ads
Saturday, December 7, 2013

December 07, 2013
2

1. Orang yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti, itulah orang yang lalai, maka peringatkanlah ia.

2. Orang yang tidak mengerti dan ia mengerti bahwa ia tidak mengerti, itulah orang yang sadar diri, maka ajarkanlah ia.

3. Orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti; itulah orang pandai, maka ikutilah ia.

4. Orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti, itulah orang yang mati/dungu, maka tinggalkanlah ia.

Ungkapan ini sangat terkenal. Tetapi, siapa yang menelorkan ungkapan ini, tidak sedikit orang yang berselisih pendapat. Ada yang mengatakan itu ucapan Imam Ghazali. Ada juga yang menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai qa’il-nya (pengucapnya). Ada juga yang menyebut Imam Syafi’i. Tetapi, dalam catatan saya yang berjudul 4 Golongan Manusia, al-qa’il ungkapan ini adalah Al-Khalil bin Ahmad. Siapakah dia?

Biografi Al-Khalil bin Ahmad
http://www.ektab.com/sites/default/files/styles/full-image/public/book_cover/300x432xcoverm99.jpg,qitok=i4ZICouX.pagespeed.ic.asyAQeOUJy.jpg
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 100 H dan tinggal di sana hingga wafat tahun 170 H, atau tahun 175 H menurut sebagian pendapat. Ayah beliau adalah orang yang pertama kali menggunakan nama Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW.
Sejak kecil beliau senantiasa mengikuti kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa. Guru yang paling berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’. Beliau juga gemar mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika. Beliau adalah sahabat dan juga pengagum Ibn Muqoffa’. Al-Khalil membaca semua karya terjemahan Ibn Muqoffa, dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama musik, yang berasal dari Yunani. Beliau sangat menguasai ilmu tentang musik ini, sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili dalam karyanya tentang ilmu tersebut.
Al-Khalil merupakan seorang yang jenius. Beliau tidaklah mempelajari suatu ilmu kecuali hingga sampai rinci dan dibukakan apa yang belum diketahuinya. Benar saja apa yang dikatakan Ibn Muqoffa’ bahwa kecerdasan (aqal) beliau lebih banyak daripada ilmu beliau. Beliau adalah seorang yang menjadikan intelektualitas sebagai hartanya yang tak ternilai dan bersikap zuhud dalam urusan harta benda.

Peran Al-Khalil dalam Ilmu Bahasa Arab
Al-Khalil adalah tokoh yang sangat vital dalam sejarah ilmu bahasa Arab. Peran beliau dalam ilmu ini hampir meliputi semua aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, hingga ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.

  • Peran Al-Khalil dalam Fonologi Bahasa Arab (‘ilm al-ashwat)
Fonologi ialah bidang ilmu bahasa yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa, entah membedakan makna (fonemik), ataupun tidak (fonetik). Ilmu ini meliputi bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi ini diklasifikasikan.
Terkait dengan ilmu ini, peran Al-Khalil dapat dilihat aplikasinya dalam buku beliau yang berjudul Al-’Ain. Al-’Ain merupakan buku kamus pertama dalam bahasa Arab yang mengumpulkan sekian banyaknya kosakata bahasa Arab. Sistem yang digunakan Al-Khalil dalam kamus beliau adalah dengan menyusun kata-kata berdasarkan tempat keluarnya bunyi huruf (makharij al-huruf). Dalam hal ini, beliau mengawali dengan bunyi bahasa yang keluar dari dalam tenggorokan (al-halq), kemudian lidah (al-lisan), rongga mulut (al-fam), dan dua bibir (asy-syafatain).
Berikut adalah urutan huruf berdasarkan tempat keluar bunyinya yang beliau terapkan dalam kitab al-Ain:
ع ح هـ خ غ ق ك ج ش ض ص س ز ط د ت ظ ذ ث ر ل ن ف ب م ي و ء
(urutan -> dari kanan ke kiri)

