
agar membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan penguasa, bangsa Goth.[11]
Kekacauan politik pada masa pemerintahan Raja
Roderick, raja Goth yang terakhir, semakin menambah raport buruk bangsa Goth di
Semenanjung Iberia. Kekacauan ini dipicu oleh kudeta yang dilakukan Roderick,
Panglima Perang Andalusia. Sepeninggal Witiza, raja Goth yang berkuasa saat itu,
Roderick merebut singgasana Andalusia. Putra Witiza berusaha merebut kembali singgasana
ayahandanya yang dirampas oleh Roderick, tetapi gagal. Putra Witiza lalu bersekutu
dengan Graff Julian, penguasa wilayah Septah/Ceutia, yang sudah lama bermusuhan
dengan Roderick. Bersekutunya dua kekuatan itu ternyata belum juga dapat melumpuhkan
kekuatan Roderick. Julian dan putra Witiza akhirnya bergabung dengan kaum
muslimin di Afrika Utara, yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Musa bin
Nushair, di bawah pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Julian dan putra
Witiza memberi dukungan penuh kepada kaum muslimin untuk menguasai Andalusia.[12]
Akhirnya, Islam berhasil menguasai Andalusia pada
masa Khalifah al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah Bani Umayyah di
Damaskus. Dalam penaklukan itu pasukan Islam menjadikan Afrika Utara sebagai
batu loncatan atau pintu gerbang untuk memasuki Andalusia.[13]
Kedatangan pasukan Islam ke Andalusia disambut antusiasme kelompok masyakat kelas
2 dan 3. Dua kelompok inilah yang selalu ditindas oleh bangsa Goth, penguasa Andalusia
saat itu.[14]
Tercatat ada tiga nama penting yang berjasa
besar dalam penaklukan Andalusia. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin
Ziyad, dan Musa bin Nushair. Tharif bin Malik berperan sebagai perintis dan
penyelidik jalan, Thariq bin Ziyad sebagai penakluk Andalusia, dan Musa bin
Nushair sebagai pendukung utama Thariq dalam memobilisasi pasukan dari Afrika
Utara.[15]
2.
Perkembangan
Islam di Andalusia
Wajah ramah, toleran, humanis, dan penuh
persaudaraan yang diperlihatkan Thariq bin Ziyad dan kawan-kawan berhasil
memikat hati masyarakat Andalusia. Tidak mengherankan jika kemudian Islam mengalami
perkembangan yang signifikan dan membanggakan di Semenanjung Iberia itu selama
tujuh setengah abad. Badri Yatim membagi perkembangan Islam di Andalusia, sejak
pertama kali berkuasa sampai masa keruntuhannya, ke dalam enam periode.[16]
a.
Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol (Andalusia) berada di bawah pemerintahan para
wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada
periode ini stabilitas politik di Andalusia belum tercapai secara sempurna
karena masih ada berbagai gangguan, baik dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan antarelite
penguasa. Di samping itu, terdapat pula perbedaan pandangan antara khalifah di
Damaskus dan gubernur di Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Adapun gangguan
dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam yang tidak pernah mau tunduk kepada
pemerintahan Islam di Andalusia. Mereka mendiami daerah-daerah di pegunungan.
Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil ke Andalusia pada
755 M.
b.
Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini Andalusia berada di bawah pemerintahan seorang
amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan
Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir
pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Andalusia tahun 138 H/755 M dan
diberi gelar al-Dakhil. Abdurrahman al-Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang
berhasil meloloskan diri dari kejaran Bani Abbasiyah yang menghancurkan Bani
Umayyah di Damaskus.
Setelah memasuki Andalusia, al-Dakhil mendirikan dinasti baru Bani
Umayyah. Para penguasa pada periode ini adalah Abdurrahman al-Dakhil, Hisyam I,
Hakam I, Abdurrahman al-Ausath, Muhammad bin Abdurrahman, Munzir bin Muhammad,
dan Abdullah bin Muhammad. Kemajuan demi kemajuan ditorehkan pada periode ini,
baik di bidang politik maupun peradaban. Abdurrahman al-Dakhil mendirikan
Masjid Cordova dan beberapa sekolah. Hisyam berjasa dalam menegakkan hukum
Islam, sedangkan Hakam dikenal sebagai pembaharu di bidang kemiliteran.
