عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
Dari
Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr (ad-Dausi al-Yamani) radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku
perintahkan hendaklah kalian melaksanakannya semampu kalian. Sesungguhnya
kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya bertanya (yang
tidak berguna) dan menentang nabi-nabi mereka.’”
(HR.
Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Abu
Hurairah
Nama aslinya adalah Abdu
Syams (hambanya matahari). Setelah memeluk Islam, Rasulullah mengganti namanya
menjadi Abdurrahman (hambanya Tuhan yang Maha Pemurah). Karena gemar bermain
dengan seekor kucing dan memasukkannya ke dalam lengan bajunya, Rasulullah lalu
memanggilnya “Abu Hirr” atau “Abu Hurairah”, yang berarti “bapaknya kucing
kecil”.
Abu Hurairah menyatakan
memeluk Islam di hadapan Rasulullah sekira tiga atau empat tahun sebelum
Rasulullah wafat. Walaupun kebersamaannya dengan Rasulullah terbilang singkat, hadis-hadis
yang diriwayatkannya dan dihafalnya justru melampaui sahabat-sahabat yang lain.
Bahkan, ia tercatat sebagai periwayat hadis terbanyak (5374 hadis).
Setidaknya ada tiga alasan mengapa
Abu Hurairah terbanyak meriwayatkan hadis. Pertama, ia sangat bersemangat
mengejar ketertinggalan dengan cara terus-menerus mengikuti Rasulullah dan istiqamah
di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terkait hal ini Abu Hurairah pernah
berkata, “Sahabat-sahabatku Muhajirin sibuk berdagang di pasar, dan sahabat-sahabatku
Anshar sibuk di tanah pertanian. Sementara aku adalah seorang miskin yang
paling banyak menyertai majelis Rasulullah, maka aku selalu hadir saat yang
lain absen.”
Kedua, berkah doa Nabi. “Siapa yang
membentangkan kainnya (sorbannya) dan mengambil perkataan dariku lalu
menghimpunnya ke dalam dadanya, maka ia tidak akan pernah melupakan apa pun
yang didengarnya,” sabda Nabi. Abu Hurairah melakukannya. Sejak itulah ingatan
dan hafalannya menjadi sangat tajam. Tak ada satu pun hadis Nabi yang
terlupakannya.
Ketiga, sadar akan kewajiban untuk
menyampaikan semua hadis yang ia dapat dari Nabi. Kesadaran ini didorong oleh
adanya firman Allah Ta’ala Q.S. al-Baqarah [2]: 159-160.
Sababul Wurud
Sebab
turunnya (sababul wurud) hadis ini berkaitan dengan perintah Rasulullah kepada
para sahabat agar berhaji. Dalam khotbahnya beliau bersabda, “Wahai manusia,
sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” Lalu seseorang
bertanya kepada beliau, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau diam,
sampai orang tadi mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Rasulullah pun berkata,
“Seandainya aku menjawab iya, maka jadi wajib (setiap tahun pergi haji) dan
kalian tentu tidak akan sanggup. Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian.
Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan banyak bertanya
dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian,
kerjakanlah semampu kalian; dan jika aku melarang sesuatu kepada kalian maka
tinggalkanlah.” (HR. Muslim, no. 1337)
Jauhi Semua Larangan
Ada larangan yang menunjukkan haram dan ada
pula yang menunjukkan makruh. Larangan yang menunjukkan haram contohnya adalah berzina,
minum khamr, mencuri, dan membuka aurat di hadapan orang lain. Dalam hal ini
kita wajib menjauhi semua larangan tersebut.
Sementara larangan yang menunjukkan makruh,
misalnya, mengonsumsi makanan yang mengakibatkan aroma tidak sedap bagi orang
yang hendak menunaikan shalat berjamaah. Dalam hal ini kita disunnahkan tidak
melakukannya.
Segala hal yang haram memang harus kita jauhi.
Akan tetapi, terkadang kita dihadapkan pada kondisi yang memaksa untuk
melakukan perkara haram tersebut. Jika tidak melakukannya, nyawa kita bisa
terancam. Oleh karena itulah kita dibolehkan melakukan perkara haram tadi sekadar
untuk menyelamatkan nyawa.
Dalam Alquran disebutkan, yang artinya, “Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 173)
Berdasarkan ayat inilah kemudian muncul kaidah
fiqih:
اَلضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan
darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya dilarang/haram.”
الضَّرُوْرَةُ
تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Keadaan darurat itu diukur sesuai perlunya
saja.”
Mengacu pada ayat dan kaidah tersebut, seseorang
yang terpaksa membuka aurat di depan dokter, misalnya, tidak boleh membuka
aurat selain tempat yang sakit atau melebihi bagian yang diperlukan untuk
penanganan medis.
Laksanakan Perintah Sesuai Kemampuan
Ada dua jenis perintah,yaitu wajib dan sunnah. Perintah
wajib, misalnya, shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan berbakti
kepada kedua orang tua. Siapa pun yang meninggalkan perintah wajib ini maka
berdosa. Adapun perintah sunnah, misalnya, shalat sunnah rawatib (qabliyah dan
ba’diyah), puasa Senin dan Kamis, makan menggunakan tangan kanan, dan
sebagainya. Apabila perintah sunnah ini ditinggalkan maka tidak mengakibatkan
ia berdosa.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah juga
bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah… berilah mereka kemudahan dan jangan mempersulit
mereka.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 286)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu…”
(Q.S. at-Taghabun [64]: 16)
Dalam hal melaksanakan perintah, Rasulullah
memerintahkan kita agar melaksanakan sesuai dengan kemampuan kita ( مَا اسْتَطَعْتُمْ
). Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku untuk hal-hal yang bersifat larangan. Artinya, terhadap
semua larangan (yang haram), kita harus menjauhinya secara total. Bukan sesuai
kemampuan.
Sebab-Sebab Kehancuran Umat
Di antara hal yang menyebabkan kehancuran umat,
sebagaimana disebutkan Rasulullah dalam hadis di atas, adalah terlalu banyak
bertanya (berlebihan) dan menentang ajaran para nabi.
Mengapa Rasulullah melarang kita terlalu
banyak/berlebihan dalam bertanya? Karena terlalu banyak bertanya bisa
memberatkan dan mempersulit diri sendiri. Bahkan, bisa mendatangkan madharat.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (Q.S. al-Maidah [5]: 101)
Tidak berarti bahwa Allah dan Rasulullah
melarang kita bertanya. Pasalnya, ada pula perintah agar kita bertanya.
Misalnya, firman Allah Ta’ala, yang artinya “…Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. an-Nahl [16]:
43)
Dengan demikian, hukum bertanya dapat dibagi menjadi
dua.
1.
Pertanyaan yang justru diperintahkan oleh agama
Misalnya, bertanya tentang tata
cara berwudhu dan shalat bagi seseorang yang sudah baligh, bertanya tentang hukum
pernikahan dan segala hal yang berkaitan dengannya apabila hendak menikah, dan
sebagainya.
Dalam hal ini, kunci sukses
Ibnu Abbas dalam hal mencari ilmu patut kita tiru. Ketika ditanya rahasianya, Ibnu
Abbas menjawab, “Bi lisanin sa’ul wa qalbin ‘aqul; disebabkan lisan yang
suka bertanya dan hati yang berpikir.”
2.
Pertanyaan yang dilarang oleh agama
Di
antara bertanya yang dilarang adalah bertujuan untuk berdebat, mengolok-olok, merendahkan,
mempermainkan, atau mempermalukan orang lain. Pertanyaan yang bertujuan demikian
tentu haram dilakukan. Adapun jika tidak bertujuan demikian, namun akan mengakibatkan
diri terbebani dan kepayahan, maka makruh ditanyakan.
Bertanya yang baik adalah bertanya dengan
mengedepankan etika serta berniat menambah ilmu dan untuk diamalkan. Adapun
jalan selamat yang ditempuh oleh para sahabat dan salafush shalih (para
pendahulu yang saleh) adalah dengan sami’na wa atha’na, mendengar lalu
menaatinya.[]
0 comments:
Post a Comment