Di
antara surat kabar di Indonesia, menurut saya, Koran Jakarta adalah yang paling
intensif dan konsisten memperhatikan rubrik resensi. Saat koran-koran lain hanya sekali dalam
seminggu mengangkat rubrik ini,[1] bahkan tidak sedikit yang
tak mengangkatnya sama sekali, Koran Jakarta justru memanjakan pembacanya
dengan resensi buku ini setiap hari. Nama rubriknya adalah Perada, yang
dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti kertas dari emas (perak,
timah) untuk perhiasan, tulisan, dan sebagainya.
Rubrik
Perada ini menjadi salah satu favorit saya. Setelah tulisan pertama berhasil dimuat
di Perada, saya menjadi tertantang dan ketagihan untuk terus menulis di rubrik
ini. Pada 27 September 2017 saya kirimkan lagi tulisan untuk Perada. Alhamdulillah,
hari ini (2/10) resensi saya kembali nongol di Perada.
Apa
saja ketentuan mengirimkan resensi di Perada Koran Jakarta?
1.
Maksimal 4000
karakter dengan spasi.
2.
Data buku harus
lengkap (judul, penulis, penerbit, tahun terbit, tebal buku, dan ISBN).
3.
Sertakan sampul
buku yang kita resensi.
4.
Sertakan pula
salinan KTP/SIM kita.
5.
Yang tidak
kalah penting, jangan lupa sertakan nomor rekening, ya. Insya-Allah honornya Rp300.000 ;)
6.
Kirim via email
ke opinikoranjakarta@yahoo.co.id
Di
bawah ini adalah resensi saya di Perada Koran Jakarta hari ini (sebelum
disunting redaksi). Jika ingin mengetahui atau membaca resensi yang sudah
disunting, silakan klik tautan ini Ã
http://www.koran-jakarta.com/menyelamatkan-negara-dari-jerat-para-koruptor/
***
Menyelamatkan Negara
dari Korupsi
Judul : Korupsi: Akar, Aktor, dan Locus
Penulis :
Leo Agustino & Indah Fitriani
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Juni 2017
Tebal : x + 222 halaman
ISBN : 928-602-229-751-2
Sejak awal kemerdekaan
RI, pemberantasan korupsi sudah dilakukan, terutama ketika Presiden Soekarno
mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) pada 1959. Setelah
itu dibentuk lembaga bernama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara). (hlm.
2-3)
Pada era Orde Baru,
berdasarkan Keppres No. 228 Tahun 1967, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK). Kemudian pada masa Presiden BJ. Habibie lahir Komisi Pengawas Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau Lembaga
Ombudsman. Selanjutnya pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk tim baru
bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Barulah pada
2002 Presiden Megawati membidani kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mencermati sejarah
tersebut, tampaknya Indonesia mengalami perjalanan panjang dan terjal untuk
mewujudkan cita-cita menjadi negara yang bersih dan bebas dari korupsi.
Berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII), Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia (Corruption Perception Index; CPI) pada 2016
naik satu poin sebesar 37 dari angka tertinggi 100, tetapi secara global posisi
Indonesia masih berada di urutan ke-90 dari 176 negara yang diukur. (hlm. 200)
Skor Indonesia ini masih
berada di bawah Malaysia (49 poin), Brunei (58 poin), dan Singapura (85 poin). Sementara
negara Asean lain berada di bawah Indonesia; Filipina (35 poin), Thailand (35
poin), Vietnam (33 poin), Myanmar (28 poin), dan Kamboja (21 poin).
Membaca buku ini
serasa melakukan audit forensik korupsi secara menyeluruh, mulai dari akar,
aktor, sampai lokasi dan sektor yang rentan terjangkiti penyakit korupsi. Rose-Ackerman,
dalam Corruption: A Study in Political Economy (1978), memandang bahwa
korupsi disebabkan oleh tiga alasan utama, yaitu corruption by greed
(korupsi karena keserakahan), corruption by need (korupsi karena
keperluan), dan corruption by chance (korupsi karena adanya peluang).
Dalam perspektif berbeda, penulis buku ini membagi akar korupsi menjadi tiga,
yaitu akar antropologis (aspek manusianya), akar sosiologis (aspek lingkungan,
masyarakat dan keluarga), dan akar politik (ekonomi-politik). (hlm 30)
Meminjam pepatah “mati
satu tumbuh seribu”, pelaku korupsi pun mengalami hal yang sama, “tertangkap
satu tumbuh koruptor seribu”. Pelakunya beragam, mulai dari menteri, anggota
DPR, anggota DPRD, ketua dan pegawai MK, sekjen dan pegawai MA, pegawai bea dan
cukai, pegawai pajak, kepala daerah tingkat kabupaten dan provinsi, birokrat
pusat dan daerah, hingga oknum TNI dan polisi. (hlm. 200)
Sektor yang kerap
basah oleh tindak rasuah pun beragam; mulai dari tingkat pusat hingga daerah;
mulai dari menteri sampai lurah. Penulis buku ini mengungkap semua sektor yang
kerap dijarah oleh kejahatan kaum berdasi (korupsi). Akan tetapi, secara khusus
penulis buku ini mendedah tiga sektor yang kerap menjadi sorotan; politik,
birokrasi, dan korupsi dalam rekruitmen CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) atau
CASN (Calon Aparatur Sipil Negara).
Buku ini tidak hanya
mengurai akar, aktor, dan locus korupsi, tetapi juga menawarkan solusi
pemberantasannya. Salah satunya dengan berkaca kepada empat negara yang selalu
dinobatkan sebagai negara paling kecil tingkat korupsinya, yaitu Denmark,
Finlandia, Swedia, dan Selandia Baru. Swedia, misalnya, pada 150-200 tahun yang
lalu merupakan negara yang amat korup, tetapi kini justru menjadi salah satu
negara yang bersih. Pemberantasan korupsi di Swedia tidak hanya diatasi dengan
menangkap dan menghukum pelakunya, tetapi dengan pula membangun kultur dan
sistem baru agar perbuatan korupsi bisa disejajarkan dengan pengkhianatan
terhadap negara. (hlm 204)
Diresensi oleh Irham Sya’roni, Mahasiswa
Program Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta.[2]
[1] Misalnya,
Harian Bhirawa Surabaya setiap Jumat, SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta setiap
Senin, dan Suara Merdeka saban Selasa. Ketiga koran ini menyediakan versi
epaper-nya secara gratis.
[2] Dalam
naskah aslinya tertulis lengkap “...FIAI UII Yogyakarta”. Tetapi, dalam versi
cetaknya nama “UII” menjadi tidak ada. Cukup sedih juga, karena harapan untuk
bisa melaporkan resensi ini ke kampus UII menjadi sirna. Sementara dalam tulisan pertama dulu juga tidak bisa saya laporkan ke kampus karena tulisan "FIAI" hilang, hanya tulisan "UII" yang muncul. Semoga dalam tulisan
berikutnya hal ini tidak terjadi lagi. L
J
8 comments:
Nomor rekening juga penting ya pak hehe ...
wah mantap bang.. terus berkarya..
ngomongin korupsi sebenernya cuma mental ya.. mental miskin, jadi ngerasa ga cukup terus, bibit bibit korupsi ada sejak dini lo.. mungkin saat sekolah dulu uang sakunya minta dilebihkan, minta buat beli buku ternyata dimanfaatin buat selain beli buku.. kurangnya bisa mengatur keuangan, besar pasak daripada tiang.. aaah indonesia tingkat tinggi ya korupsinya.. ahahhahaahaaa *menangyyyssss
Saya baru tau kalau ada istilah korupsi karena keperluan mas. Jumlah pelaku korupsi bisa dibilang seperti fenomena gunung es: cuma yang ketahuan aja yang muncul ke permukaan. Kasihan KPK mengemban tugas yang berat dan dimusuhi oleh banyak pelaku korupsi.
Semoga Indonesia bisa menjadi negara yang bebas dari tindak pidana korupsi, baik yang ketahuan maupun yang diam-diam. Aamiin ya Allah o:)
Kalau gak dikasih rekening, kasihan redaksi, Mbak, mereka pasti bingung ke mana harus mentransfer. hehe
Orang berpunya tapi selalu merasa kurang, sebetulnya mereka ini miskin, ya, Mbak. Sebaliknya orang yang tak berpunya tapi selalu bahagia dan qana'ah, justru mereka ini yg pantas kita sebut kaya, ya, Mbak.
Makasih kunjungannya, ya..
Korupsi memang sangat sulit dibasmi sampai bersih, Mas. Sejak zaman dahulu tindak rasuah selalu ada dengan modus dan jenisnya yg beragam. Sangat sulit tidak berarti kita diamkan dan kita lazimkan. KPK dan semua elemen bangsa tetap harus ikhtiar untuk meminimalisasikannya agar Indonesia tidak lagi tercatat sebagai negara dg tingkat korupsi yg tinggi, ya, Mas.
selamat yaa :) keren memang resensi nya.
salah satu temenku juga ada yang seneng banget kirim2 resensi ke majalah dan koran :)
Terima kasih, Mbak Vanisa.
Alhamdulillah kita semua senang menulis dg beragam spesialisasinya masing-masing. Ada yg nulis resensi sprti teman Mbak Vanisa, ada yg suka nulis ttg travelling, ada yg seneng nulis fiksi, dll.
Semoga sukses untuk kita semua, ya. :)
Post a Comment