Sementara al-Ausath dikenal sangat mencintai ilmu, termasuk pula filsafat.
c.
Periode Ketiga (912-1013 M)[17]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III
yang bergelar “al-Nashir” sampai munculnya muluk al-thawaif (raja-raja
kelompok). Pada periode ini para penguasa menggunakan gelar khalifah, yang selama
150 tahun gelar ini hilang dari kekuasaan Bani Umayyah. Pada periode ini pula umat
Islam di Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulah
Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman al-Nashir mendirikan Universitas Cordova.
Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang
kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini masyarakat dapat
menikmati kesejahteraan dan kemakmuran yang tinggi.
Menjelang akhir periode ini terjadi kekacauan politik pemerintahan
Bani Umayyah di Andalusia, yakni ketika Hisyam naik tahta pada usia yang belum
matang untuk menjadi khalifah. Saat itu Hisyam masih berusia sebelas tahun. Pada
981 M kekuasaan Andalusia akhirnya dipegang oleh Ibnu Abi ‘Amir, yang terkenal
dengan gelar al-Manshur Billah. Inilah tonggak runtuhnya daulah Bani Umayyah di
Andalusia. Kekuasaan kemudian diwariskan oleh al-Manshur Billah kepada keturunannya
secara turun-temurun. Pada pengujung periode ini, Andalusia mengalami kemunduran
yang sangat drastis, buruk dalam ekonomi dan hancur dalam politik.
d.
Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini Andalusia terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara
kecil di bawah pemerintahan Muluk al-Thawaif (raja-raja kelompok/golongan).
Pada periode ini umat Islam Andalusia kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya,
apabila terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak bertikai yang meminta
bantuan kepada raja-raja Kristen. Kondisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang
Kristen untuk mengambil inisiatif penyerangan terhadap kaum muslim. Walaupun
kondisi politik tidak stabil, kehidupan intelektual pada periode ini tetap berjalan.
Mereka meminta suaka dari satu istana ke istana yang lain.
e.
Periode Kelima (1086-1248 M)
Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode ini terdapat
satu kekuatan yang sangat dominan, yaitu kekuasan Dinasti Murabithun (1086-1143
M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Pada era Dinasti Muwahhidun kekuatan-kekuatan
Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi, tidak lama setelah itu Dinasti
Muwahhidun mengalami keruntuhan. Sejak 1212 M sampai 1248 M, kota-kota besar di
Andalusia, kecuali Granada, lepas dari kekuasaan Islam jatuh ke tangan penguasa
Kristen.
f.
Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini Islam hanya berkuasa di Granada di bawah Dinasti
Ahmar. Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman
al-Nashir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang
kecil. Granada sebagai kerajaan terakhir Islam di Andalusia ini akhirnya mengalami
keruntuhan juga. Lagi-lagi, penyebabnya adalah perebuatan kekuasaan atau perang
saudara. Ironisnya, salah satu pihak yang bertikai, yaitu Abu Abdullah, justru
meminta bantuan Kristen (Ferdenand dan Isabella) untuk menjatuhkan penguasa
yang sah. Setelah Abu Abdullah berhasil melakukan kudeta dan naik tahta, Ferdenand
dan Isabella justru melakukan pengkhianatan. Pada 1492 M mereka merebut kekuasaan
Abu Abdullah dan menduduki Granada. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam
di Spanyol/Andalusia. Umat Islam dihadapkan pada dua pilihan, masuk Kristen
atau meninggalkan Andalusia.
Berdasarkan pembagian di atas dapat kita ketahui bahwa usia kekuasaan
Islam di Andalusia adalah 781 tahun, dengan rincian: 44 tahun berada
di bawah kekhalifahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus (periode dependen),
258 tahun atau 276 tahun[18]
mendirikan Bani Umayyah II (periode independen), dan selebihnya adalah kekuasaan
lanjutan di luar Bani Umayyah II.
3.
Kemajuan
Peradaban Islam di Andalusia
Selama lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di
Spanyol (Andalusia), umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak
prestasi yang diraih, yang pengaruhnya membawa Eropa kepada kemajuan yang lebih
kompleks. Kemajuan yang paling
menonjol terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I, Abdurrahman III, dan
al-Hakam II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah memberikan motivasi dan
kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam menata dan memacu gerak
kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[19]
Masa
pemerintahan Abdurrahman I dipandang oleh para sejarawan (baik muslim maupun
Barat) sebagai masa yang sangat fenomenal yang ditandai dengan pembangunan
besar-besaran di segala bidang. Pembangunan istana dan Masjid Agung al-Hamra di
Cordova adalah di antara proyek besarnya. Selain membangun Masjid Agung
Cordova, Abdurrahman I juga membangun banyak masjid di kota-kota lainnya. Ia
juga mendirikan gedung-gedung perguruan tinggi, membangun institusi-institusi
pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah serta membentuk lembaga-lembaga
kajian ilmiah.[20]
Kebangkitan
kebudayaan dan peradaban Islam di Andalusia semakin semarak dan lebih pesat
pada masa pemerintahan Abdurrahman III (912-961 M). Historians’ History of
the World menggambarkan pesona kebesaran Abdurrahman III: “Dia adalah tokoh
terbesar di antara khalifah-khalifah di Spanyol, dan pemerintahannya adalah
masa yang teramat gemilang bagi kerajaan itu.” Momentum historis-politis yang
sangat strategis bagi masa depan kemandirian Daulah Umayyah II di Andalusia
adalah keputusan Abdurrahman III untuk melakukan transformasi bentuk
pemerintahan dari emirat menjadi khilafat pada 929 M.[21]
Khalifah
al-Hakam II dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia
memperluas dan memperbesar perpustakaan yang ada di ibukota Cordova sehingga
menjadi perpustakaan terbesar untuk seluruh kawasan Eropa pada masanya dan pada
abad-abad berikutnya. Di antara cara unik al-Hakam II untuk menambah koleksi
buku adalah dengan membeli naskah dan manuskrip dari para ilmuwan dan pengarang
dengan harga/imbalan yang sangat besar. Lebih unik lagi, di antara naskah yang
ia beli justru karangan penulis dari Baghdad, yaitu al-Aghani (20 jilid)
karya Abu al-Faraj al-Ashfahani (897-966 M). al-Hakam membeli naskah itu
seharga 1.000 dinas emas.[22]
Cara lain yang
ditempuh Khalifah al-Hakam untuk memajukan intelektual dan cultural adalah
dengan mengundang para sarjana, cendekiawan, dan para penulis professional
untuk datang ke Istana. Atas setiap ilmu yang mereka berikan, al-Hakam memberikan
insentif, hadiah, atau imbalan lebih dari selayaknya. Sejalan dengan itu, al-Hakam
mencurahkan perhatiannya kepada dunia pendidikan dengan membangun puluhan
sekolah baru dan meningkatkan kualitas Universitas Cordova.[23]
Kemajuan-kemajuan peradaban Islam di Andalusia yang
menonjol berdasarkan bidangnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.
Kemajuan Intelektual
1)
Filsafat
Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
dikembangkan pada abad ke-9 M. Kemudian atas inisiatif al-Hakam (961-976 M)
karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar sehingga
Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad
sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam.[24]
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat
Arab-Spanyol adalah Abu Bakar Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal dengan
Ibnu Bajjah. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakar bin Thufail. Ia banyak
menulis masalah kedokteran, astronomi, dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan. Tokoh filsafat Islam Spanyol
lainnya adalah Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai ulama
fikih penulis Bidayah al-Mujtahid. Ia juga menulis buku kedokteran al-Kulliyyah
fi al-Thibb.[25]
2)
Sains
Sains yang terdiri dari ilmu-ilmu
kedokteran, fisika, matematika, astronomi, kimia, botani, zoology, geologi, sejarah,
geografi, dan farmasi, juga berkembang sangat baik. Beberapa tokoh sains dalam
bidang astronomi adalah Abbas bin Farnas, Ibrahim bin Yahya al-Naqqash, Ibnu
Safar, dan al-Bitruji. Dalam bidang obat-obatan atau farmasi antara lain Ahmad
bin Iyas, Ibnu Juljul, Ibnu Hazm, dan Ibnu Abdurrahman bin Syuhaid. Adapun di
bidang kedokteran ada Ummul Hasan binti Abi Ja’far, seorang dokter wanita. Dalam
bidang geografi ada nama Ibnu Jubair dan Ibnu Batutah. Sedangkan Ibnu Khaldun
tercatat sebagai perumus filsafat sejarah sekaligus penulis buku Muqaddimah.[26]
3)
Bahasa dan sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Penduduk muslim maupun
non-muslim dapat menerimanya dengan baik. Bahkan, penduduk asli Spanyol/Andalusia
menomorduakan bahasa asli mereka. Di antara pakar bahasa Arab adalah Ibnu
Sayyidih, Muhammad bin Malik pengarang Alfiyah, Ibnu Khuruf, Ibnu
al-Hajj, dan al-Gharnathi.
Dalam bidang sastra banyak
bermuncul karya besar, seperti al-Aql al-Farid karya Ibnu Abdi Rabbih, al-Dzakirah
fi Mahasin Ahl al-Jazirah karya Ibnu Bassam, dan Kitab al-Qalaid karya
al-Fath bin Khaqan.[27]
4)
Musik dan kesenian
Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol
Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan bin Nafi’ yang dijuluki Zaryab.[28]
b.
Kemajuan di Bidang Keilmuan
Keagamaan
1)
Tafsir
Salah satu mufasir terkenal dari
Andalusia adalah al-Qurthubi (w. 1273 M). Adapun karyanya dalam bidang tafsir
adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kitab tafsir yang terdiri dari 20
jilid ini dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi.[29]
2)
Fikih
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal
sebagai penganut mazhab Maliki. Ziyad bin Abdurrahman tercatat sebagai tokoh
yang memperkenalkan mazhab ini di sana. Para ahli
fikih lainnya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi,
Ibnu Rusyd penulis Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, al-Syatibi
penulis al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, dan Ibn Hazm.
c.
Kemajuan di Bidang Arsitektur
Bangunan
1)
Cordova
Pada masa Bani Umayyah II, Cordova ditetapkan
sebagai ibukota Andalusia, yang semula berkedudukan di Toledo. Oleh penguasa
muslim, kota ini dibangun sangat indah dan megah. Taman-taman dibangun untuk
menghiasi kota. Pohon-pohon besar diimpor dari Timur. Salah satu kebanggaan
kota ini adalah kemegahan Masjid Cordova.[30]
2)
Granada
Granada adalah tempat pertahanan
terakhir umat Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di
seluruh Eropa. Pusat dan puncak ketinggian arsitekturnya bisa dilihat pada
keindahan dan kemegahan Istana Al-Hambra.
3)
Sevilla
Kota Sevilla atau Asyibiliyah dibangun
pada masa pemerintahan al-Muwahhidin. Kota ini semula adalah rawa-rawa. Salah
satu bangunan masjid yang didirikan pada 1171 M kini telah berubah menjadi gereja
dengan nama Santa Maria de la Sede.[31]
4)
Toledo
Toledo merupakan kota penting di
Andalusia sebelum dikuasai Islam. Ketika Romawi menguasai kota Toledo, kota ini
dijadikan ibukota kerajaan. Ketika Thariq bin Ziyad menguasai Toledo, kota ini
dijadikan pusat kegiatan umat Islam terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
penerjemahan. Pascajatuhnya Andalusia, beberapa bangunan masjid di Toledo
diubah fungsi menjadi gereja.[32]
4.
Pola Pendidikan
Islam di Andalusia
Kemajuan-kemajuan Andalusia di berbagai bidang, sebagaimana dipaparkan
di atas, utamanya di bidang intelektual dan peradaban tidak terjadi begitu
saja. Ada proses pendidikan dan pembelajaran
yang dilalui dalam mewujudkan semua kemajuan itu. Khairuddin dalam Sejarah
Pendidikan Islam[33]
membagi secara garis besar pendidikan Islam di Andalusia ke dalam
dua bagian.
a. Kuttab
Umat muslim Andalusia telah menorehkan catatan sejarah
yang mengagumkan dalam bidang intelektual. Banyak perestasi yang mereka peroleh,
khususnya perkembangan pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan
Islam sangat tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong utama bagi
kegiatan pendidikan. Di Andalusia menyebar lembaga pendidikan yang dinamakan
Kuttab selain Masjid. Kuttab termasuk lembaga pendidikan terendah yang sudah
tertata dengan rapi dan para siswa mempelajari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan.
b. Pendidikan Tinggi
Di kawasan Andalusia yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Islam, juga banyak dibangun perguruan tinggi terkenal seperti
Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada. Orang-orang Eropa yang
pertama kali belajar sains dan ilmu pengetahuan banyak tertarik untuk belajar
di berbagai perguruan tinggi di Andalusia. Sehingga, lahirlah kemudian
murid-murid yang menjadi para pemikir dan filosof terkenal Eropa. Sejak itu,
dimulailah zaman renaissance-nya Eropa. Perguruan Tinggi Oxford dan
Cambridge di Inggris merupakan tiruan dari lembaga pendidikan di daerah
Andalusia yang menggabungkan pendidikan, pusat riset, dan perpustakaan.
