Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan,
Rasulullah dan para sahabat berpuasa 3 hari setiap bulan (ayyamul bidh) ditambah
dengan puasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram. Barulah kemudian pada bulan Sya’ban
tahun ke-2 Hijriyah puasa Ramadhan diwajibkan. Itu pun melalui beberapa tahapan.
Baca juga:
Baca juga:
Tahap Pertama: Kewajiban
Bersifat Takhyir (Boleh Memilih)
Pada tahap pertama ini umat
Islam boleh memilih berpuasa atau tidak (walaupun sebenarnya kuat berpuasa).
Bagi yang memilih tidak berpuasa, harus menggantinya dengan fidyah. Walaupun demikian,
melakukan puasa tetap lebih baik daripada tidak.[1]
Tahap kedua: Kewajiban
Mengikat (Tidak Boleh Memilih) dengan Aturan yang Berat
Pada tahan kedua ini tidak
ada peluang untuk memilih. Seluruh umat Islam wajib berpuasa. Tetapi, waktunya
sangat panjang. Ketika telah datang waktu berbuka, mereka berbuka. Boleh makan,
minum, dan berhubungan seksual sampai melaksanakan shalat Isya’ atau sebelum tidur.
Jika telah melaksanakan shalat Isya’ atau sudah tidur, maka diharamkan makan,
minum, dan berhubungan seksual sampai Maghrib pada hari berikutnya. [2]
Wah, berat sekali, ‘kan?!
Puasa pada tahap ini
memang berat. Sampai-sampai suatu hari seorang Anshar bernama Qais bin Shirmah pingsan
karenanya. Ceritanya, saat berpuasa, sepanjang hari Qais bin Shirmah giat bekerja.
Setelah tiba saat berbuka, dia bertanya kepada istrinya, "Apakah engkau
memiliki makanan?" Istrinya menjawab, "Tidak punya. Tapi akan kucarikan makanan untukmu."
Manakala sang Istri keluar mencari makanan untuk berbuka, Qais tertidur karena kelelahan. Sampai akhirnya terlewatlah waktu berbuka. Terpaksa dia harus melanjutkan puasanya sampai maghrib hari berikutnya, tanpa berbuka dan sahur.
Manakala sang Istri keluar mencari makanan untuk berbuka, Qais tertidur karena kelelahan. Sampai akhirnya terlewatlah waktu berbuka. Terpaksa dia harus melanjutkan puasanya sampai maghrib hari berikutnya, tanpa berbuka dan sahur.
Pada siang hari (hari
berikutnya) Qais benar-benar kepayahan sampai-sampai dia jatuh pingsan. Peristiwa
ini diceritakan kepada Rasulullah. Lalu turunlah ayat yang menghalalkan makan dan
minum pada waktu malam sampai datang waktu fajar. Ayat ini disambut dengan sangat
gembira oleh para sahabat.
Pada tahap ini pula umat
Islam diharamkan berhubungan seksual dengan istrinya jika telah melakukan
shalat Isya pada bulan Ramadhan. Beberapa sahabat tidak dapat menahan nafsu sehingga melakukan hubungan badan dengan istri mereka setelah Isya. Di antaranya adalah Umar bin Khathab.
Mereka lalu mengadukan masalah ini kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah
ayat yang membolehkan mereka berhubungan suami-istri pada waktu malam sampai terbit
fajar.[3]
Tahap Ketiga: Kewajiban
Mengikat (Tidak Boleh Memilih) dengan Aturan yang Ringan
Tahap terakhir inilah yang
kita lakukan sekarang ini, yakni berbuka pada waktu maghrib (tenggelamnya
matahari) sampai terbit fajar (masuk waktu subuh). Selama itu kita boleh makan,
minum, dan berhubungan seksual.
Jika kita telah tidur
atau tertidur, tetap boleh makan, minum, dan berhubungan seksual, asal belum terbit
fajar (masuk waktu subuh).
Tahap terakhir ini
menjadi keringanan dan curahan rahmat bagi kita. Apa jadinya jika peraturan
pada tahap kedua tetap diberlakukan sampai sekarang. Bisa jadi kita pun akan
pingsan seperti Qais bin Shirmah.
Bagi pasangan suami-istri, apalagi pengantin baru, bisa jadi tak kuat menahan hasrat untuk memadu kasih pada malam hari. Karena itu, bersyukurlah! Berterima kasihlah kepada Allah atas keringanan yang diberikan kepada kita.
Bagi pasangan suami-istri, apalagi pengantin baru, bisa jadi tak kuat menahan hasrat untuk memadu kasih pada malam hari. Karena itu, bersyukurlah! Berterima kasihlah kepada Allah atas keringanan yang diberikan kepada kita.
Jadi, masihkah ada
alasan bagi kita untuk menolak berpuasa?
Na’udzubillah...
***
Jika kita hitung –sejak diwajibkan
pada tahun ke-2 hijriyah–, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengalami 9 kali
bulan Ramadhan. Menurut catatan sejarah, dari 9 kali Ramadhan ini hanya
sekali yang berjumlah sempurna 30 hari, selainnya berjumlah 29 hari.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Referensi:
20 comments:
Alhamdulillah barokallah kang dapat ilmu baru lagi tentang puasa, terima kasih ya kang sudah berbagi ilmu semoga berkah dan bermanfaat untuk saudara kita diluar sana yang membutuhkan ilmu yang bermanfaat seperti ini.
Alhamdulillah, walaupun singkat, semoga bermanfaat, Kang...
Ternyata puasa itu ada tahapan-tahapannya ya, pak.. tidak seperti yang kita ketahui selama ini. Terimakasih sharingnya semoga menjadi barokah buat kita semua dan selamat menunaikan ibadah puasa ramadan 1437 H yang tinggal beberapa hari lagi.
Saya baru tahu mas bahwa puasa itu ada tahapan-tahapan nya. Sebelum membaca artikel ini saya tahunya bahwa puasa itu wajib untuk setiap orang muslim yang berakal sehat dan baligh :)
berarti puasa pada tahapan sekarang yang paling rigan ya mas.. semoga kita dilancarakan dalam menjalankan ibadah pusanya.. Aamiin
Sama seperti pengharam khamr (minuman keras) pada zaman Nabi juga bertahap, Kang, sebelum akhirnya dilarang total seperti saat ini.
Terima kasih kembali, Kang. Semoga bermanfaat.
Memang benar kok, Mas, puasa itu wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal sehat, dan mampu. Sementara tahapan2 di atas cuma masalah sifat dan aturan/waktunya.
Iya, Mbak, puasa yang sekarang ini sudah paling ringan. Dan, ini sudah final sampai kiamat kelak.
Aamiin... doa yang sama untuk kita semua, Mbak. Semoga dilancarkan dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Saya juga ikut mengaminkan doanya mbak Santika disini, semoga kita dilancarakan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan tahun ini dan di tahun2 berikutnya, Aamiin.
Hehe... pembalasan nih ceritanya, Kang? Hehehe.... Tapi, ini pembalasan yang baik. Membalas mendoakan. :)
Matur nuwun, Kang Maman. Moga makin sukses Saung Mamannya dan Saung Idamannya. :)
Ohm seperti itu ya kang ? Terimakasih sudah memberikan saya pengetahuan lebih tentang beberapa tahapan dan sifat serta aturan waktu mengenai masalah ibadah puasa. Semoga berkah ya kang :)
Aamiin... doa yang sama untuk Mas Effendi. :)
ini menarik mas, pada bagian ini
hanya sekali yang berjumlah sempurna 30 hari, selainnya berjumlah 29 hari, itu bulan ramadhan Rasulullah ya mas. Indonesia bagaimana mas?hehe
Menurut saya, bagian itu biasa saja, Mbak. Tidak ada yang istimewa. Karena hanya sebatas informasi bahwa hasil dari rukyatul hilal Rasulullah seperti itu; beliau 1 kali berpuasa 30 hari, dan 8 kali berpuasa 29 hari. Jadi, tidak ada hubungannya dengan Indonesia atau negara2 mana pun, Mbak. :) Justru menariknya dan istimewanya ada di tahapan2 itu. ;)
alhamdulillah dapat pengetahuan tambahan nih, benaran kang emang sudah lupa bisa mengingat kembali :D
Alhamdulillah, bisa menambah dan mengingat pengetahuan yang mungkin terlupakan, ya, Mas.
Alhamdullillah, jadi tahu bahwa puasa kita telah melalui berbagai tahap ya.
Terima kasih atas infonya
Alhamdulillah, terima kasih kembali, Mbak...
Saya kira puasa ramadhan tanpa adanya tahapan, dan hanya sekedar puasa saja. Terimakasih ilmunya
Sama-sama, terima kasih kembali.
Post a Comment