Menurut Syauqi Dhaif, setidaknya terdapat tiga segi pembahasan Al-Khalil terkait dengan bunyi bahasa.
  1. Merasakan bunyi huruf konsonan, yaitu dengan membuka mulut dengan huruf alif (vokal a) kemudian diikuti dengan huruf yang akan diuji dengan disukunkan. Untuk menguji huruf ba’(ب) maka diucapkan ab (أَبْ), untuk huruf ta’ (ت) maka diucapkan at (أَتْ), dan seterusnya.
  2. Sifat alat wicara dalam mengeluarkan bunyi huruf. Dalam hal ini, Al-Khalil memperkenalkan istilah hams, jahr, syiddah, rakhawah, isti’la, dan istifal, kemudian isymam, imalah, dan raum.
  3. Perubahan yang terjadi pada bunyi huruf ketika dalam tataran kata. Dalam hal ini, Al-Khalil memperkenalkan konsep qalb, hazf, i’lal, ibdal, dan idgham.

Termasuk kontribusi beliau dalam bidang ini adalah konsep beliau dalam pembuatan tanda-tanda bunyi dalam penulisan. Al-Khalil memperkenalkan penggunaan tanda titik dan harakat (syakal). Beliau menandai bunyi u (dammah) dengan wawu kecil di atas huruf, bunyi a (fathah) dengan alif yang ditulis horizontal, dan bunyi i (kasrah) dengan ya’ kecil yang disambung dibawah huruf.
Konsep dan pemikiran Al-Khalil dalam bidang bunyi bahasa ini ditengarai banyak dipengaruhi pengetahuan beliau tentang bahasa Sansekerta, bahasa bangsa India. Urutan huruf dalam bahasa ini juga disusun berdasar asal bunyi.

  • Peran Al-Khalil dalam Morfologi Bahasa Arab (‘ilm as-sharf)
Morfologi adalah ilmu bahasa yang berbicara dalam tataran kata, atau lebih tepat diistilahkan dengan morfem. Dalam Bahasa Arab, morfologi dikenal dengan istilah as-sharf, yaitu ilmu yang mempelajari kata-kata (atau kalimah dalam Bahasa Arab), meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengannya sebelum masuk dalam kalimat.
Al-Khalil dalam kitab al-’Ain banyak memberikan contoh-contoh perubahan yang terjadi dari satu kata. Hal ini maklum karena buku beliau tersebut memang dimaksudkan sebagai kumpulan kosakata. Yang menjadi istimewa dalam buku ini adalah bagaimana beliau memperkenalkan isytiqaq kabir, yaitu ketika beliau menunjukkan variasi kata yang muncul dari tiga huruf yang sama.
Terkait dengan ilmu ini, Al-Khalil memunculkan konsep pembagian kalimah menjadi mujarradah dan mazidah. Yang pertama adalah yang kalimah yang tidak terdapat huruf tambahan yang lazim, berbeda dengan yang kedua. Beliau menyatakan bahwa kalimah yang mujarradah jumlah huruf aslinya tidaklah lebih dari lima dan tidak kurang dari tiga. Beliau kemudian membuat ukuran (wazn) untuk yang tiga huruf (tsulatsi) dengan fa’, ‘ain, dan lam (فعل), kemudian menambahkan satu lam di akhir untuk ruba’i, yang terdiri dari empat huruf asli (فعلل) dan dua lam untuk yang khumasi (فعلّل). Kemudian, Al-Khalil menyatakan bahwa huruf tambahan dalam hal ini ada sepuluh, yaitu س, أ, ل, ت, م, و, ن, ي, هـ, dan ا, atau yang dikumpulkan dalam kalimat سألتمونيها. Beliau juga membuatkan wazn untuk tiap mazidah, semisal أفعل, تفعّل, استفعل, dan lainnya.
Kemudian, sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa Al-Khalil adalah yang membuat kaidah-kaidah perubahan-perubahan yang terjadi dalam pembentukan kata terkait bunyi bahasa. Beliau membuat kaidah tentang qalb, hadzf, I’lal, ibdal, dan idgham.
Contoh, beliau menyatakan bahwa huruf tambahan lebih layak untuk dibuang, seperti dalam pembuatan ism maf’ul dari fi’l tsulatsi yang ajwaf (terdapat huruf ‘illat di tengah). Kata مَقُوْلٌ, aslinya adalah مَقْوُوْلٌ berdasar wazn مَفْعُوْلٌ, harakat dhomah dipindahkan ke qof (naql al-harakah), kemudian wawu yang kedua yang bukan huruf asli kata dihilangkan (hadzf).

