Sudah
semestinya kedatangan Ramadan kita sambut dengan suka cita dan kita isi bulan
suci itu dengan segala aktivitas yang bernilai ibadah. Pada bulan itulah
pintu-pintu surga dibuka, doa orang-orang yang berpuasa dikabulkan, dosa-dosa
yang telah lalu diampuni (dilebur hingga tandas), dan pahala puasa diberikan oleh
Allah dengan lipatan yang tiada terkira. Sayangnya, kemuliaan dan keutamaan
Ramadan ini tidak dimanafaatkan secara sungguh-sungguh oleh sebagian orang
sehingga jadilah mereka termasuk orang-orang merugi.
Siapakah
sajakah yang merugi pada bulan Ramadan?
1.
Orang yang tidak
berpuasa tanpa ada udzur syar’i.
Ada
dua kategori orang yang tidak berpuasa:
Pertama, orang yang (terpaksa) tidak
berpuasa karena ada udzur syar’i (alasan yang bisa diterima syariat). Apa saja
udzur syar’i itu? Yaitu: (1) orang yang sakit, (2) orang yang sedang dalam
perjalanan jauh (musafir), (3) orang yang tidak kuat lagi berpuasa karena berusia
renta, (4) wanita hamil, dan (5) wanita yang menyusui.
Kedua, orang yang tidak (mau)
berpuasa karena tidak ada udzur syar’i. Orang seperti ini enggan berpuasa dikarenakan
ndableg, ogah, atau malas. Terhadap orang seperti ini, para ulama
membagi hukum keislaman mereka ke dalam dua bagian.
a.
Tetap dihukumi
Islam jika dia tetap meyakini bahwa puasa Ramadan adalah wajib. Hanya saja, karena
kemalasannya dia tidak berpuasa. Jika meninggal, dia tetap diperlakukan sebagai
jenazah muslim; dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan.
b.
Dihukumi keluar
dari Islam jika dia tidak lagi meyakini kewajiban puasa Ramadan. Dengan angkuhnya
dia meyakini dan mengatakan bahwa puasa Ramadan itu tidak wajib. Jika meninggal,
dia tidak berhak diperlakukan sebagai jenazah muslim, tetapi jenazah nonmuslim.
2.
Orang yang tidak
memedulikan thalabul ilmi asy-syar’i (mencari ilmu syariat) yang
berkenaan dengan puasa. Sehingga mengakibatkan kejahilan dirinya terhadap
hal-hal yang membatalkan puasa. Tersebab itulah dia menjadi tidak sadar atau
tidak tahu manakala melakukan perkara yang membatalkan puasa.
Orang yang tidak tahu tentang hukum memang dima’fu
alias dimaafkan oleh Allah. Tetapi, jika ketidaktahuannya dikarenakan keengganannya
belajar maka tidak dimaafkan.
3.
Orang yang
berpuasa, tetapi tidak mendapatkan pahala alias tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Yang dia dapatkan hanyalah lapar dan dahaga. Secara fiqih puasanya memang sah,
tetapi sayang sekali lapar dan dahaganya itu tidak membuahkan pahala (tidak
diterima Allah Ta’ala). Bisa jadi karena puasanya tidak lillahi ta’ala. Bisa
jadi pula karena ucapan kotor, dusta, ghibah, namimah, sumpah
palsu, memandang dengan syahwat, dan perbuatan-perbuatan buruk lain yang
dilakukan saat berpuasa.
Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ
يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ -
رواه البخاري
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak
butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari: 1804)
4.
Orang yang berpuasa
dan sah puasanya juga mendapat pahala, tetapi dia tidak produktif dalam meraup pahala.
Ramadan semestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang produktif,
seperti bekerja mencari nafkah, mendaras Alquran, mengkaji kitab, beri’tikaf, bersedekah,
dan lain-lain. Bukan justru dihabiskan waktunya untuk mendengkur seharian. Jika
tidurnya orang yang berpuasa bernilai ibadah, maka aktivitas produktif dan
positifnya tentu jauh lebih bernilai ibadah.
Semoga
Allah memberi kelapangan dan kekuatan kepada kita untuk menyemarakkan Ramadan
ini dengan segala aktivitas yang produktif, positif, dan bernilai ibadah.
Aamiin...
0 comments:
Post a Comment