Apresiasi monumental telah diberikan pemerintah
kepada santri sejak 2015 melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Apresiasi ini merupakan bentuk legitimasi
atas eksistensi santri di Indonesia yang selama ini berada dalam posisi
marginal. Padahal sumbangsih santri kepada NKRI tidak bisa dibilang kecil, bahkan
sangat besar, baik sebelum kemerdekaan maupun setelahnya.
Sebelum kemerdekaan, tokoh-tokoh besar berlatar
pesantren secara nirpamrih mewakafkan jiwa raga untuk kedaulatan Indonesia. Di
antara mereka adalah HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, KH.
Hasyim Asy'ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain-lain. Jauh sebelum mereka ada Raden
Mas Antawirya (Pangeran Diponegoro), Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, dan pahlawan-pahlawan
lain berlatar belakang ulama-santri.
Pascakemerdekaan, jaringan ulama-santri tetap
dan terus berjuang mempertahankan NKRI dari ancaman-ancaman yang memecah belah
persatuan bangsa. Di antara mereka adalah KH. Wahid Hasyim, Moh. Rasyidi, Mohammad
Natsir, KH. Imam Zarkasyi, KH. Idham Khalid, dan sederet tokoh lain baik yang
tercatat oleh sejarah maupun tidak. Ketika era reformasi bergulir, tokoh-tokoh besar
berlatar pesantren pun tetap berkontribusi besar meneguhkan NKRI. Di antara
mereka adalah Gus Dur, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan lainnya.
Wajib Menjaga NKRI
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) memang
bertaut erat dengan fatwa Resolusi Jihad yang digelorakan Hadlratus Syaikh
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945 sebagaimana
termaktub dalam poin (c) Keppres No. 22 Tahun 2015. Akan tetapi, tidak berarti
HSN adalah milik NU semata. HSN adalah penghargaan monumental yang diberikan
pemerintah kepada seluruh umat Islam, khususnya ulama-santri, yang menyambut
seruan Resolusi Jihad tersebut dengan kucuran keringat, tetesan air mata, dan
tumpahan darah. Mereka tidak hanya berasal dari kelompok atau ormas Islam
tertentu, tetapi berangkat dari kelompok dan corak keislaman yang beragam.
Namun, semua melebur dalam spirit kebersamaan membela dan mempertahankan Tanah
Air.
Sebagaimana Resolusi Jihad Hadlratus Syaikh
Hasyim Asy’ari yang disambut seluruh umat Islam dengan perjuangan mempertahankan
kedaulatan Indonesia dari rongrongan sekutu, peringatan HSN hendaklah disambut
pula oleh seluruh umat Islam, wabil-khusus kalangan santri, dengan
mengontekstualisasikan spririt jihad yang tertransformasikan dalam wujud perjuangan
melawan korupsi, ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, radikalisme, ektremisme,
dan gerakan-gerakan anti-Pancasila.
Jika Hadlratus Syaikh, dalam Resolusi
Jihadnya, memfatwakan fardhu ‘ain melawan dan mengusir penjajah dari
Tanah Air, maka fardhu ‘ain pula (dalam konteks sekarang) santri menjaga
dan merawat keutuhan NKRI yang telah diperjuangkan para ulama pendahulu.
Pancasila dan NKRI harga mati. Keduanya tidak
lahir begitu saja, tetapi melalui ijtihad yang cukup panjang dan menguras
pikiran. Inilah konsep fikih Indonesia yang otentik, hasil ijtihad para ulama
bersama kelompok nasionalis, yang meramu dan mengawinkan sistem berbasis modern
dengan Islam dan kondisi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Sampai saat ini pemerintah belum menemukan
cara ampuh untuk mengatasi radikalisme dan anti-Pancasila yang terus
bermunculan. Ironisnya, paham ini disinyalir telah masuk pula ke kalangan
kampus dan akademisi. Sampai-sampai pada September lalu (25/9) para pimpinan
perguruan tinggi seluruh Indonesia memandang perlu mendeklarasikan aksi
kebangsaan di Nusa Dua Bali. Melalui deklarasi itu mereka satukan tekad melawan
radikalisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta
keutuhan NKRI.
Pendekatan struktural yang cenderung represif
tentu tidak cukup untuk membendung gerakan radikalisme itu. Masyarakat,
utamanya ulama-santri, perlu dilibatkan, bahkan dijadikan ujung tombak gerakan
deradikalisasi di Tanah Air, untuk melakukan pencerahan atas kesalahan
ideologis kaum radikal. Santri tentu lebih mampu melakukan ini karena mempunyai
pemahaman agama yang lebih utuh dan kuat. Apalagi suara santri, oleh sebagian
besar masyarakat, lebih didengar daripada lainnya.
Kewajiban menjaga NKRI terus digaungkan ulama-ulama
saat ini. KH Maimun Zubair, misalnya, berulang kali dan di banyak forum, beliau
menekankan pentingnya umat Islam menjaga empat pilar dalam berbangsa dan
bernegara: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, yang disingkat
PBNU. Lebih tegas beliau menyebut jika ada warga Nahdliyyin yang tidak mau
menerima Pancasila, berarti patut diragukan ke-NU-annya.
Pelopor Islam Humanis
Ada kecenderungan belakangan ini umat Islam Indonesia
semakin bersemangat dalam beragama. Tentu ini sangat baik dan menggembirakan,
bahkan patut disyukuri. Akan tetapi, jika semangat keberagamaan ini tidak berbanding
lurus dengan kemampuan memahami ajaran agama, tentu akan melahirkan kondisi
yang tidak diharapkan: fanatisme yang kebablasan, sikap keberagamaan yang
sempit (narrow religiousity), dan fundamentalisme.
Dalam kondisi ini, Indonesia membutuhkan
santri sebagai pelopor Islam yang humanis, demokratis, progresif, moderat,
toleran, inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama.
Selamat Hari Santri Nasional!
Santri Mandiri, NKRI Hebat!
*) Tulisan ini dipublikasikan juga di ismuq.com
6 comments:
semoga para santri akan menjadi penerus generasi bangsa yang berkualitas
aamiin
selain toleran, humanis dll juga perlu ditekankan untuk tetap sesuai dengan sunnah rasulullah mas.. salam santri!
Toleran dan humanis itu setitik bagian dari sunnah Nabi, Mas. Sangat amat banyak sunnah beliau yg sebagian telah kita lakukan dan (mungkin) masih banyak juga yg belum kita lakukan. :)
Salam santri!
Aamiin...
Salam kenal, Mas Adi S.U.S.
salam santri juga :) salam bakti kepada para asatidz :)
Terima kasih, Mbak Vanisa.
Salam sukses untuk Mbak Vanisa.
Post a Comment