Di pinggir jalan, di pelataran masjid dan
mushalla, dan di pusat-pusat perbelanjaan bertebaran spanduk atau baliho yang
bertuliskan “Marhaban ya Ramadan”. Mungkin kita pun turut menjadikannya sebagai
status di media sosial dengan beragam kalimat yang indah dan puitis. Begitulah ekspresi
tertulis kita saat Ramadan tiba. Religius dan sangat menyejukkan. Namun, benarkah
kita sedang bermarhaban atas kedatangan Ramadan?
Kata “marhaban” berasal dari bahasa Arab rahuba
– yarhubu – rahban wa rahabatan wa marhaban, yang berarti
longgar dan lapang. Adalah Saif bin Dzi Yazan al-Himyari, seorang raja Yaman yang
hidup sekira tahun 110 - 50 sebelum hijriah, yang pertama kali mengucapkan kata
tersebut. Ia ucapkan marhaban kepada Abdul Muthallib, saat kakek Nabi
Muhammad tersebut berkunjung ke Yaman.
Marhaban tidak hanya berarti longgar dan lapang secara fisik dan materi,
tetapi juga secara psikis. Jika seseorang menuliskan atau mengucapkan “Marhaban
ya Ramadan” namun hatinya tetap mengeluh atau bahkan merasa berat untuk mengisi
bulan suci dengan segala aktivitas yang bernilai ibadah, utamanya puasa,
berarti dia sedang bermanis bibir saja dan tidak benar-benar bermarhaban. Karena
dalam marhaban terkandung kerinduan untuk melapangkan hati dalam berbuat baik
dan berbagi kebaikan.
Marhaban ya Ramadan meniscayakan adanya penyambutan
dengan suka cita dan lapang dada, senang dan gembira layaknya kedatangan tamu
istimewa. Sebagaimana Saif bin Dzi Yazan juga menyambut kedatangan tamu
istimewanya, Abdul Muthallib, kakek dari seorang penutup para nabi dan pemimpin
para rasul.
Memperlakukan Ramadan secara istimewa bukan
dengan cara berfoya-foya dan berlebih-lebihan serta bermewah-mewahan dalam berbuka.
Memperlakukan Ramadan secara istimewa adalah dengan mengoptimalkan amal
kesalehan dan kepedulian terhadap sesama. Menyelaraskan antara kesalehan
individual dan kesalehan sosial. Selain dengan berpuasa, yang memang wajib, kesalehan
individual dapat diwujudkan dengan memperbanyak shalat sunnah, tadarus Alquran,
dan I’tikaf. Sementara kesalehan individual dapat kita wujudkan dengan memperbanyak
bersedekah. Kita bantu siapa pun yang berkehidupan sempit dan lemah agar menjadi
longgar, lapang, dan berdaya. Tidak cukup ibadah puasa kita sah, tetapi juga
harus diridhai dan bernilai berkah.
Marhaban ya Ramadan!
*) Tulisan ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat Yogyakarta pada Jumat, 18 Mei 2018, halaman 15.
0 comments:
Post a Comment