Tashawwur
al-Mas’alah
Di beberapa
masjid atau mushalla, kita bisa melihat penempatan shaf (barisan shalat
berjamaah) yang beragam. Ada yang menempatkan wanita di samping pria dengan
penghalang berupa kain selambu, dan ada pula yang menempatkannya di belakang
shaf pria. Anak-anak, kadang ditempatkan bersama orang dewasa. Namun, ada pula
yang menempatkannya di barisan paling belakang.
Al-As’ilah
Bagaimanakah
menyikapi problem shaf yang terjadi di masyarakat? Adakah dampak yang
ditimbulkan jika penempatan shaf tidak sesuai dengan ketentuannya?
Al-Mizan
Shalat berjamaah
memiliki fadhilah yang sangat besar, sebagaimana tersurat dalam sabda Nabi
Muhammad Saw:
صَلاَةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 kali derajat.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sebagian
ulama menafsirkan maksud dari “27 derajat” tersebut adalah bahwa melaksanakan
satu kali shalat berjamaah (pahalanya) sama dengan melakukan 27 kali shalat
sendirian. Namun, fadhilah-fadhilah ini akan hilang manakala seorang makmum
melakukan hal-hal yang dimakruhkan dalam jamaah. Segala sesuatu yang
dimakruhkan dalam berjamaah, apabila dilakukan maka bisa menghilangkan fadhilah
berjamaah. Di antara contoh yang dimakruhkan dalam shalat berjamaah adalah
berdiri sejajar dengan imam, memisahkan diri dari shaf, penempatan shaf yang
tidak sesuai dengan ketentuan, mendahului gerakan imam (yang tidak melebihi dua
rukun fi’li), dan lain-lain.
Sesuai dengan
ketetapan fuqaha’, urutan penempatan shaf yang semestinya adalah laki-laki
dewasa, kemudian anak-anak, khuntsa, lalu yang terakhir adalah wanita. Jika
ketentuan urutan shaf seperti ini tidak terpenuhi maka mengakibatkan hilangnya
fadhilah sebagaimana dijanjikan Rasulullah dalam sabdanya. Namun, apakah yang
sirna hanya fadhilah shaf atau keseluruhan fadhilah berjamaah? Dalam hal ini,
para fuqaha’ berbeda pendapat.
-
Menurut Al-Imam Ibnu Hajar, yang
hilang/sirna adalah fadhilah berjamaah secara keseluruhan.
-
Menurut Imam Ramli, yang
hilang hanya fadhilah shaf, bukan fadhilah jamaah secara keseluruhan.
Meski demikian,
fenomena shaf yang menempatkan laki-laki dan perempuan dengan penempatan
kanan-kiri (bukan depan-belakang), tidak bisa langsung kita vonis salah. Hal ini
disebabkan, kadang masyarakat yang melakukan shalat berjamaah tidak langsung
hadir secara bersamaan; ada yang datang awal, ada pula yang datang terlambat. Oleh
karena itu, jika pada awal shalat berjamaah perempuan langsung berbaris di belakang
barisan laki-laki, bisa jadi jamaah laki-laki yang terlambat datang akhirnya
terpaksa berada di belakang jamaah perempuan. Jika kondisi shaf seperti ini
yang terjadi, bisa mengakibatkan batalnya shalat (laki-laki di belakang
perempuan). Mengapa? Karena laki-laki yang terlambat tersebut bisa masuk dalam kategori
“Seorang laki-laki yang rabith (penyambung) shalat berjamaahnya adalah
perempuan.”
Melihat realita
semacam ini, para ulama salaf di Jawa memberi solusi dengan menempatkan barisan
perempuan di samping laki-laki untuk menolak efek batalnya shalat jamaah
laki-laki yang terlambat hadir. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh:
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ
اْلمَصَالِحِ
“Menolak
bahaya lebih didahulukan daripada menggapai maslahat.”
Selain itu,
jika ada faktor pemicu lain semisal sempitnya area bagi jamaah wanita, maka
diperbolehkan juga mereka menempatkan barisan wanita di samping barisan
laki-laki dengan syarat harus ada satir (penghalang), misalnya dengan kain yang
mampu menghalangi terlihatnya jamaah perempuan oleh jamaah laki-laki. Wallahu
a’lam
Al-Ajwibah
Sesuai dengan
ketetaan fuqaha’, urutan penempatan shaf semestinya adalah (dari urutan
paling depan):
-
Laki-laki dewasa.
-
Anak-anak.
-
Khuntsa (orang
berkelamin ganda).
-
Barisan terakhir adalah wanita.
Jika urutan
tersebut tidak terpenuhi maka fadhilah shalat berjamaah akan sirna. Menurut Imam
Ibnu Hajar, yang sirna adalah fadhilah berjamaah secara kesuluruhan. Adapun menurut
Imam Ramli, yang hilang hanyalah fadhilah shaf, bukan fadhilah berjamaah secara
keseluruhan.
Namun,
karena para jamaah tidak dapat bersamaan hadir, maka diperbolehkan bagi jamaah
perempuan untuk shalat di samping jamaah laki-laki, sebagai upaya untuk menolak
dampak batalnya shalat jamaah laki-laki yang datang terlambat karena berada di
belakang jamaah perempuan. Tetapi, syaratnya, antara jamaah laki-laki dan
perempuan dipisahkan oleh sesuatu yang bisa menghalangi terlihatnya jamaah
perempuan oleh jamaah laki-laki.
Al-Maraji’
-
Hasyiyah al-Jamal I/544.
-
I’anah ath-Thalibin II/25.
-
Al-Majmu’ IV/192
-
Syarh Muslim IV/159
-
Fath al-‘Allam II/539 dan
545.
Repost dengan sedikit pemampatan dari buku Santri Lirboyo Menjawab; Majmu'ah Keputusan Bahtsul Masa-iel, penerbit: Pustaka Gerbang Lama, Kediri. Cet. VI. 2013. Hlm. 41-46
0 comments:
Post a Comment