ads
Friday, December 16, 2011

December 16, 2011

Wacana yang paling hangat dan membuat geger masyarakat muslim Indonesia sementara ini adalah munculnya sebuah aliran baru yang bernama “al-Qiyadah al-Islamiyah”, yang menurut informasi media ternyata sudah memiliki ribuan pengikut di seluruh Indonesia. Kasusnya lagi, tidak sedikit keluarga di berbagai daerah yang merasa kehilangan anggota keluarganya dan diduga mengikuti aliran baru ini.

Aliran sempalan ini oleh sebagian kalangan dianggap “sesat”, bukan hanya karena mengatasnamakan Islam, tetapi juga telah merusak tatanan konsep ajaran Islam yang sejauh ini menjadi keyakinan umatnya. Hal ini bisa terlihat dari beberapa ajaran yang dibawa oleh pimpinannya, Abdus Salam alias Ahmad Moshaddeq, antara lain: Pertama, klaim Ahmad Moshaddeq sebagai nabi terakhir setelah Rasulullah Muhammad Saw. Kedua, mengingkari Sunnah Nabi Muhammad Saw, walau tetap mengakui al-Quran sebagai kitab suci; Ketiga, merubah dua kalimat syahadat yang sudah ada menjadi Asyhadu an-lâ ilâha illâ Allâh, wa asyhadu anna Al Masîh Al Mau’ûd Rasûlullâh (Saya bersaksi tiada ilah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Anda [Al Masîh Al Mau’ûd alias Ahmad Moshaddeq] adalah Rasul Allah). Keempat, kesesatan lainnya adalah tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji. Bahkan, aliran ini juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada Al Masîh Al Mau’ûd sebagai bagian dari ajaran berinfak.

Aliran baru ini menambah panjang deretan aliran sempalan yang telah lahir di bumi nusantara ini sebelumnya, sebagaimana telah diidentifikasi Ustadz Irham Sya’roni (Republika, 07/11/2007), seperti Alquran Suci dan penganut Tatatan Persatuan Quran Di Bandung, kelompok Penyembah Matahari di Sumedang, ajaran Finalillah di Kuningan, wanita Rusmiyati yang mengaku diwisuda Tuhan sebagai Ratu Adil dan Panglima Perang melawan iblis di Madiun, Lia Eden di Jakarta, dan Zikrullah bin Ali Tatang yang menobatkan diri sebagai nabi baru di Sulawesi Tengah.

Nah, kalau Ustadz Irham Sya’roni dalam tulisannya (Republika, 07/11/2007) berusaha mengkritisi peran intelijen dalam mengantisipasi merebaknya aliran-aliran sempalan tersebut, berangkat dari keheranannya bagaimana cara mereka mengelabui sekian banyak pengikutnya yang mayoritas berasal dari kalangan terpelajar dan intelektual, maka penulis justru lebih tertarik sekaligus prihatin pada kenyataan di mana mayoritas para korban (pengikut)-nya adalah kaum muda, baik setingkat pelajar atau mahasiswa, demikian informasi yang didapat dari beberapa liputan media nasional.


Peran Strategis Kaum Muda
Memang banyak opini yang mengitari persoalan ini, salah satunya adalah tulisan ustadz Irham Sya’roni. Bahkan, ada salah seorang Dosen Swasta di Aceh ketika diwawancarai oleh salah satu TV Swasta berpendapat bahwa lahirnya aliran-aliran sempalan merupakan bagian dari skenario politik kalangan tertentu yang biasanya dilakukan mendekati suksesi nasional (Pemilu).

Namun, penulis mencatat besar persoalan kaum muda dalam konteks merebaknya aliran-aliran yang dianggap sesat tersebut. Pertama, seiring merebaknya wacana kepemimpinan kaum muda dalam kancah perpolitikan nasional akhir-akhir ini, tidak bisa menutup mata bahwa merekalah yang nantinya menjadi generasi penerus dan pengemban amanat bangsa kemudian. “Pemuda hari ini adalah orang (yang berperan) di hari esok”, demikian kata pepatah Arab. Sampai-sampai, begitu optimisnya kepada mereka, Moh. Hatta, salah seorang Proklamator RI, lebih kurangnya menegaskan, “Percayakan kepada saya sepuluh orang pemuda, niscaya akan bisa mengguncangkan dunia”. Lalu, bagaimana bisa diharapkan apabila kebanyakan dari mereka justru terlibat ke dalam aliran-aliran sesat?

Kedua, fase muda adalah masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa, demikian menurut Psikologi. Karena itu, wajar kiranya bila pada fase ini tidak sedikit yang mengalami disorientasi (kehilangan arah), begitupun dalam hal keberagamaan, sehingga mereka mudah terkelabui dengan hal-hal yang negatif. Fakta kebanyakan dari mereka yang menjadi korban Narkoba, HIV/AIDS, dan Aliran Sesat ini, sekaligus menjadi sasaran pencegahannya, adalah penjelasan dari semua hal ini. Karena itu, diperlukan “benteng” yang berfungsi mampu menangkal segala hal negatif dari diri mereka. Apakah “benteng” itu?

