Salah satu bekal seorang
istri untuk meraih indahnya surga adalah keridhaan suaminya. Ia mendapat
jaminan surga apabila kewajiban-kewajiban sebagai istri ditunaikan dengan baik
dan hak-hak suami terpenuhi secara baik juga sehingga sang suami ridha
kepadanya. Rasulullah saw bersabda, “Seorang perempuan jika meninggal dunia dan
suaminya meridhainya, maka ia akan masuk surga.” (H.R. Ahmad dan
Ath-Thabrani, dari Ummu Salamah)
Menurut istilah
syari’at, ridha artinya adalah tidak mengeluh terhadap apa yang telah
ditetapkan oleh Allah. Ibarat seorang pasien, misalnya, ia ridha meminum obat
walaupun obat itu pahit dan sebetulnya dia menderita karena rasa pahit itu.
Namun, si pasien tetap ridha dengan obat itu dan merasa tenteram dengan
mengonsumsinya juga mau menerimanya, walaupun dalam waktu yang sama dia
merasakan pahitnya obat tersebut. Keridhaan ini didorong oleh keinginan si
pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Begitu pula keridhaan suami terhadap kita,
tiada lain adalah karena sang istri mengharapkan keridhaan yang tertinggi,
yaitu keridhaan Allah swt.
Salah satu kunci agar
suami meridhai istri adalah ketaatan, yakni ketaatan sang istri kepada
suaminya. Ketaatan ini bersifat mutlak, selama sang suami tidak memerintahkan
pada kemaksiatan atau perilaku-perilaku dosa.
Ketaatan kepada suami
dan bersikap hormat kepadanya dapat meninggikan derajat pahala seorang istri
hingga menyamai derajat pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang
wanita datang mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan
kaum wanita kepadamu.” Lalu wanita itu menyebutkan keuntungan yang diperoleh
kaum laki-laki dari berjihad dan lainnya berupa pahala dan harta rampasan
perang. “Lalu apa yang kami peroleh dari semua itu?” tanya wanita tersebut.
Kemudian Rasulullah menjawab, “Sampaikanlah kepada setiap wanita yang kamu
jumpai bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya mengimbangi pahala semua
itu. Tetapi, sayangnya sedikit sekali di antara kalian yang mampu
melakukannya.” (H.R. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)
Begitu pokoknya ketaatan
kepada suami sampai-sampai Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatâwâ mengatakan
bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri setelah menunaikan kewajiban
terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali terhadap suami.
Sebaliknya,
ketidaktaatan kepada suami akan berujung pada kemurkaan Allah swt. Rasulullah
saw bersabda, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu sang istri menolak
ajakan suaminya, melainkan Allah akan terus-menerus murka kepadanya hingga
suaminya ridha kepadanya.” (H.R. Muslim)
Apakah dengan dalil
tersebut berarti setiap keinginan dan perintah suami harus ditaati oleh sang
istri? Tentu tidak! Hanya keinginan dan perintah yang tidak bertentangan dengan
syari’at yang wajib dipenuhi. Apabila keinginan atau perintah itu berupa
kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hukum Islam, istri wajib menolaknya karena
Rasulullah saw telah bersabda, “Tiadalah ketaatan seseorang terhadap perbuatan
maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya ada dalam kebajikan semata.” (H.R.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i)
Keridhaan suami terhadap
istri ini memiliki kedudukan yang sama tingginya dengan keridhaan orangtua
terhadap anaknya. Begitulah ketetapan Islam dalam hal hubungan ketaatan
antarmanusia; seorang anak harus taat kepada orangtuanya, sedangkan istri
harus taat kepada suaminya. Karena itulah, tidak mengherankan apabila para
istri shalihah akan berlomba-lomba untuk taat dan berbakti kepada suaminya.
Tiada lain adalah demi mendapatkan ridhanya. Begitu pula seorang anak, ia akan
berlomba-lomba untuk taat dan berbakti kepada orangtuanya semata-mata demi
mendapatkan ridhanya.
3 comments:
ridho istri ada pada ridho suami... yakinkan semua itu sungguh akan di dapati ending yang sangat berkesan ...
Betul, Mas. Jika semua saling ridha, insya Allah, Allah pun akan meridhai setiap langkah dan tarikan napas kita.
Jika Istri ingin ke Turki dalam rangka mengantarkan donasi untuk anak anak Palestina,dan ini kesempatan langka. Namun suami belum ridho, melarang sih enggak cuma Suami belum siap jika melepas kan Istri jika pergi ke luar negeri. Namun jika Istri tetep memaksakan diri pergi apalah seperti itu tergolong menentang keridhoan suami ya Tadz? padahal itu kan dalam rangka fisabbilillah.mohon pencerahanya
Post a Comment