Telah lumrah beredar sebuah keyakinan di masyarakat kita
bahwa rambut dan kuku wanita saat haid tidak boleh ada yang lepas, atau kalau
ada yang lepas maka 'wajib' di kumpulkan dan nantinya setelah haid selesai,
ikut dimandikan. Di sebagian masyarakat kita bahkan ada yang meyakini kalau
rambut yang rontok tersebut jika tidak dimandikan maka kelak di akhirat akan
menjadi api, ada juga yang mengatakan akan menjadi ulat.
Dari itu, banyak dari mereka yang mempunyai ihtiyath atau
kehati-hatian untuk tidak bersisir maupun keramas sampai seminggu, bahkan
lebih, tergantung hari haid yang dialami.
Hal ini tentunya bisa menimbulkan beberapa problem turunan,
seperti suami yang bisa saja tidak suka dengan bau rambut istri karena
berhari-hari tidak keramas, nantinya bisa bikin retak hubungan rumah tangga,
dan problem lainnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, "Apakah benar
ketentuannya demikian dalam syariat Islam?"
Dalam tulisan pendek ini, kami berusaha menyajikan hasil
penelitian kami terhadap permasalahan ini, yang mana kami klasifikasikan hasil
penelitian ini menjadi tiga bagian :
Pertama, pembahasan dalil landasan.
Kedua, komentar berbagai ulama' menanggapi dalil tersebut.
Ketiga, kesimpulan.
Sebelum ke pembahasan utama, kami akan mengulas sedikit
tentang judul yang kami tampilkan. Dalam judul tersebut kami hanya menyebutkan
rambut wanita haid. Judul tersebut hanya memandang kebanyakan pembahasan yang
terjadi. Secara aslinya pembahasan ini juga mencakup kuku, darah dan segala hal
yang ada di tubuh, bukan hanya rambut. Objek kajian ini juga bukan sebatas
wanita haid, karena yang jadi titik poin disini adalah 'hadats besar'.
1- Dalil Landasan
Imam Ghazali, dalam Ihya'nya menyatakan :
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه
جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه
بجنابتها. ¹
"Tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut,
memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau membuang sesuatu
dari badannya disaat dia sedang berjunub, karena seluruh bagian tubuhnya akan
dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dan
dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab junub yang ada pada rambut
tersebut.”
Keterangan ini ada dalam kitab Ihya' Ulumuddin pada
pembahasan Kitab Adab al-Nikah. Keterangan tersebut juga dikutip oleh banyak
ulama', baik ulama' turats maupun kontemporer, seperti tiga serangkai Syarh
Minhaj, yaitu Tuhfah Ibnu Hajar, Nihayah Imam Ramli, dan Mughni Khatib
Syarbini. Ulama' kontemporer yang menukil keterangan tersebut diantaranya
adalah ulama' besar Suriah yang bergelar Al-Suyuthi al-Tsani, Dr. Wahbah ibn
Musthofa al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh dan Syekh 'Athiyyah Shaqr
-ulama besar al-Azhar- dalam Mawsu'ah Ahsan al-Kalam Fi al-Fatawa Wa al-Ahkam.
Dalam Ihya'nya Imam Ghazali tidak menyebutkan dalil rujukan
atas statement tersebut. Dari penelusuran yang kami lakukan, ternyata Imam
Ghazali bertendensi dengan sebuah hadits cukup panjang tentang hilir-mudiknya
malaikat siang malam untuk mencatat orang-orang shalat, sebagaimana yang di
jelaskan al-Hafidz Ibn Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Barinya:
تَنْبِيهٌ اسْتَنْبَطَ مِنْهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ
أَنْ لَا يُفَارِقَ الشَّخْصُ شَيْئًا مِنْ أُمُورِهِ إِلَّا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ
كَشَعْرِهِ إِذَا حَلَقَهُ وَظُفْرِهِ إِذَا قَلَّمَهُ وَثَوْبِهِ إِذَا أَبْدَلَهُ
وَنَحْوِ ذَلِكَ. ²
"Sebagian ulama sufi (yakni Abu Thalib al-Makki dan
Imam Ghazali -pen*) mengambil dalil dari hadits ini bahwa seseorang disunnahkan
untuk tidak memisahkan sesuatu dari badannya kecuali ia dalam keadaan suci,
seperti memangkas rambut, memotong kuku, mengganti baju dan semisalnya."
2- Komentar-komentar Ulama' Menanggapi Dalil Landasan
Tersebut
Ihya' Imam Ghazali dengan segala kepopuleran yang
dimilikinya tentu memantik banyak respon dan tanggapan dari para ulama', baik
dari sisi hadits maupun lainnya, tak terkecuali satu statement yang kami kutip
dalam makalah ini.
Statement itu memberi banyak respon dari para ulama', yang
mana sekian statement tanggapan itu kembali kepada dua kelompok utama, yaitu
pihak yang sepakat dan yang tidak.
Kami tampilkan beberapa diantaranya :
[1] Komentar ulama' yang sepakat
1- Syekh Sa'id Ba'asyin:
وندب لنحو جنب: أن لا يزيل شيئا من بدنه إلا بعد الغسل؛ لأن الأجزاء
تعود إليه في الآخرة، فيعود جنباً؛ تبكيتاً له، ثم تزول عنه ما عدا الأجزاء الأصلية،
ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها. ³
"Disunahkan pada semisal orang junub untuk tidak
menanggalkan sesuatu dari badannya kecuali setelah mandi, karena seluruh
anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat kelak, maka hal itu akan
menjadi sebab dia junub, sebagai pencelaan terhadapnya, kemudian
anggota-anggota badan tadi akan hilang darinya kecuali anggota tubuh yang
pokok, dan dikatakan bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya sebab janabah
yang ada di rambut tersebut."
2- Ibnu Hajar al-Haitami :
وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ
وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ
بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا.⁴
"Dan orang yang memiliki hadats besar, sebelum mandi,
untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya, walaupun semisal darah.
Al-Ghazali berkata…"karena anggota tubuhnya tersebut akan kembali padanya
di akhirat kelak dalam keadaan junub, dan di katakan bahwa setiap rambut akan
menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."
Dari sekian ulama' yang sepakat dengan statement Imam
Ghazali, kami belum menemukan mereka menampilkan dalil landasan (al-Qur'an
ataupun Hadits) dari apa yang telah diungkapkan Imam Ghazali, hanya menukil
keterangan tersebut atau menyampaikannya dengan ungkapan lain yang senada, yang
tidak keluar dari maksud Imam Ghazali. Seperti juga ibarot Syekh Zainuddin
al-Malibari dalam Fath al-Mu'in:
وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك
يرد في الآخرة جنبا.⁵
"Dan seyogyanya sebelum mandi mereka tidak menanggalkan
rambut atau kuku, begitu juga darah. Karena itu akan di kembalikan diakhirat
dalam keadaan junub."
[2] Komentar ulama' yang tidak sepakat
1. Hasyiyah Syarwani dan juga mengutip dari Imam Sa'd dalam Syarh
'Aqa`id al-Nasafiyyah menyatakan :
(قَوْلُهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي
الْآخِرَةِ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ
الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ
الْمُعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ
إلَى آخِرِهِ ع ش. ⁶
"Pernyataan Mushonnif "anggota yang terlepas kelak
di akhirat akan kembali", ini didasari penilaian bahwa anggota yang kelak
kembali di akhirat bukan terkhusus anggota-anggota asli (pokok), dan dalam
permasalahan ini ada khilaf. Al-Sa'd di dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah
berkata "anggota yang kelak dikembalikan hanyalah anggota asli yang masih
tersisa dari awal umur hingga akhir hayat."
2. Imam Bujairami mengatakan :
عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ
إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ
وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قَلْيُوبِيٌّ.⁷
"Perlu dipertimbangkan kembali pendapat tersebut,
karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia
meninggal, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan
seluruh rambutnya." Keterangan ini mirip dengan yang diutarakan
al-Qulyubi.
3. Al-Madaabighi :
وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِيِّ قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ
أَيْ الْأَصْلِيَّةَ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ.⁸
"Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”.
Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda
semisal rambut dan kuku."
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqolani :
وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ
عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا.⁹
"Sesungguhnya setiap orang nantinya akan sesuai dengan
anggota tubuh saat ia meninggal. Kemudian ketika masuk surga maka mereka
menjadi tinggi-tinggi."
5. Fatwa Daar Al-Ifta' Al-Mishriyah :
لكن هذا الكلام لا دليل فيه على منع ذلك أثناء الجنابة، ولا فى مطالبة
الجز المفصول بجنابته يوم القيامة، وقد وُجِّه مثل هذا السؤال لابن تيمية كما قال السفارينى
فى كتابة " غذاء الألباب ج 1 ص 382 " فأجاب: قد ثبت عن النبى صلى الله عليه
وسلم أنه لما ذكر الجنب قال " إن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا " قال: وما
أعلم لكراهة إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا، بل قد قال النبى صلى الله عليه وسلم
للذى أسلم " ألق عنك شعر الكفر واختتن " فأمر الذى أسلم بذلك ولم بأمره بتأخير
الاختتان وإزالة الشعر حتى يغتسل، فإطلاق كلامه يقتضى جواز الأمرين، وكذلك تؤمر الحائض
بالامتشاط فى غسلها مع أن الامتشاط يذهب ببعض الشعر، فعلمنا عدم كراهة ذلك. وأن ما
يقال فيه مما ذكر لا أصل له. قال عطاء: يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم
يتوضأ، رواه البخارى. وعلى هنا فلا كراهة فى قص الشعر
والظفر أثناء الجنابة. ¹⁰
"Tidak ada dalil atas pelarangan melakukan hal-hal
tersebut (baik memotong kuku, rambut, keluar darah dan lainnya) di waktu Junub
(ataupun haid, dan hadats besar lainnya).
(Kemudian) tidak ada dalil juga tentang penjelasan pada hari
kiamat kelak anggota-anggota tubuh yang terlepas sebab Junub akan menuntut
seseorang.
Dan dalam penutupan akhir dari jawaban di perjelas
"dari keterangan ini, maka tidak ada kemakruhan (apalagi pengharaman)
dalam memotong rambut dan kuku ketika Junub (dan hadats besar lainnya)."
Kesimpulan
Masih terjadi selisih pendapat diantara ulama' akan hukum
menanggalkan sesuatu dari tubuh ketika hadats besar. Statement Imam Ghazali dan
dalil yang digunakan dipandang banyak ulama' tidak kuat untuk menyatakan
pelarangan melakukan hal itu. Apalagi sampai taraf pengharaman seperti yang
menjadi keyakinan sebagian masyarakat.
Kemudian, untuk kuku atau rambut yang sudah terlanjur di
potong atau rontok saat hadats besar, kami belum menemukan referensi yang
menyatakan itu wajib di mandikan. Bahkan dalam Nihayah al-Muhtaj Imam Ramli dan
juga Hawasyi al-Syarwani dengan tegas dikatakan bahwa bagian yang terlepas
sebelum mandi, junubnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.
الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ
جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ. ¹¹
"Bagian-bagian tubuh yang terlepas sebelum mandi wajib
maka janabahnya tidak bisa hilang dengan memandikannya."
Adapun keterangan NU Online yang menyatakan ada pendapat
wajib memandikan anggota yang terlepas saat haid yang berangkat dari ibarot
Imam Nawawi dalam Raudhoh yang mengutip keterangan Al-Bayan karya Al-Umroni,
hemat kami mereka salah paham.
Kami kutipkan keterangan NU online tersebut:
~~~~~~
Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok,
kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang
terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab
Raudlatut Thalibin mengatakan sebagai berikut.
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم
نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما
يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم
Artinya, “Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya
kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka
Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka
memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu
itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang
tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih.
Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama,
wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena,
telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang
berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi,
Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H,
juz 1, halaman 125).
~~~~~~
Keterangan terjemahan dalam kurung merupakan hasil pemahaman
yang di tangkap penulis, bukan menerjemahkan teks asli dari ibarot Roudhoh, dan
itu salah. Bukti kesalahannya kami tampilkan dari Al-Bayan karya Al-Umroni yang
menjadi rujukan Roudhoh.
ٍإذا غسل الجنب جميع بدنه إلا طرف شعره، فقطع ما بقي من الشعر ممّا
لم يغسله.. فقد اختلف أصحابنا المتأخرون فيها:
فمنهم من قال: يجب عليه غسل ما ظهر من الشعر بالقطع؛ لِقَوْلِهِ
تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43]
والقطع لا يسمى غسلا.
ومنهم من قال: لا يجب عليه شيء؛ لأنه زال ما وجب غسله، فهو كما لو
توضأ وترك رجله، ثم قطعت من فوق الكعب.. فإنه لا يجب عليه غسل ما ظهر بالقطع عن الحدث.
¹²
Disana dengan jelas disebutkan bahwa yang wajib dibasuh
bukanlah anggota yang terlepas tersebut, melainkan pegasan alias bagian rambut
yang nampak dari hasil pemotongan.
Kemudian, statement Imam Ghazali sendiri seperti yang
diutarakan al-Syarwani berangkat dari penilaian bahwa yang dikembalikan kelak
adalah semua anggota tubuh selama hidupnya, baik rambut yang di potong, kuku
ataupun lainnya. Dan ini merupakan pendapat lemah.
Shighot لا ينبغي sendiri seperti
tertera dalam statement Imam Ghazali bisa mengarah pada dua hukum, bisa makruh
bisa haram seperti keterangan dalam al-Tahdzib karya Imam al-Baghowy¹³. Tapi
dengan memandang berbagai komentar ulama', baik yang sepakat atau tidak, bisa
disimpulkan bahwa alur hukum yang paling tinggi hanya bertaraf makruh.
Untuk masyarakat yang meyakini bahwa rambut yang terlepas
dan kuku yang terlepas jika tidak di mandikan sewaktu bersuci nantinya akan
menjadi api atau ulat kami rasa tidak ada dalilnya. Yang mengatakan nantinya
akan kembali dalam keadaan hadats besar juga telah dijawab oleh para ulama.
Jadi, hukum memotong rambut, kuku, dan semisalnya ketika
junub, haid, dan hadats besar lainnya adalah antara makruh dan mubah. Tidak
sampai ke taraf haram.
Untuk hukum memandikan rambut yang terlepas sebelum mandi
wajib, maka tidak ada kewajiban atau kesunahan sama sekali. Kesunahannya adalah
dengan memendamnya.
Wallahu ta'ala a'lam.
Sedan, 10 Februari 2022
~~~~~
Catatan:
*Kami menafsiri "sebagian ulama' sufi" dalam
ibarot Fath al-Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar dengan Abu Thalib Al-Makki (w.
386 H) dan Imam Ghazali (450-505 H) karena setau kami pertama kali yang
istinbath demikian adalah Abu Thalib Al Makki dalam kitab Quut al-Quluub,
kemudian Imam Ghazali mengadopsi pemikiran tersebut dan beliau cantumkan dalam
karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin.
Kemudian kenapa kami memilih ibarot Imam Ghazali untuk di
tampilkan dalam dalil landasan, karena memang umumnya pembahasan masalah ini
merujuk pada Ihya' Imam Ghazali, dan yang dikutip oleh banyak ulama' dalam
kitab-kitabnya juga dari Ihya', bukan dari Quut al-Quluub Abu Thalib Al Makki.
~~~~~
Referensi:
[1] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` 'Ulum al-Diin,
(Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/51.
[2] Ibn Hajar al-'Asqolani, Fath al-Bari Syarh Sahih
al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/37.
[3] Sa'id Ba'asyin, Busyro al-Karim bi Syarh Masa'il
al-Ta'lim, (Jeddah: Daar al-Minhaj) 135.
[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj wa Hawasyi
al-Syarwani wa al-'Ubbadi (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[5] Zain al-Diin al-Malibari, Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrah
al-'Ain, (Beirut: Daar ibn Hazm) 69.
[6]'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh
al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah
al-Kubro) 1/284.
[7] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh
al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah
al-Kubro) 1/284.
[8] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh
al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah
al-Kubro) 1/284.
[9] Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Khatib,
(Beirut: Daar al-Fikr) 1/247.
[10] Majmu'ah min al-Mu`allifin, Fatawa Daar al-Ifta'
al-Mishriyyah, 8/418.
[11] Syams al-Diin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut:
Daar al-Fikr) 1/229.
[12] Al-Umroni, Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i,
(Jeddah: Dar Al-Minhaj), 1/263.
[13] al-Baghowy al-Syafi'i, al-Tahdzib fi Fiqh al-Imam
al-Syafi'i, (Beirut: Daar al-Kutub al-'Ilmiyyah) 1/65.
و"ينبغي" الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب
أخرى، ويحمل على أحدهما بالقرينة، وقد تستعمل للجواز والترجيح، و"لا ينبغي"
قد تكون للتحريم أو الكراهة أهـ تحفة بزيادة من النهاية.
~~~~~
*) Ditulis oleh Muhammad Syihabuddin Dimyathi. Tulisan ini
merupakan kutipan hasil karya ilmiah beliau untuk memenuhi tugas fan Insya'
kelas 3 Tsanawiy di Madrasah Ghazaliyyah Syafi'iyah (MGS) Pesantren Sarang.
2 comments:
Ulasan yang bagus, Keren, dan sangat bermanfaat. Selam, Mas.
artikelnya sangat bagus, sangat bermanfaat
Post a Comment