Para siswa yang belajar di Kuttab diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat tinggi di Universitas
Cordova. Unversitas Cordova berdiri tegak bersanding dengan Masjid Abdurrahman
III[34]
yang akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi terkenal yang setara
dengan Universitas Al-Azhar di Kairo dan Universitas Nizamiyah di Baghdad[35].
Universitas Cordova memiliki perpustakaan yang menampung sekitar empat juta
buku yang meliputi buku astronomi, matematika, kedokteran, teologi, hukum, dan
lain-lain. Jumlah muridnya mencapai seribu orang. Selain ke Universitas
Cordova, para lulusan Kuttab dapat pula melanjutkan petualangan ilmiahnya di Universitas Sevilla, Malaga, atau Granada[36].
Dalam setiap perkembangan pendidikan pastilah ada
faktor-faktor yang mendukungnya. Begitu pula dalam perkembangan Pendidikan
Islam di Andalusia, terdapat beberapa faktor penduduk sebagai berikut.
1) Faktor dukungan penguasa.
Pendidikan
di Andalusia maju sangat pesat dikarenakan mendapat dukungan penuh dari para penguasa,
terlebih para penguasa Andalusia saat itu merupakan sosok-sosok yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan dan berwawasan jauh ke depan.
2) Faktor ketersediaan lembaga pendidikan.
Tersedianya
banyak sekolah dan universitas di beberapa kota menjadi salah satu faktor
penting majunya pendidikan di Andalusia, selain pendidikan-pendidikan yang
digelar di masjid-masjid. Universitas yang sangat terkenal pada zaman itu
adalah Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada.
3) Faktor kemudahan mengakses literatur dan bertukar gagasan.
Banyaknya
sarjana Islam yang datang dari ujung Timur dan ujung Barat wilayah Islam dengan
membawa berbagai buku dan gagasan memudahkan para siswa dan mahasiswa untuk
mengakses referensi-referensi ilmiah yang mereka butuhkan. Selanjutnya, tercipta
iklim pendidikan dan intelektual yang sangat kuat karena setiap siswa dan
mahasiswa terlibat aktif dalam pertukaran gagasan dan diskusi-diskusi ilmiah.
4) Faktor kompetisi antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah
II.
Sebagaimana
diketahui bahwa tumbangnya Bani Umayyah di Damaskus disebabkan oleh gerakan revolusi
Abbasiyah pada 750 M. Pasukan Abbasiyah melakukan asasinasi (pembunuhan) dan
pembantaian massal terhadap semua anggota keluarga Bani Umayyah. Hanya
Abdurrahman al-Dakhil yang berhasil meloloskan diri, yang kemudian mendirikan
Bani Umayyah II di Andalusia. Luka sejarah ini kemudian menyisakan semangat Bani
Umayyah II untuk dapat berkembang cepat sehingga menyaingi Bani Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad. Di antara persaingan kedua dinasti ini adalah dalam bidang
ilmu pengetahuan dan peradaban. Persaingan ini berkontribusi sangat positif dan
produktif dalam meroketkan kemajuan pendidikan dan peradaban Islam. Terbukti
pada zamannya (periode klasik), dua dinasti ini menjadi penguasa keilmuan dan
peradaban dunia.
5.
Sumbangan
Islam Andalusia terhadap Gerakan Renaisans di Eropa
Sejarah telah
mencatat bahwa selama tujuh abad umat Islam sangat berjaya dan memegang obor
kemajuan kebudayaan dan peradaban dunia. Baik Daulah Islam di Timur (Daulah
Abbasiyah, 750-1256 M) yang berpusat di Baghdad maupun Daulah Islam di Barat
(Daulah Umayyah II, 756-1031 M) yang berpusat di Cordova, memperlihatkan gemerlap
pesona kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[37] Khusus
Andalusia, kemajuan paling menonjol terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman
I, Abdurrahman III, dan al-Hakam II. Ketiga tokoh pemerintahan ini telah
memberikan motivasi dan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam
menata dan memacu gerak kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[38]
Islam di
Andalusia telah muncul sebagai suatu dinamika kekuatan budaya dan sekaligus
kekuatan intelektual yang banyak menghasilkan cabang-cabang kebudayaan dalam
segala ragam dan jenisnya. Andalusia benar-benar telah menjadi jembatan emas
yang menyeberangkan hasil-hasil kebudayaan Islam ke Eropa. Kebudayaan Islam
inilah yang telah memberikan pengaruh secara luas terhadap Eropa pada abad
Pertengahan.
Jika diteliti
secara saksama, dapat disimpulkan bahwa peranan, jasa, dan sumbangan para
ilmuwan Muslim kepada bangsa-bangsa Eropa dapat dibagi menjadi dua.[39] Pertama,
umat Islam berjasa dalam “menyelamatkan” warisan budaya Persi dan Yunani
klasik dari ancaman kehilangan dan kemusnahan. Para ilmuwan Muslim secara
besar-besaran menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Persi dan Yunani klasik
ke dalam bahasa Arab.
Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan
kebudayaan Persi dan Yunani klasik dengan melakukan penambahan secara kreatif
unsur-unsur baru dan berkualitas. Kebudayaan Islam inilah yang kemudian menjadi
sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan
lahirnya masa renaisans. Dengan demikian, mata rantai kemajuan Barat modern
tidak bisa dilepaskan dari peranan dan sumbangan kebudayaan Islam. John S.
Bedeau dalam bukunya The Genius of Arab Civilization: Source of Renaissance mengatakan
bahwa karya-karya ilmu pengetahuan dan budaya para pemikir jenius Arab-Muslim
inilah yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi suber dan mata rantai
lahirnya masa renaisans di Eropa.[40]
C. Kesimpulan
Masuknya
Islam ke Spanyol (Andalusia) membawa angin baru yang baru bagi Eropa. Masyarakat
Andalusia yang sekian lama hidup dalam kesewenan-wenangan penguasa dan
ketidakadilan menyambut baik kedatangan kaum Muslim di Semenanjung Iberia itu. Selama
tujuh abad Islam berkuasa di Andalusia, banyak kemajuan di berbagai bidang yang
ditorehkan, khususnya di bidang sains/ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat itu
bangsa Eropa belum melek huruf, tetapi umat Islam di Andalusia justru telah
menjadi kaum terdidik dan terpelajar hasil didikan Kuttab (lembaga pendidikan dasar
dan menengah). Bahkan, tidak sedikit umat Islam Andalusia yang menjadi ilmuwan yang
produktif menghasilkan karya-karya besar kelas dunia.
Ketika umat
Islam di Andalusia mendirikan Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru menyadari
akan masa suram mereka. Mereka lalu berdatangan ke Cordova untuk menimba ilmu
pengetahuan dari intelektual-intelektual muslim. Ilmu-ilmu pengetahuan Islam mereka
alih bahasakan ke dalam bahasa Eropa. Semangat keilmuan Eropa-Kristen inilah
yang kemudian melahirkan renaissance, kebangkitan intelektual dan
kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak penting dan
babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai berakhirnya
periode klasik Islam.
Konflik-konflik
politik yang terjadi demi memperebutkan kekuasaan menjadi pemicu dominan kemunduran
dan keruntuhan Islam di Andalusia. Kekacauan politik itu akhirnya dimanfaatkan orang-orang
Kristen untuk merebut Andalusia. Penaklukan terakhir terjadi pada 1492 M, yakni
penaklukan yang dilakukan Ferdenand dan
Isabella terhadap Abu Abdullah, penguasa Granada, kerajaan terakhir Islam di
Andalusia. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol/Andalusia.
Daftar
Pustaka
Ali, K.,
1997, Sejarah Islam, Tarikh Pramodern, cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Amin,
Samsul Munir., 2015, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-5, Jakarta: Amzah.
Ismail, Faisal.,
2014, Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis, cet.
ke-5, Yogyakarta: Suka Press.
Karim,
M. Abdul., 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-5,
Yogyakarta: Bagaskara/Pustaka Book Publisher.
Khairuddin,
2017, “Sejarah Pendidikan Islam”, Diktat, Medan: Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Medan.
Nasution,
Harun., 1975, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata,
Abuddin., 2004, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan,
cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nizar,
Samsul., 2008, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan
Era Rasulullah sampai Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Kencana.
Nurhakim,
Moh., 2003, Sejarah dan Peradaban Islam, cet. ke-1, Malang: UMM Press.
Sou’yb,
Jousouf., 1977, Sejarah Daulah Umayyah di Cordova, cet. ke-1, Jakarta:
Bulan Bintang.
Yatim,
Badri., 1997, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, cet. ke-6,
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
[1] Harun Nasution
dalam Pembaharuan dalam Islam (1975: 13-14) membagi sejarah peradaban
Islam kepada tiga periode. Periode Klasik (650-1250) di mana umat Islam mulai
membina dan mencapai kemajuan dan kegemilangan peradabannya. Periode
Pertengahan (1250-1800 M) di mana peradaban umat Islam mulai mengalami
kemunduran, bahkan sampai pada titik nadir. Periode Modern (1800-sekarang) di
mana umat Islam mulai sadar dan berusaha bangkit dari keterpurukan.
[2] Faisal Ismail,
Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis, Cet.
ke-5, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), hlm. 101-102.
[3] Ibid., hlm.
104-105.
[4] Ibid., hlm.
105-106.
[5] Ibid., hlm.
113.
[6] Ibid., hlm.
114.
[7]Sebelum dikuasai
bangsa Vandals, Semenanjung Iberia merupakan wilayah kekuasaan Romawi sejak abad
ke-2 sampai abad ke-5 Masehi.
[8]Jousouf Sou’yb,
Sejarah Daulah Umayyah di Cordova, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hlm. 7.
[9]M. Abdul Karim,
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-5, (Yogyakarta:
Bagaskara/Pustaka Book Publisher, 2014), hlm. 228.
[10]Monofisit
adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bidaah oleh Konsili Khalsedon pada
tahun 451. Aliran ini memahami bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu
kodrat ilahi, karena kodrat kemanusiaannya telah terserap dalam keilahiannya.
[11]Moh. Nurhakim, Sejarah
dan Peradaban Islam, cet. ke-1, (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 120-121.
[12] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-5, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.
160-161.
[13] Moh. Nurhakim,
Sejarah dan Peradaban Islam…., hlm. 119; Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, cet. ke-6, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1997), hlm. 87-88.
[14] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam…, hlm. 228.
[15]Moh. Nurhakim, Sejarah
dan Peradaban Islam…, hlm. 120.
[16] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 93-100.
[17] Dalam sumber
lain disebutkan bahwa keruntuhan Bani Umayyah II (Andalusia) sekaligus menandai
berakhirnya periode ketiga adalah tahun 1031 M, bukan 1013 M. Lihat M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam…, hlm. 236-242; Faisal
Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam…, hlm. 101.
[18] Lihat kembali catatan
kaki nomor 17.
[19] Faisal Ismail,
Paradigma Kebudayaan Islam…,hlm. 101-102.
[20] Ibid., hlm.
104-105.
[21] Ibid., hlm.
105-106.
[22] Ibid., hlm.
113.
[23] Ibid., hlm.
114.
[24] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 101.
[25] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 172-173.
[26] Ibid., hlm.
173.
[27] Ibid.
[28] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II…, hlm. 103.
[29] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 174.
[30] Ibid., hlm.
175.
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm.
176.
[33] Khairuddin, “Sejarah
Pendidikan Islam”,Diktat, Medan: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Medan, 2017, hlm. 67-73.
[34] Nama Masjid
Abdurrahman III diambil dari nama
Khalifah pertama keturunan Umayyah di Spanyol dengan gelar al-Nasir
Lidinillah (penegak agama Allah), pada pemerintahan Abdurrahman III nilah
Spanyol mengalami puncak kemajuan peradaban Islam khususnya dalam bidang seni
arsetektur, Cordova pada saat itu memiliki 300 Masjid,100 Istana yang megah,
13.000 gedung dan 300 tempat pemandian umum. Lihat K. Ali, Sejarah Islam,
Tarikh Pramodern, cet. ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.
309-310.
[35] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Kencana , 2008), hlm. 99.
[36] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, cet. ke-1, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2004), hlm. 266.
[37] Faisal Ismail,
Paradigma Kebudayaan Islam…, hlm. 101.
[38] Ibid., hlm.
101-102.
0 comments:
Post a Comment