Istri Tidak Boleh Mengambil Harta Suami
Seorang istri dilarang
mengambil harta suami tanpa seizinnya karena
termasuk mengambil harta orang lain secara batil. Firman Allah swt, “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah
Mahaperkasa dan Mahabijaksana.” (QS Al Maidah: 38)
Dalam kaitannya dengan
suami-istri, apakah larangan ini bersifat mutlak? Jawabnya adalah tidak!
Larangan ini hanya berlaku apabila istri sudah mendapatkan hak nafkah yang
semestinya dari suaminya. Apalagi jika istri sudah mendapatkan nafkah secara
lebih dan berlimpah, tentu larangan untuk mengambil harta suami tanpa izin lebih
keras lagi.
Berbeda hukumnya apabila suami
tersebut bakhil, tidak memberi nafkah kepada istri dan anaknya secara wajar,
maka istri boleh mengambil harta suaminya walaupun tanpa izin. Akan tetapi,
kebolehan mengambil ini hanya sebatas kebutuhan yang diperlukan untuk dirinya
dan anaknya, tidak melebihi kebutuhan yang semestinya.
Kebolehan ini didasarkan pada
hadits yang menceritakan bahwa Hindun binti Utbah mengeluh kepada Rasulullah saw
tentang suaminya yang sangat bakhil, tidak pernah memberi nafkah kepadanya dan
anak-anaknya.
“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) tidak memberi nafkah yang cukup
kepadaku dan anak-anakku,” keluh Hindun.
Mendapat keluhan dan pengaduan itu, Rasulullah saw bersabda
secara bijaksana:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ
وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
hartanya dengan cara yang ma’ruf secukupnya (sebanyak yang dibutuhkan) olehmu
dan anak-anakmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana dengan Suami, Bolehkah Dia
Mengambil Harta Istri?
Istri memang tidak boleh mengambil harta milik suami
tanpa izin. Lantas, bagaimana jika sebaliknya suami yang mengambil harta istri?
Bolehkah?
Sebelumnya, perlu
kita ketahui bahwa harta istri sepenuhnya adalah milik istri. Bukan milik
suami. Istri tidak berkewajiban memberikan seluruh hartanya atau bahkan sebagiannya
kepada suami. Karena itulah istri berhak mengeluarkan hartanya sesuai kehendaknya
sendiri untuk kemaslahatan tanpa harus meminta izin kepada suami. Dengan demikian,
bisa kita simpulkan bahwa suami pun dilarang mengambil harta milik istri tanpa seizin
pemiliknya, yaitu sang istri.
Ada kisah menarik
yang bisa kita jadikan referensi dan pelajaran. Yakni, kisah seorang wanita
kaya raya yang bersuamikan lelaki miskin. Dia adalah Zainab, istri Ibnu Mas’ud.
Suatu hari Zainab hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Dia bermaksud
membayarkan zakatnya kepada Ibnu Mas’ud, suaminya, tetapi dia ragu akan
kebolehannya. Maka, bertanyalah Zainab kepada Rasulullah Saw, “Wahai
Rasulullah, bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim yang
berada dalam asuhannya?”
Rasulullah Saw
menjawab:
نَعَمْ، لَهَا أَجْرَانِ، أَجْرُ
القَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Ya, boleh.
Dia berhak memperoleh dua pahala, yakni pahala menjaga kekerabatan dan pahala
bersedekah.” (H.R.
Bukhari)
Kisah ini menjadi
pijakan bahwa harta istri sepenuhnya menjadi miliknya sendiri. Suami tidak ikut
memilikinya, sesedikit apa pun. Jika suami ikut memilikinya, tentu Nabi akan
melarang membayarkan zakat dari harta istri kepada suami. Tetapi nyatanya, beliau
Saw membolehkan istri membayarkan zakat kekayaannya kepada suami karena kemiskinan
suami tersebut. Berbeda kasusnya jika suami kaya raya, sementara sang istri miskin;
suami tidak boleh memberikan zakatnya kepada istri. Mengapa? Karena sudah
menjadi kewajiban suami setiap hari untuk memberi nafkah kepada istri.
Simpulan
- Istri dilarang mengambil harta suami tanpa seizinnya. Begitu
pula suami dilarang mengambil harta istri tanpa seizinnya.
- Suami wajib memberi nafkah untuk memenuhi kebutuhan
anak-istri. Jika suami tidak menunaikan kewajiban ini, istri boleh secara tegas
memintanya. Jika suami tetap tidak memberi maka istri boleh mengambil
harta suami sekadar untuk memenuhi kebutuhan dia dan anaknya
- Istri yang mempunyai harta kekayaan, sepenuhnya itu
adalah milik istri sendiri. Suami sama sekali tidak turut memilikinya sedikit
pun. Karena itulah istri boleh membelanjakan harta miliknya sekehendaknya untuk
kebaikan. Karena itu pula, suami tidak boleh mengambilnya tanpa seizin istrinya.
- Istri yang kaya boleh membayarkan zakatnya kepada
suami, jika memang suaminya adalah seorang yang miskin. Walaupun dalam kondisi demikian, kewajiban suami tidaklah gugur. Dia tetap berusaha menunaikan kewajibannya untuk menafkahi istri.
- Suami wajib memberikan sebagian hartanya kepada istri sebagai nafkah, sedangkan istri boleh memberikan sebagian harta miliknya kepada suami sebagai sedekah.
- Suami wajib memberikan sebagian hartanya kepada istri sebagai nafkah, sedangkan istri boleh memberikan sebagian harta miliknya kepada suami sebagai sedekah.
0 comments:
Post a Comment