  • Peran Al-Khalil dalam Sintaksis Bahasa Arab (‘ilm an-nahw)
Al-Khalil bin Ahmad adalah guru para ahli nahwu. Di antara murid beliau adalah Sibawaih, penulis Al-Kitab, sebuah karya besar dalam ilmu tata bahasa arab. Dalam karya yang dianggap sebagai rujukan utama ini, Sibawaih banyak menukil pernyataan Al-Khalil.
Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Beliau juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakah mabni dengan dham, fath, kasr, dan waqf (sukun).
Selain itu, terdapat dua teori penting yang dirintis oleh Al-Khalil dalam ilmu nahwu, yaitu konsep beliau tentang ‘amil dan ma’mul, dan konsep mengenai dasar kaidah nahwu yang meliputi sima’, ta’lil, dan qiyas.
Konsep ‘amil dan ma’mul Al-Khalil bisa disimpulkan dari apa yang dituliskan muridnya, Sibawaih, dalam Al-Kitab.
Amil menurut beliau biasanya berupa lafdzi, misal, mubtada‘ sebagai amil yang me-rafa’-kan khabar, fi’il me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul. Akan tetapi, beliau juga menunjukkan ada ‘amil yang bersifat ma’nawi, misalnya adalah ‘amil yang me-rafa’-kan mubtada.
Kemudian, ‘amil dapat berupa ‘adat dan huruf semisal كان dan semisalnya yang me-rafa’-kan ismnya dan me-nasab-kan khabarnya, lalu إنّ dan semisalnya yang me-nashab-kan ismnya dan me-rafa’-kan khabarnya.
Selanjutnya, ‘amil menurut beliau ada yang ditampakkan (zhahirah) dan ada yang dihilangkan (mahdzufah). Contoh yang dihilangkan adalah semisal ‘amil yang me-rafa’-kan المسكين dalam kalimat مررت به المسكين, apabila ditampakkan adalah مررت به هو المسكين. Demikian juga ma’mul, ada yang dihilangkan.
Selain ‘amil dan ma’mul serta kaidah-kaidah nahwu lainnya yang beliau tetapkan. Al-Khalil juga menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang beliau tetapkan. Misalnya, beliau menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah. Nah, ketika muncul hal berupa isim ma’rifat beliau melakukan ta’wil atau pengalihan asumsi dari yang tampak. Contoh bentuk ini adalah kalimat مررت بهم الجمّاء الغفير, Al-Khalil men-ta’wil-nya dengan bahwa maksudnya adalah مررت بهم جما غفيرا . Dari konsep ta’wil beliau ini kemudian beliau menunjukkan banyaknya kemungkinan i’rab dalam satu kalimat.
Al-Khalil mendasarkan penyusunan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dengan tiga macam metode, yaitu dengan mendengar (sima’), membuat alasan (ta’lil), dan membuat analogi (qiyas).
Metode yang pertama, sima’, beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya. Beliau banyak menggunakan puisi-puisi badui dan perkataan mereka untuk kemudian menyusun teori atau kaidah secara induktif darinya. Dalam hal ini, Al-Khalil tidak mengindahkan para perawi hadits karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang non-arab.
Metode yang kedua, yaitu ta’lil, menyatakan kepastian adanya penyebab (‘illah) dalam i’rab. Dalam hal ini, dicontohkan bahwa hukum asal dari isim adalah mu’rab, sedangkan isim-isim yang mabni adalah karena terdapat ‘illah berupa keserupaan dengan kalimah huruf. Hukum asal selain isim adalah mabni.
Metode yang ketiga, yaitu qiyas, yaitu membuat ukuran atau kaidah dari perkataan orang Arab kemudian menerapkannya dalam kasus yang lainnya. Tentang qiyas ini, Syauqi dalam bukunya banyak menerangkannya dengan langsung menukil redaksi Sibawaih dalam bukunya. Sibawaih mencontohkan qiyas ini dengan apa yang berlaku dalam perbedaan i’rab dalam munada. Dari konsep qiyas ini kemudian muncul istilah syadz bagi perkataan yang tidak sesuai dengan ukuran atau kaidah qiyas.
Demikianlah, Al-Khalil bin Ahmad serta muridnya, Sibawaih, adalah dua orang tokoh terpenting dalam ilmu Nahwu.

  • Peran Al-Khalil dalam Leksikografi Arab (Penulisan Kamus)
Sebagaimana disebut di atas, Al-Khalil telah membuat buku yang memuat kosakata-kosakata bahasa Arab. Kitab Al-’Ain adalah kamus bahasa Arab pertama yang telah dibuat.
Urutan kata-kata dalam Al-’Ain ini didasarkan kepada urutan letak keluarnya bunyi huruf, mulai dari tenggorokan bagian dalam, yaitu huruf ‘ain (ع). Oleh karena itu, kitab ini diberi nama Al-‘Ain.
Di buku tersebut Al-Khalil menyusun kata-kata yang mungkin muncul dalam bahasa Arab dengan membuat variasi dari permutasi tiga huruf penyusunnya. Misal, dari huruf kaf, ta’, dan ba’ bisa dibuat kataba, kabata, takaba, tabaka, bataka, dan bakata. Kemudian, Al-Khalil membedakan hasil variasi mana yang dipakai sebagai kata dalam bahasa Arab.
Metode yang diterapkan Al-Khalil dalam menyusun kamus ini adalah hasil pengetahuannya atas ilmu matematika, khususnya teori tentang permutasi dan asosiasi.
Walaupun metode ini tidak diikuti oleh para pakar pada masa berikutnya, tetapi ini merupakan sebuah temuan yang berharga. Walaupun demikian, karya Al-Khalil dalam menunjukkan makna leksikal kata-kata bahasa Arab ini adalah yang pertama, jauh sebelum ditulisnya Lisan al-‘Arab oleh Ibn Mandzur, ataupun Al-Munjid. Kontribusi beliau dalam bidang semantik ini adalah bukti keluasan ilmu beliau.

  • Al-Khalil sebagai Peletak Dasar ‘Ilm al-‘Arudh
Telah disebutkan bahwa Al-Khalil adalah seseorang yang menjunjung tinggi intelektualitas. Beliau banyak mempelajari ilmu dari mana saja, termasuk dari tradisi Yunani, semisal matematika dan ilmu tentang nada dan irama musik. Kemudian dari pengetahuan akan berbagai macam ilmu tadi, beliau mampu menemukan ilmu dan metode yang spektakuler pada saat itu.
Salah satu karya terbesar beliau adalah 15 buah bahr dalam ilmu al-‘arudh. Beliau adalah orang yang pertama kali membuat konsep tersebut. Oleh karenanya beliau dikenal sebagai peletak dasar ilmu al-’arudh, yaitu ilmu yang mempelajari tentang irama atau ketukan syair bahasa Arab.
Beliau membuat wazn-wazn puisi arab dengan melakukan variasi dari permutasi apa yang beliau istilahkan dengan tafa’il. Dari sekian banyaknya hasil variasi tersebut, beliau menentukan mana yang digunakan oleh orang Arab dalam puisi mereka dan mana yang tidak. Cara ini identik dengan apa yang beliau terapkan dalam penyusunan buku al-‘Ain.
Diceritakan bahwa ilmu ini beliau temukan setelah kembali dari haji di tanah haram. Saat di sana, beliau memohon diberikan sebuah ilmu yang sama sekali belum pernah ada sebelumnya. Kemudian, ditemukanlah ilmu ‘arudh oleh seorang intelek yang saleh dan zahid ini, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi.
  

Referensi Utama: 

Syauqi Dhaif, Al-Madaris An-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)
Repost dari pplq.wordpress.com 

Referensi lain tentang Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi:

2 comments:

Yayack Faqih said...

saya baru kenal yang namanya Al kahlil, bagus2 tulisanya mengandung banyak makna

Irham Sya'roni said...

Iya, Mas. Mulanya dulu saya juga berpikir agak lama, siapa beliau. Oh, ternyata beliau adalah guru dari Imam Sibawaih, ahli nahwu.