Ketiga, fakta di atas mengindikasikan adanya problematika sosial di kalangan kaum muda. Karena kasus-kasus di atas merupakan persoalan moralitas, maka tentu saja penanganan masalah berangkat dari pendekatan moral yang nota-bene menjadi tanggung jawab institusi atau tokoh yang berkecimpung di dunia pendidikan, terutama mulai dari pendidikan Islam. Ini yang ingin penulis soroti.


Sistem Pembelajaran Kaum Muda?
Hasil penelitian kecil-kecilan dan diskusi penulis dengan kawan-kawan yang concern pada studi al-Quran ditemukan sebuah kenyataan bahwa pembelajaran al-Quran yang berjalan di masyarakat relatif kurang – untuk tidak mengatakan “tidak” -- mengakomodir kepentingan kaum muda, terutama di luar lingkungan Pesantren (santri). Kelompok muda inilah yang seringkali menjadi korban aliran-aliran sempalan, yang secara implisit dikategorikan Kuntowijoyo sebagai “muslim tanpa masjid” (Kuntowijoyo, 2001).

Sejauh ini yang sangat efektif berjalan adalah Taman Pendidikan Alquran (TPA) untuk level anak-anak sampai tingkat SD. Model pendidikan seperti ini sebenarnya merupakan “daur ulang” dari Madrasah Diniyah (Sekolah Agama), yang sudah lama berkembang di kampung-kampung dan biasanya berjalan sore hari. Selain itu, Majlis Ta’lim yang tumbuh semarak di berbagai pelosok daerah. Model pembelajaran ini umumnya diperuntukkan bagi kalangan dewasa dan itupun kebanyakan diminati ibu-ibu di sela-sela kesibukan rumah tangganya.

Lepas dari penilaian plus-minusnya, dua model pendidikan Islam tersebut sejauh ini setidaknya relatif mampu mengakomodir sekaligus mengarahkan orientasi keberagamaan di levelnya masing-masing, baik anak-anak maupun dewasa. TPA dengan keunggulan metode Iqra’-nya mampu menjadikan siswanya “melek huruf Arab” hingga mampu menghafal ayat-ayat al-Quran dengan baik, seraya diberikan pemahaman tentang Akhlak, Aqidah (keimanan), dan ibadah Syari’ah secara mendasar. Adapun Majlis Ta’lim dengan kekuatan komunitasnya telah mampu menjadi wadah pengembangan wawasan keagamaan yang lebih luas, bahkan pada tingkat tertentu telah memberikan warna tersendiri bagi dinamika sosial masyarakatnya.

Nah, sampai di sini muncul persoalan, bagaimana dengan kaum muda? Penulis semakin menyadari, sepertinya terjadi kekosongan sistemik dalam struktur sistem pendidikan Islam. Belum ada model pembelajaran apapun yang sistemik dan terorganisir dengan baik yang mampu memuaskan dahaga keberagamaan mereka di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, pada tingkat tertentu bisa dimaklumi bila mereka diidentikkan dengan “Anak Tongkrongan” yang seringkali kumpul-kumpul menghabiskan waktu bersama jauh dari manfaat, atau terjerumus dalam trend-budaya tertentu yang cenderung negatif dan tak terfilter dengan baik hingga menjadi kreasi yang kontra-produktif.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa banyaknya kaum muda yang menjadi korban aliran sesat dan anomali sosial lainnya, meminjam bahasa Yudi Latif (2001), merupakan dosa kita bersama yang harus dipikul kita bersama. Pekerjaan Rumah (PR)-nya, menciptakan institusi pendidikan atau metodologi pembelajaran khusus bagi mereka, semodel TPA dengan metode Iqra’-nya, tetapi yang berorientasi pada pemahaman al-Quran bukan lagi pada bacaan. Semakin dalam pemahaman mereka akan falsafah hidupnya sebagai muslim, maka semakin kuat benteng yang mereka miliki. Sehingga dengan itu, pengaruh-pengaruh dari luar bisa difilter dan diantisipasi sedini mungkin. Inilah barangkali apa yang diistilahkan sebagai sistem pendidikan Islam yang sustainable (berkelanjutan), dari semenjak kanak-kanak hingga dewasa. Harapannya, bukan hanya bisa mencetak generasi muslim yang kuat dan bermoral, tetapi juga semakin bisa merajut tatanan sosial yang lebih baik menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafûr.

Penulis:
EDI JUNAEDI, Alumni Tafsir-Hadis UIN Jakarta, Staf Pusat Studi al-Quran (PSQ).

0 comments: