عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم
قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءُهُمْ
وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ )رواه البخاري ومسلم (
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi
bahwa tiada tuhan yang hak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan
hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali
dengan hak Islam. Adapun perhitungan mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Tokoh:
Ibnu Umar
Beliau adalah Abdullah bin
Umar bin Khattab. Ibnu Umar adalah saudara kandung Sayyidah Hafshah, istri
Rasulullah. Ibnu Umar tercatat sebagai salah seorang dari empat sahabat Nabi
yang digelari al-Abadillah al-Arba’ah (empat orang ahli ilmu dan pemberi
fatwa yang memiliki nama Abdullah). Keempat sahabat tersebut adalah: (1)
Abdullah bin Umar bin Khattab, (2) Abdullah bin Abbas, (3) Abdullah bin Amr bin
Ash, dan (4) Abdullah bin Zubair.
Ibnu Umar adalah orang kedua
yang meriwayatkan hadits paling banyak setelah Abu Hurairah (2630 hadits).
Beliau lahir satu atau dua tahun sebelum bi’tsatur Rasul. Pada tahun
72 H (pendapat lain: 74 H) beliau meninggal dunia.
Hadits yang Terzalimi
Membaca terjemahan hadits ini secara sekilas akan
membuat bulu kuduk kita berdiri. Istilah anak zaman now: “ngeri-ngeri
sedap”. Bagaimana tidak, terjemahan hadits tersebut seolah memerintahkan kita
agar memerangi dan atau membunuh siapa saja yang tidak mau memeluk agama Islam.
Ngeri, kan?
Pemahaman hadits seperti ini adalah keliru.
Bahkan, salah besar dan bisa berakibat fatal secara sosial. Tidak mengherankan
jika Syaikh Muhammad al-Ghazali (w. 1996), guru Syaikh Yusuf al-Qardhawy, menyebut
hadits ini sebagai hadits yang mazhlum (terzalimi). Untuk mengembalikan pesan
suci hadits tersebut sebagaimana mestinya, kita harus membabarnya melalui pemahaman
bahasa Arab yang baik dan sesuai dengan petunjuk Alquran.
Maksud
dari Perintah Memerangi Manusia
Tidak setiap kata an-nas berarti “seluruh/semua
manusia”. Bisa jadi berarti sebagian manusia, baik sebagian besar maupun
sebagian kecil. Bahkan, bisa jadi pula berarti satu orang saja. Bergantung kepada
konteksnya. Misalnya, kata an-nas pada Q.S. an-Nisa’ [4]: 54 yang
berarti satu orang saja, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula pemahaman terhadap hadits ke-8 ini,
Allah tidak memerintahkan Nabi Muhammad agar memerangi seluruh/semua manusia,
tetapi hanya sebagian kelompok manusia (orang-orang tertentu saja, dan bukan
semua manusia).
Lantas, siapakah manusia yang dimaksud?
Para ulama berbeda pendapat. Pertama, setiap
orang kafir, termasuk pula orang Islam yang tidak mau mendirikan shalat dan tidak
pula membayar zakat. Kedua, orang-orang musyrik sebagaimana riwayat lain
yang berbunyi: “Aku diperintahkan untuk membunuh orang-orang musyrik.” Ketiga,
orang-orang yang memerangi umat Islam. Kelompok ketiga ini menolak pendapat
kelompok pertama dan kedua. Menurut kelompok ketiga, memerangi orang-orang
musyrik maksudnya adalah memerangi mereka yang memerangi umat Islam. Bukan memerangi
semua orang musyrik, apalagi mereka yang berdamai dengan umat Islam.
Firman Allah Ta’ala, “Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” (QS. al-Baqarah [2]: 190)
Hal lain yang harus kita perhatikan adalah hadits
di atas (dan semua hadits sejenis) menggunakan redaksi an uqaatila, yang
berarti memerangi. Bukan an aqtula, yang bermakna membunuh. Kedua redaksi
tersebut menyimpan perbedaan arti yang signifikan. Apabila salah memahaminya,
bisa berakibat sangat fatal. Redaksi pertama merupakan bentuk pembelaan diri
umat Islam terhadap serangan pihak pihak lain atau kafir harbi (orang
kafir yang memerangi umat Islam). Adapun redaksi kedua memuat arti penyerangan sepihak,
yang bukan merupakan pembelaan diri atas serangan pihak lain.
Memahami hadits di atas secara keliru —sebagai
perintah untuk memerangi non-Muslim—sangat bertentangan dengan sekian banyak ayat
Alquran, hadits-hadits yang lain, serta fakta sejarah pada zaman Rasulillah. Sejarah
mencatat bahwa Rasulullah tidak pernah membunuh seorang musyrik pun hanya
karena ia adalah seorang musyrik.
4
Macam Orang Kafir
1.
Kafir Harbi, yaitu mereka yang memerangi kaum muslimin.
2.
Kafir Dzimmi, yaitu mereka yang memberikan jizyah (pajak/upeti)
kepada pemerintahan Islam.
3.
Kafir Mu’ahad, yaitu mereka yang terikat perjanjian damai dengan
pemerintahan Islam.
4.
Kafir Musta’man, yaitu mereka yang diberi
perlindungan keamanan oleh pemerintahan Islam atau seorang muslim.
Dari keempat macam tersebut, hanya macam
pertama (kafir harbi) yang berhak diperangi sesuai dengan hadits di
atas. Dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul
Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, disepakati bahwa non-muslim
dalam suatu negara-bangsa tidak dapat masuk dalam keempat kategori di atas,
sebab tidak memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana dijelaskan sejumlah
literatur fiqih. Para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir untuk
menyebut non-muslim dalam konteks bersosial dan bernegara, tetapi menggunakan muwathinun,
yang berarti warga negara.
Kemuliaan
Darah dan Harta Seorang Muslim
Siapa pun yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat,
ia ditetapkan sebagai pemeluk agama Islam. Atas dasar itulah darah dan hartanya
sangat dimuliakan. Orang tersebut tidak boleh dilukai dan dibunuh. Hartanya juga
tidak boleh dijarah, dicuri, atau dirampas.
Darah seorang muslim memang haram ditumpahkan.
Namun, apabila ia membunuh muslim lain secara sengaja, maka ia berhak di-qishash
(dibunuh juga), kecuali dimaafkan oleh ahli waris pihak terbunuh. Termasuk,
apabila melakukan perzinaan (muhshan) yang berakibat dihukum rajam
sampai meninggal. Inilah yang dimaksud Kanjeng Nabi dengan redaksi “…kecuali
dengan hak Islam.” Namun demikian, perlu kita ketahui, bahwa hak qishash
dan rajam ini hanya dimiliki oleh penguasa/pemerintah. Bukan dimiliki
oleh perorangan. Penguasa atau pemerintahlah yang berhak melakukan eksekusi
atas hukuman tersebut.
Kisah
Usamah bin Zaid
Rasulullah mengutus Usamah bin Zaid bin
Haritsah Radhiyallahu ‘anhuma dalam pasukan perang melawan orang-orang
kafir Bani Huraqah. Usamah bin Zaid menyerang pasukan kafir tersebut pada pagi hari
sampai akhirnya memenangi peperangan. Seorang Bani Huraqah terlihat berusaha melarikan
diri. Namun, Usamah bin Zaid dan seorang sahabat Anshar mengejarnya. Dalam
kondisi terdesak, sang kafir tersebut tiba-tiba mengucapkan Laa Ilaaha Illa
Allah (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Sahabat Anshar
menahan dirinya. Sementara Usamah justru menusuk orang tersebut dengan tombak
hingga tewas.
Peristiwa itu ternyata sampai ke telinga
Rasulullah. Beliau bertanya kepada Usamah, “Wahai Usamah, apakah engkau tetap
membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah?” Usamah
menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya sekadar untuk melindungi dirinya
(karena takut kepada senjata kami).” Rasulullah bersabda, “Mengapa engkau tidak
membelah dadanya sehingga engkau bisa mengetahui apakah hatinya mengucapkan Laa
Ilaaha Illa Allah karena ikhlas ataukah karena alasan lain?” Beliau
terus-menerus mengulang pertanyaan itu sehingga Usamah tertunduk merasa
bersalah besar.
Hadits ini merupakan hujjah atas kaidah
ushuliyah dan fiqhiyah:
نَحْنُ
نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَ اللّـهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ
“Kita
menghukumi hal-hal yang zahir, sedangkan Allah-lah yang menguasai masalah-masalah
batin.”
Kita menghukumi apa yang tampak, sedangkan
Allah menghukumi yang tersembunyi. Termasuk pula urusan hati, itu adalah
wilayah Allah. Dia-lah yang berhak dan mampu menilai isi hati kita yang
sesungguhnya.[]
0 comments:
Post a Comment