Bukan Kamus Biasa
Kamus bahasa Inggris, bahasa Indonesia,
bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa-bahasa lain, itu biasa. Sudah terlalu
banyak kamus-kamus seperti itu berjejer di toko buku. Begitu juga kamus istilah
kedokteran, istilah agama, istilah fisiki/kimia, dan istilah-istilah lain sudah
terlalu sesak bertengger di rak toko buku. Bahkan, kamus anak gaul ala 4l4y pun
sudah ada, kamus plesetan juga ada.
Nah, kamus yang satu ini barulah luar
biasa alias tidak biasa. Benar-benar baru, unik, dan langka. Namanya Qamus Syata’im al-Albani, yang artinya kamus caci-maki atau umpatan al-Albani.
Isinya adalah kumpulan kalimat cacian, hinaan, kata-kata kotor, dan sumpah
serapah yang dilontarkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani terhadap para ulama zaman
dahulu maupun sekarang.
Bisa jadi ini adalah satu-satunya kamus
atau buku yang mengoleksi dan mengidentifikasi kalimat-kalimat cacian dan kata-kata
kotor, apalagi yang keluar dari mulut seorang tokoh panutan yang oleh pengikutnya
digelari al-Muhaddits Abad Ini, yaitu Syaikh Nashiruddim al-Albani.
Mungkin di antara pembaca ada yang
tersenyum kecut sambil berkomentar nyinyir, “Wah, kurang kerjaan saja penulis
kamus ini, kata-kata kotor kok dikoleksi dijadikan kamus!”
Sekelebat memang tampak kurang kerjaan,
tapi pembuatan kamus setebal 216 halaman ini oleh Sayyid Hasan bin Ali As-Saqqaf, seorang ulama asal Yordania, tentu mempunyai maksud dan tujuan yang tegas.
Mungkin, di antaranya adalah untuk mengingatkan kita, khususnya tokoh-tokoh
panutan, agar lebih menjaga lisannya. Tidak mudah melontarkan kata-kata kotor
dan hinaan kepada orang lain atau tokoh lain yang kebetulan tidak sepaham
dengan kita. Bagaimanapun dan dalam keadaan apa pun, kita ditarbiyah untuk menghormati
orang lain dan menghargai perbedaan pendapat. Bukan justru mencacinya dan merasa
sebagai pemilik tunggal kebenaran. Seperti inilah akhlak yang diajarkan oleh
Kanjeng Nabi.
Layakkah?
Barangkali juga, melalui kamus ini, Sayyid
Hasan bin Ali As-Saqqaf hendak mengajak kita untuk berpikir dengan menjawab
pertanyaan: “Layakkah kita menjadikan orang yang gemar mencaci-maki sebagai
panutan? Layakkah kita menyematkan gelar Muhaddits kepada orang yang gemar
mengeluarkan kata-kata kotor?” Yach, mungkin pertanyaan krusial inilah yang ingin
dilontarkan kepada kita untuk menjawabnya secara objektif dan dengan keterbukaan
hati.
Setiap umat Islam tentu tahu bahwa Allah melarang caci-maki, mengutuk,
mencela, dan mengeluarkan ungkapan-ungkapan buruk. Allah juga melarang kita memanggil orang
lain dengan panggilan-panggilan yang buruk. Jadi, terang sekali bahwa kita tidak selayaknya mudah mencaci-maki dan memberi panggilan buruk kepada orang lain.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk (fasiq) sesudah beriman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Wahai orang-orang yang
beriman. Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujuraat: 10-12]
Bagaimanapun, akhlak dan perbuatan apa pun dari
seorang tokoh panutan --sedikit atau banyak-- tentu menginspirasi para
pengikutnya. Mereka yang mengidolakan Superman, mungkin akan meniru-niru gaya
superman. Mereka yang suka banget kepada Power Rangers, seperti anak laki-laki saya, pasti
suka banget meniru gerakan-gerakan akrobatik sang pahlawan fiktif tersebut. Begitu
juga jika kita mengidolakan seorang pemarah, pengumpat, dan doyan menjelek-jelekkan
orang lain, kita pun akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Apa jadinya
dunia ini jika setiap orang begitu mudah mencaci-maki dan menjelek-jelekkan
orang lain serta merasa menjadi pemilik tunggal kebenaran? Bisa jadi akan meledakkan
bencana kemanusiaan, kan?!
Seperti apakah kata-kata
kotor yang dirangkum Sayyid Hasan bin Ali As-Saqgaf dalam buku ini, yang ia
kumpulkan dari ucapan-ucapan maupun tulisan-tulisan al-Albani? Beberapa di antaranya
adalah:
·
Himar khassaf
(keledai dungu)
·
Waqah
(tidak punya rasa malu)
·
Syiddatu humqih
(sangat tolol!)
·
Dhahalatu aqlih
(sesat otaknya)
·
Istifhalu jahlil
(ketololannya amat sangat)
·
Jahul
(orang tolol!)
·
Dhal
(sesat)
·
Mulabbis
(penipu)
·
Kanud
(kufur nikmat)
·
Jahil
(orang bodoh)
·
Halik
(binasa)
·
Muta’ashshib
(tukang fanatik)
·
Thabl la yadri ma
yakhruj min ra’sih (gendang yang tidak tahu apa yang
keluar dari kepalanya)
·
Ka dhartati ‘air fi
al-’ara (seperti ringkikan keledai liar di tanah lapang)
·
Fanzhuru ila iffatihi
bal ufunatih (lihatlah kebersihannya bahkan
kebusukan-kebusukannya)
·
Huwa akdzab min
himari hadza (dia lebih dusta dari keledaiku ini)
·
Rafidhi mitslu
al-himar (dia seorang rafidhi seperti keledai)
·
dan sebagainya.
Jika apa yang ditulis oleh Sayyid Hasan bin Ali As-Saqqaf adalah benar, tentu kita patut menyayangkannya. Tidak selayaknya pula kita ikut-ikutan menuruti nafsu dengan meluncurkan ucapan-ucapan kotor yang menyakiti orang lain.
Mari
kita belajar menghormati orang lain, belajar menahan lisan kita dari
ucapan-ucapan yang tidak baik, serta belajar melepaskan diri dari sikap merasa paling
benar. Kita bisa belajar dari jawaban Nabi atas pertanyaan seorang laki-laki.
Laki-laki itu bertanya: “"Muslim yang bagaimanakah
yang paling baik?" Beliau menjawab: "Yaitu seorang Muslim yang orang
lain merasa aman dari gangguan lisannya dan tangannya." (HR. Muslim no.57)
"
Judul
: Qamus Syata’im al-Albani
Pengarang
: Sayyid Hasan bin Ali As-Saqqaf
Penerbit
: Dar al-Imam an-Nawawi, Beirut, Libanon.
Tahun
terbit : 2010 M / 1431 H
Bahasa
: Arab
Tebal
: 216 halaman
1 comments:
Bisa ditiru, Hhhhh
Post a Comment