ads
Monday, May 21, 2018

May 21, 2018

Di pinggir jalan, di pelataran masjid dan mushalla, dan di pusat-pusat perbelanjaan bertebaran spanduk atau baliho yang bertuliskan “Marhaban ya Ramadan”. Mungkin kita pun turut menjadikannya sebagai status di media sosial dengan beragam kalimat yang indah dan puitis. Begitulah ekspresi tertulis kita saat Ramadan tiba. Religius dan sangat menyejukkan. Namun, benarkah kita sedang bermarhaban atas kedatangan Ramadan?
Kata “marhaban” berasal dari bahasa Arab rahubayarhuburahban wa rahabatan wa marhaban, yang berarti longgar dan lapang. Adalah Saif bin Dzi Yazan al-Himyari, seorang raja Yaman yang hidup sekira tahun 110 - 50 sebelum hijriah, yang pertama kali mengucapkan kata tersebut. Ia ucapkan marhaban kepada Abdul Muthallib, saat kakek Nabi Muhammad tersebut berkunjung ke Yaman.
Marhaban tidak hanya berarti longgar dan lapang secara fisik dan materi, tetapi juga secara psikis. Jika seseorang menuliskan atau mengucapkan “Marhaban ya Ramadan” namun hatinya tetap mengeluh atau bahkan merasa berat untuk mengisi bulan suci dengan segala aktivitas yang bernilai ibadah, utamanya puasa, berarti dia sedang bermanis bibir saja dan tidak benar-benar bermarhaban. Karena dalam marhaban terkandung kerinduan untuk melapangkan hati dalam berbuat baik dan berbagi kebaikan.
Marhaban ya Ramadan meniscayakan adanya penyambutan dengan suka cita dan lapang dada, senang dan gembira layaknya kedatangan tamu istimewa. Sebagaimana Saif bin Dzi Yazan juga menyambut kedatangan tamu istimewanya, Abdul Muthallib, kakek dari seorang penutup para nabi dan pemimpin para rasul.
Memperlakukan Ramadan secara istimewa bukan dengan cara berfoya-foya dan berlebih-lebihan serta bermewah-mewahan dalam berbuka. Memperlakukan Ramadan secara istimewa adalah dengan mengoptimalkan amal kesalehan dan kepedulian terhadap sesama. Menyelaraskan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Selain dengan berpuasa, yang memang wajib, kesalehan individual dapat diwujudkan dengan memperbanyak shalat sunnah, tadarus Alquran, dan I’tikaf. Sementara kesalehan individual dapat kita wujudkan dengan memperbanyak bersedekah. Kita bantu siapa pun yang berkehidupan sempit dan lemah agar menjadi longgar, lapang, dan berdaya. Tidak cukup ibadah puasa kita sah, tetapi juga harus diridhai dan bernilai berkah.
Marhaban ya Ramadan!

*) Tulisan ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat Yogyakarta pada Jumat, 18 Mei 2018, halaman 15.

0 comments: