A.
PENDAHULUAN
Rumusan
fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk
menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik, dan
kebudayaan sudah jauh berbeda. Hukum (ijtihadi) sendiri terus berjalan dinamis sesuai
dengan ruang dan waktu, sebagaimana kaidah fikih tagayyur al-aḥkām bi
tagayyur al-azminah wa al-amkinah (perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan
tempat).[1] Dinamika permasalahan masyarakat
sebagai implikasi dari perkembangan zaman dan
perubahan tempat tersebut menuntut terjadinya dinamisasi metode
istinbāṭ hukum Islam agar
produk hukum yang dihasilkan bernilai etik, bijaksana,
maslahat, dan tidak rigid. Salah satu metode istinbāṭ yang patut dipertimbangkan
dan diperhatikan serius untuk mencapai tujuan itu adalah maqāṣid al-syarī’ah.[2] Di
sinilah maqāṣid
al-syarī’ah, sebagai alat untuk menggali tujuan dan hikmah penetapan hukum syara’, memiliki kedudukan sangat
penting dalam kajian ushul fiqih dan wacana hukum Islam. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa elastisitas syariah Islam sangat ditentukan oleh
seberapa serius maqāṣid
al-syarī’ah direalisasikan dalam menjawab dinamika permasalahan hukum Islam.
Maqāṣid al-syarī’ah dan pembaruan-pembaruannya
memiliki fase sejarah yang cukup panjang sejak zaman Nabi.[3] Fase pertama (abad ke-1 H), peristiwa
terkait dengan larangan shalat Ashar[4], kecuali di Bani Qurazhah,
pada masa Nabi
bisa diajukan sebagai salah satu sampel ijtihad berdasarkan maqāṣid.
Pada waktu itu, sahabat yang memahami hadis tersebut secara maqāṣidy melaksanakannya di tengah
perjalanan, bukan di Bani Quraizhah. Mereka menangkap instruksi Nabi tersebut secara
maqāṣidy
sebagai al-isrā’ (bergegas). Walaupun secara tekstual
apa yang mereka lakukan berpunggungan dengan makna lahiriah teks, tetapi hal
ini tidak ingkari oleh Nabi. Pasca
Rasulullah wafat, ijtihad-ijtihad yang berlandaskan kemaslahatan yang merupakan
pilar utama maqāṣid lebih marak lagi digalakkan, terlebih pada masa
Khalifah Umar ibn Khattab. Fase pertama
ini boleh jadi kita sebut sebagai “fase penyemaian maqāṣid al-syarī’ah”.
Fase berikutnya (abad ke-2 H) mulai muncul
kitab-kitab yang menyiratkan pemikiran maqāṣid
al-syarī’ah. Di antara tokoh
berpengaruh pada abad itu adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi’i,
al-Auza’i, dan lain-lain. Kemudian maqāṣid al-syarī’ah mengalami masa
keemasan pada abad ke-3 sampai abad ke-5 H. Menjelang akhir abad ke-3 lahir naskah
pertama yang secara tersurat menyebut kata maqāṣid sebagai judul naskah
tersebut, yaitu al-Ṣalaṣ wa Maqaāṣiduhā (Salat dan Tujuan-tujuannya)[5]. Naskah ini adalah karya al-Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H/908 M). Terkhusus
abad ke-5 H, teori maqāṣid mengalami perkembangan yang signifikan, dengan
al-Juwaini (w. 478 H)[6] dan
al-Gahazali (w. 505 H)[7]
sebagai tokohnya yang paling berpengaruh. Pada fase ini mulai diletakkan teori-teori dasar dan dasar-dasar universal (al-uṣūl
al-kulliyyah) maqāṣid secara ilmiah.
Pada abad ke-6 H maqāṣid al-syarī’ah mengalami
stagnansi cukup akut, sampai akhirnya menggeliat dan bangkit lagi pada abad
ke-7 sampai ke-8 H.[8] Kemudian di tangan
al-Syathibi (w. 790 H) maqāṣid al-syarī’ah mencapai puncak kematangannya
melalui kitabnya berjudul al-Muwāfaqāt
fī Uṣūl al-Syarī’ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas
Syariat.
Selewat masa al-Syathibi maqāṣid
al-syarī’ah mengalami kemandekan sampai akhirnya di era modern al-Muwāfaqāt
karya al-Syathibi kembali dicetak untuk pertama kali
di Tunisia (1301 H/1884 M). Di era inilah terjadi
dialektika intensif antara ulama-ulama modern dengan al-Muwāfaqāt
sehingga bermunculan tokoh-tokoh maqāṣid al-syarī’ah. Satu di antaranya adalah
Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur (w. 1393 H/1973 M) dengan karya monumentalnya Maqāṣid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Dialah yang kemudian dijuluki sebagai “Bapak Reformasi
Studi Maqāṣid” atau “Bapak Maqāṣid Kontemporer”.
Secara khusus makalah ini akan mengulik pandangan-pandangan
Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur tentang maqāṣid al-syarī’ah: bagaimana
dia mendefinisikan maqāṣid al-syarī’ah, apa urgensi maqshid dalam
kajian fikih, apa perbedaan pandangannya dari para pendahulu dalam maqāṣid
al-syarī’ah, serta metode apa yang digunakannya untuk mengetahui dan
menetapkan maqāṣid al-syarī’ah.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi
Singkat Ibnu ‘Asyur
Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Thahir (Thahir II)
ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Thahir (Thahir I)
ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Syadhili ibn al-‘Alim ‘Abd al-Qadir ibn Muhammad ibn ‘Asyur
(selanjutnya disebut Ibnu ‘Asyur). Lahir pada tahun 1296 H/1879 M di Tunisia, Afrika
Utara, dan meninggal di kota yang sama pada 3 Rajab 1393 H/ 12 Juni 1973 M.
Ayahnya bernama Muhammad ibn Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, seorang ulama yang
menguasai banyak disiplin ilmu.[9]
Memulai pendidikan tingkat dasar pada usia enam tahun, Ibnu ‘Asyur telah menghafal Alquran, lalu belajar bahasa Persia. Kemudian
dilanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang bahasa (nahwu) dan
kitab-kitab fikih mazhab Maliki.[10] Saat
berusia 14 tahun, Ibnu ‘Asyur melakoni pengembaraan intelektual di Universitas
Zaitunah, Tunisia.[11]
Pada tahun 1899 M, Ibnu ‘Asyur dipercaya mengajar di Universitas Zaitunah.
Selain itu, dia juga mengajar di Perguruan Tinggi Sadiqiyyah sejak tahun 1904 M.
Pada tahun 1932 M, Ibnu ‘Asyur ditetapkan sebagai Syaikh al-Islam al-Maliki di
Universitas Zaitunah sekaligus Rektor di universitas tersebut. Selain di bidang
pendidikan, Ibnu ‘Asyur juga berkarir di bidang peradilan, yang sejak 1911 M dia
bertugas menjadi Hakim, dan dua puluh dua tahun kemudian dia ditetapkan sebagai
mufti dalam mazhab Maliki.[12]
Ibnu ‘Asyur termasuk ilmuwan muslim prolifik (produktif dalam berkarya). Di antara karyanya adalah Tafsīr al-Taḥrīr
wa al-Tanwīr, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Uṣūl al-Niẓām
al-Ijtimā‘iy fī al-Islām, A Laysa al-Ṣubḥ bi Qarīb, al-Waqf wa Āṡāruh fī al-Islām, Kasyf
al-Mu‘thiy min al-Ma‘āniy wa al-Alfāẓ al-Waqī‘ah fī al-Muwaṭṭa’, al-Tawḍīh wa al-Tasḥīḥ
fī Uṣūl al-Fiqh, dan masih banyak lagi karya lainnya baik dalam bidang Islamic
studies, bahasa, sastra, maupun sejarah.[13]
2.
Pengertian Maqāṣid al-Syarī’ah
Kata Maqāṣid merupakan bentuk plural dari kata maqṣad, yang terbentuk dari kata qaṣada – yaqṣidu – qaṣdan
– wa maqṣad, yang secara etimologi berarti niat, maksud, atau tujuan.[14]
Menurut al-Yubi, kata maqṣad memiliki beberapa pengertian, di antaranya: (1) pegangan, mendatangkan
sesuatu; (2) jalan yang lurus; (3) keadilan, keseimbangan; (4) pecahan.[15] Adapun kata “al-syarī‘ah” berarti jalan menuju sumber air atau
sumber pokok kehidupan. Secara istilah, al-syarī‘ah mempunyai beberapa
pengertian, salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah
kepada hamba-Nya melalui Nabi Muhammad yang mencakup akidah, muamalah, dan
akhlak.[16] Sementara
secara terminologi (ma’nā iṣṭilāḥiy) terdapat beberapa pengertian yang
saling berdekatan maksudnya, yang semuanya bermuara kepada arti ‘maksud dan
tujuan di balik syariat demi kemaslahatan umat’. Beragam definisi yang diajukan para ahli ushul pada intinya berangkat dari satu titik yang sama, yaitu bahwa hukum itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
Merujuk kepada
literatur-literatur klasik, para ulama Ushul abad klasik tidak memberikan definisi Maqāṣid
al-Syarī‘ah secara komprehensif. Definisi maqāṣid al-syarī‘ah secara
komprehensif justru lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer,
seperti Ibnu ‘Asyur. Menurut Ibnu ‘Asyur, maqāṣid al-syarī’ah ialah:
المعاني والحكم
الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها، بحيث لاتختص ملاحظتها بالكون في
نوع خاص من أحكام الشريعة، فيدخل في هذا أوصاف الشريعة وغاياتها العامة والمعاني
التي لا يخلو االتشريع عن ملاحظتها.
“Makna-makna dan himah-hikmah yang menjadi pertimbangan Syari’ dalam segenap
atau sebagian besar pen-tasyri’-annya, yang pertimbangannya itu tidak
terbatas dalam satu jenis tertentu. Jadi, termasuk ke dalam maqāṣid adalah karakteristik
syari’ah, tujuan-tujuannya yang umum, serta makna-makna yang tidak mungkin
untuk tidak dipertimbangkan dalam pentasyri’an.”[17]
Ibnu ‘Asyur juga membagi
maqāṣid menjadi dua bagian: maqāṣid al-syarī’ah al-‘ammah dan maqāṣid
al-syarī’ah al-khāṣṣah. Maqāṣid al-syarī’ah al-‘āmmah adalah sasaran
dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara
umum, seperti melestarikan sebuah system yang bermanfaat, menjaga kemaslahatan,
menghindari kerusakan, merealisasikan persamaan hak antarmanusia, dan
melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Sedangkan
maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah adalah tujuan syariat yang khusus, yakni tentang
muamalat, yang di dalamnya mengupas berbagai
isu maqāṣid al-syarī’ah, misalnya maqāṣid al-syarī’ah hukum
keluarga, maqāṣid al-syarī’ah penggunaan harta, maqāṣid al-syarī’ah hukum
perundang-undangan dan kesaksian, dan sebagainya.[18]
3.
Maqāṣid al-Syarī’ah dalam Perspektif Ibnu
‘Asyur
Dalam pandangan Ibnu
‘Asyur, setiap syariat yang diturunkan da dititahkan Allah kepada manusia pastilah
tidak hampa dari tujuan dan hikmah mulia. Ia mendasarkan pandangannya ini kepada
sumber legalistik, firman Allah Swt, di antara surah al-Dukhān [44]: 38-39 “Dan
kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan
bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Gagasan tentang maqāṣid al-syarī’ah,
sebagai sebuah nilai, prinsip, dan paradigma telah dikenal sejak permulaan Islam.
Namun, secara konseptual, pemikiran tentang maqāṣid al-syarī’ah baru terkonstruksi
secara sistematis oleh al-Syathibi (w. 790 H) melalui bukunya al-Muwāfaqāt
fī Uṣūl al-Syarī’ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas
Syariat. Atas jasanya itulah al-Syathibi digelari sebagai Bapak Perumus maqāṣid al-syarī’ah Pertama. Melalui karyanya itu, al-Syathibi mengembangkan teori al-maqāṣid dengan melakukan tiga
transformasi penting.[19]
Pertama, transformasi al-maqāṣid dari sekadar al-maṣāliḥ
al-mursalaḥ (maslahat-maslahat lepas) ke uṣūl al-dīn wa qawā’id al-syarī’ah
wa kulliyāt al-millah (asas-asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan
pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam).
Kedua, transformasi al-maqāṣid dari ‘hikmah di balik
aturan’ kepada ‘dasar aturan’. Berdasarkan pemahaman ini al-Syathibi menarik
kesimpulan bahwa aturan mana pun yang dibuat atas nama syariat tidak dapat
melangkahi al-maqāṣid. Lebih lanjut ia
mengatakan, berdasarkan transformasi kedua ini, pengetahuan akan al-maqāṣid adalah syarat utama bagi
keahlian ijtihad pada segala tingkatan.
Ketiga, transformasi al-maqāṣid dari ‘ketidaktentuan’
menuju ‘keyakinan’; dari ẓanniy menuju qaṭ’iy. Yakni keyakinan
akan hasil proses induksi yang dilakukannya terhadap ayat-ayat Alquran untuk
menarik kesimpulan tentang al-maqāṣid.
Sementara Ibnu
‘Asyur, melalui bukunya Maqāṣid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, mengelaborasi al-maqāṣid lebih holistik lagi
dengan mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqāṣid al-syarī’ah-nya al-Syathibi. Bahkan, Ibnu ‘Asyur telah mengindependensikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karenanya, Ibnu ‘Asyur dijuluki “guru
kedua” (al-mu’allim al-ṡanī) setelah al-Syathibi sebagai “guru pertama”.[20] Ibnu
‘Asyur telah berhasil mengembangkan teori maqāṣid al-syarī’ah yang sebelumnya hanya
berkutat pada kajian kulliyah (teks-teks suci yang berkenaan dengan
pokok-pokok agama) dan juz’iyyah (teks-teks suci yang berkenaan dengan
detail-detail agama) menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan studi maqāṣid al-syarī’ah ke dalam maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah tentang muamalat yang
di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah, misalnya maqāṣid al-syarī’ah hukum keluarga, maqāṣid al-syarī’ah penggunaan harta, maqāṣid al-syarī’ah hukum perundang-undangan
dan kesaksian, dan sebagainya.[21]
Ada beberapa pandangan Ibnu ‘Asyur terkait maqāṣid
al-syarī’ah yang berbeda dari para pendahulunya.
Pertama, Ibnu ‘Asyur memandang penting terwujudnya independensi maqāṣid
al-syarī’ah sebagai sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Bagi Ibnu
‘Asyur, pembaruan
terhadap ilmu ushul fikih (tajdīd uṣūl al-fiqh) sangat penting
dilakukan. Namun, pembaruan tersebut berangkat dengan cara
melakukan pemilahan antara dalil-dalil yang qaṭ’iy (absolut) dengan
dalil-dalil yang ẓanniy (relatif); dan pengelompokan dalil-dalil
yang disepakati seluruh ulama dengan dalil-dalil yang mengandung perbedaan
pemahaman di kalangan ulama. Untuk mewujudkan hal ini, Ibnu ‘Asyur menilai perlunya maqāṣid al-syarī’ah dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu
tersendiri. Di sisi lain, beliau memandang bahwa ilmu ushul tetap dalam
kondisinya yang ada, sementara ilmu maqāṣid al-syarī’ah berperan
sebagai landasan filosofis dari proses penggalian hukum yang merupakan ranah
objek kajian ilmu ushul fikih.[22]
Bahkan, menurut Ibnu
‘Asyur, ushul fikih harus ditinggalkan karena hanya akan mengakibatkan
perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furū’ (fikih).[23] Statement ini menuai respon beragam
sehingga pro-kontra antara para sarjana kajian maqāṣid al-syarī’ah mengemuka dalam tiga bilah kelompok, kubu, atau golongan.
-
Kelompok pertama sepakat
dengan independensi maqāṣid al-syarī’ah sebagai
disiplin ilmu yang berpisah secara total dari
Ushul Fikih.
-
Kelompok kedua menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai kajian tengah antara Fikih dan Ushul
Fikih.
-
Kelompok ketiga menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai hasil perkembangan dari kajian Ushul
Fikih.[24]
Kedua, korelasi “al-fiṭrah” (naruli beragama),
“al-samāḥah” (toleransi), “al-musāwah” (egaliter), dan “al-ḥurriyah” (kemerdekaan
bertindak) dalam konteks maqāṣid al-syarī’ah.
Dalam pandangan Imam Ibnu ‘Asyur, sifat-sifat dasar yang dimiliki
oleh manusia itu sesungguhnya sejalan dengan maqāṣid al-syarī’ah. Dalam pandangannya, ada 4 hal yang
memperkuat maqāṣid al-syarī’ah, yaitu:
a.
Al-fiṭrah, artinya bahwa ajaran Islam atau syariat
Islam yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia sesungguhnya sangat
sesuai dengan karakter asasi manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Ibnu ‘Asyur, fitrah adalah sifat dasar manusia
(al-khilqah) dalam artian sebuah sistem tertentu (al-niẓām) yang telah Allah
swt tanamkan atau ciptakan pada setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang
terlihat) maupun batiniah (tidak terlihat). Ibnu‘ Asyur mendasari pandangannya ini dengan
firman Allah swt surat al-Rum ayat: 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”
Ibnu ‘Asyur membagi
fitrah ke dalam dua macam, yaitu “fiṭrah ‘aqliyyah” (akal jernih) dan “fiṭrah
nafsiyyah”. Dengan fitrah yang pertama, manusia bisa merasakan adanya zat
yang patut diimani serta menyadari urgensi aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan
manusia.[25] Sementara fitrah yang kedua adalah naluri dan
keinginan yang diciptakan Allah kepada manusia untuk memenuhi
keinginan-keinginan secara baik dan terarah. Contohnya, naluri atau fitrah ingin menikah, berinteraksi
dengan sesama, dan sebagainya.[26]
b.
Al-Samāḥah (toleransi). Dengan terjemahan yang lebih
bebas, al-Samāḥah dapat diartikan sebagai sikap saling menghargai. Ini adalah sifat yang berada antara perilaku
kelewat batas (al-ifrāṭ) dan perilaku terlalu menggampangkan sebuah
persoalan. Sikap toleransi ini menjadi pengikat tegaknya
makna al-fiṭrah. Selain itu, toleransi
merupakan karakter mendasar dari umat Muhammad dan menjadi bagian penting
dari sifat-sifat yang mulia karena di dalamnya terhimpun sifat-sifat lain, seperti adil dan proposional dalam bersikap.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surah al-Baqarah ayat 143,
وَكَذٰلِكَ
جَعَلناكُم أُمَّةً وَسَطًا
“dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang
adil”. Banyak lagi dalil al-Qur’an maupun sunnah yang menekankan toleransi ini.
c.
Al-Musāwah (egalitar). Islam memandang bahwa semua manusia di hadapan hukum-hukum syar’i
diberlakukan secara sama. Bagi Ibnu ‘Asyur, al-musāwah sangat penting diterapkan terutama terhadap lima prinsip dasar yang
menjadi tujuan syariat Islam (al-ḍarūriyyāt al-khamsah),
yaitu ḥifẓu al-dīn (menjaga agama), ḥifẓu al-nafs (menjaga jiwa),
ḥifẓu al-‘aql (menjaga akal), ḥifẓu al-nasl (menjaga keturunan), dan
ḥifẓu al-māl (menjaga harta). Dalam hal ini Ibnu ‘Asyur berpijak pada firman Allah surah al-Nisa ayat 135.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا كونوا قَوّامينَ بِالقِسطِ
شُهَداءَ لِلَّهِ وَلَو عَلىٰ أَنفُسِكُم أَوِ الوالِدَينِ وَالأَقرَبينَ ۚ إِن يَكُن غَنِيًّا أَو فَقيرًا فَاللَّهُ أَولىٰ بِهِما ۖ فَلا تَتَّبِعُوا الهَوىٰ أَن تَعدِلوا ۚ وَإِن تَلووا أَو تُعرِضوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما
تَعمَلونَ خَبيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia
kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
d.
Al-Ḥurriyah (kebebasan). Menurut Ibnu
‘Asyur, ketika seseorang diberlakukan sama secara hukum dari segala
bentuk perbuatannya maka di situlah ditemukan apa yang disebut dengan al-ḥurriyah
(kemerdekaan).[27] Dalam
bahasa Arab, al-ḥurriyah memiliki dua arti, (1) al-ḥurriyah sebagai
lawan dari perbudakan (al-‘ubūdiyah); (2) al-ḥurriyah yang
berarti seseorang melakukan suatu hal memang atas dasar pilihannya. Walaupun
tentunya kebebasan di dalam Islam tidaklah bersifat mutlak sebagaimana
didengung-dengungkan oleh kalangan Barat.[28]
4. Metode Ibnu ‘Asyur dalam Menetapkan Maqāṣid
al-Syarī’ah
Metode penetapan maqāṣid
al-syarī’ah, menurut Ibnu ‘Asyur, ada tiga.
a. Istiqrā’ (melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat). Langkah ini bisa
dalam dua bentuk.
Pertama, meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui illatnya
melalui prosedur masālik al-‘illah yang dikenal dalam ushul
fikih, untuk kemudian dicari hikmah dari hukum-hukum tersebut. Contoh, dilarang
meminang wanita makhṭūbah (sedang dalam pinangan orang lain), maka maqāṣid al-syarī’ah yang tampak dari kasus ini adalah demi menjaga kelangsungan ukhuwwah di
antara sesama muslim.
Kedua, dengan mengamati
dalil-dalil hukum yang mempunyai kesamaan ‘illah. Melalui cara ini, akan diketahui bahwa ‘illah itu merupakan tujuan
yang diinginkan Syāri‘. Contoh, ‘illah larangan menjual barang yang tidak berada
dalam genggaman (tidak dimiliki) penjualnya adalah supaya barang-barang
tersebut tetap tersedia di pasaran. Demikian juga larangan penimbunan barang
dimana ‘illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan sedikitnya stok barang
di pasar atau bahkan menghilangkannya dari peredaran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan stok
barang agar tetap beredar di pasar dan memudahkan orang untuk
mendapatkannya menjadi tujuan atau hikmah dalam hukum ini. Demikian pula
banyaknya perintah untuk memerdekakan budak menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya
dari hokum pemerdekaan budak itu adalah tercapainya kebebasan.
b. Menggunakan
dalil-dalil dari nash-nash syar’i yang mempunyai kejelasan dalālah (makna).
Dengan metode ini sehingga
kemungkinan adanya dalālah lain yang dipahami dari lahiriah ayat sangat
kecil. Kepastian maqāṣid al-syarī’ah yang
dihasilkan dengan cara ini dapat didasarkan pada dua pertimbangan penting.
Pertama, semua ayat Alquran bersifat qaṭ‘iy al-ṡubūt
karena semua lafalnya mutawatir. Kedua, karena dalālah-nya
yang bersifat ẓanniy, maka ketika
terdapat kejelasan dalālah yang menafikan kemungkinan-kemungkinan lain, menyebabkan nash tersebut
menjadi lebih kuat. Ketika keduanya terdapat dalam
suatu nash, maka nash tersebut bisa dijadikan maqāṣid al-syarī’ah yang digunakan untuk menyelesaikan
perselisihan antar fuqahā’. Contoh, firman Allah dalam surah al-Baqarah
ayat 183, yang artinya, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran
bagimu...” Ayat ini, di samping keberadaannya yang qaṭ’iy, juga
mempunyai dalālah yang jelas sehingga menunjukkan pada maqṣad (tujuan)
tertentu atau paling tidak mempunyai indikasi yang jelas ke arahnya.[29]
c.
Dengan menggunakan hadis-hadis mutawatir.
Cara ini terbatas
hanya pada dua keadaan.
Pertama, al-tawātur al-ma‘nawiy yang diperoleh dari pengamatan mayoritas
sahabat atas perbuatan Rasul. Dengan cara ini dihasilkan sebuah pemahaman
tentang maqāṣid al-syarī’ah-nya. Di antara
contohnya adalah pensyariatan sedekah jariyah yang sering disebut juga dengan al-habs. Contoh
lainnya, khutbah dua Hari Raya dilaksanakan setelah shalat, bukan sebelumnya.
Kedua, al-tawātur al-‘amaliy yang yang dihasilkan dari seorang atau beberapa sahabat
yang menyaksikan amalan Nabi Muhammad secara berulang-ulang, sekiranya dari
keseluruhan amal tersebut dapat diambil nilai universal yang dapat diplot
sebagai maqāṣid. Contoh, seperti hadits yang diriwayatkan al-Arzaq bin Qays bahwa pada
suatu waktu, sahabat Abu Barzah al-Aslami menghentikan shalat untuk mengejar
kudanya yang lepas dari ikatan. Beberapa sahabat yang lain mencela perbuatan Abu
Barzah. Namun, Abu Barzah tetap melakukannya dengan berargumentasi bahwa jarak
ke rumahnya masih sangat jauh. Kalau ia tidak
mengejar kudanya itu, maka untuk pulang ke rumahnya dia harus berjalan kaki
sampai tengah malam. Tentu itu sangat menyusahkannya.
Menurut Ibnu
‘Asyur, karena menyaksikan perbuatan Rasulullah berulang-ulang, Abu Barzah
dapat menyimpulkan bahwa di antara maqāṣid al-syarī’ah adalah member kemudahan.
Karenanya dia berpendapat bahwa menghentikan salat untuk mengejar kudanya yang
lepas lebih utama daripada melanjutkan salatnya. Kalau tidak menghentikan
salat, ia akan dihadapkan pada sebuah maṣaqqah (kesulitan), pulang
dengan berjalan kaki. Dalam pandangannya, ini adalah maqṣad (tujuan)
yang bersifat ẓanniy tetapi mendekati qaṭ‘iy.
C.
PENUTUP
Sebagai “guru kedua”
yang ditahbiskan pula sebagai “Bapak Reformasi Studi Maqāṣid” atau
“Bapak Maqāṣid Kontemporer”, Ibnu ‘Asyur memberikan
wakaf keilmuan yang sangat besar terhadap pengembangan maqāṣid al-syarī’ah. Dalam hal legalitas hukum al-maqāṣid,
Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa Allah sebagai sang
pemilik syariat (al-Syāri’) mustahil menitahkan syariat kepada manusia
tanpa memuat tujuan dan hikmah kebaikan. Pandangan ini dipijakkan pada ayat-ayat Alquran yang mengisyaratkan hal tersebut,
seperti QS. al-Dukhan: 38-39, al-Mu’minun: 115, al-Hadid: 25, dan Ali ‘Imran: 19.
Ibnu ‘Asyur membagi maqāṣid menjadi dua bagian, yakni maqāṣid al-syarī’ah al-‘ammah dan
maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah. Maqāṣid al-syarī’ah al-‘āmmah adalah
sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia
secara umum, sedang maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah adalah tujuan syariat
yang bersifat khusus, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid
al-syarī’ah, seperti maqāṣid al-syarī’ah hukum keluarga, maqāṣid al-syarī’ah
penggunaan harta, dan lain-lain. Pebagian itu merupakan keberhasilan Ibnu
‘Asyur dalam dengan mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqāṣid al-syarī’ah-nya
al-Syathibi.
Beberapa pandangan Ibnu ‘Asyur terkait maqāṣid
al-syarī’ah yang berbeda dari para pendahulunya adalah: (1) pentingnya
independensi maqāṣid al-syarī’ah sebagai sebuah disiplin ilmu
tersendiri; (2) rumusan tentang empat kerangka epistemologi al-maqāṣid, yaitu
al-fiṭrah (naruli beragama), al-samāḥah (toleransi), al-musāwah
(egaliter), dan al-ḥurriyah (kemerdekaan bertindak); (3) rumusan tentang
tiga metode penetapan maqāṣid al-syarī’ah, yaitu (1) istiqrā’
(pengamatan terhadap perilaku syariat); (2) menggunakan dalil-dalil dari
nash-nash syar’i yang mempunyai kejelasan dalālah (makna); dan (3)
dengan menggunakan hadis-hadis mutawatir, baik mutawatir maknawi maupun
mutawatir amali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim., 2003. Juz III,
I’lām al-Muwāqi’īn, Beirut: Maktabah al-‘Asriyah.
Effendi, Satria., 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana/Prenada Media Group.
Irfandi,
2014, “Maqashid Al-Syari’ah Menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur”, Makalah, Pekalongan:
PPs STAIN Pekalongan.
‘Audah,
Jāser., 2013, al-Maqāṣid untuk Pemula, Yogyakarta: Suka Press.
Husain, Muhammad., 2005, al-Tanẓir al-Maqāṣidy ‘inda al-Imām Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr fī Kitābih Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Aljazair: al-Jami‘ah Aljaza’ir.
http://www.nu.or.id/post/read/39591/belajar-di-universitas-az-zaituna-tunisia diakses pada 29 Oktober 2017, pukul 09.24 WIB.
al-Ghali, Balqasim., 1996, Syaikh al-Jamī‘
al-A‘ẓam Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr; Ḥayātuh wa Āṡāruh, Beirut: Dar Ibn
Hazm.
Munawwir, Ahmad Warson., 2002, Kamus al-Munawwir, cet. 25, Yogyakarta: Pustaka Progressif.
al-Yubi, Muhammad Sa‘d bin Ahmad bin Mas’ud., 1998,
Maqāṣid al-syarī’ah Islāmiyyah
wa ‘Alāqatuh bi al-Adillah al-Syar‘yyah, Saudi Arabia: Dar al-Hijrah, 1998.
Jumantoro,
Totok., Samsul Munir Amin., 2005, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet. I,
Jakarta: Amzah.
Thahir
ibn ‘Asyur, Muhammad., 2001, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Amman: Dar
al-Nafais.
Muhtamiroh,
Siti., November 2013, “Muhammad Thahir bin ‘Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid
al-Syari’ah”, Jurnal at-Taqaddum, Vol.
5, No. 2, UIN Walisongo Semarang.
Hafidz,
2007, Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam, (Dari Jurassic Park
Menuju Superioritas Ekonomi Islam), Yogyakarta: PPs. UIN Suka Yogyakarta.
‘Athiyah,
Jamal al-Din., 2003, Naḥwa Taf’īl Maqāṣid al-Syarī’ah, Damaskus:Dār
al-Fikr.
‘Izzuddin, Bin
Zaghibah., 1996, al-Maqāṣid al-’Āmmah li al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Kairo:
Dār al-Ṣafwah.
Versi pdf tulisan ini dipublikasikan dan bisa diunduh di https://dspace.uii.ac.id atau https://dspace.uii.ac.id/bitstream
[1] Kaidah serupa namun lebih luas
disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bahwa: tagayyur al-fatwā bi ḥasabi
tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-aḥwāl wa al-niyyāt wa al-‘awā’id (perubahan
fatwa dengan mempertimbangkan perubahan zaman, tempat, kondisi/keadan, niat, dan adat). Lihat Ibnu Qayyim
al-Jauziyah I’lām al-Muwāqi’īn, Juz III, (Beirut: Maktabah al-‘Asriyah,
2003), hlm 12
[2] Secara garis besar, metode istinbāṭ dapat dibagi menjadi tiga
bagian: (1) segi kebahasaan (semacam semantik dalam praktik penalaran fikih
terhadap teks-teks Alquran dan Sunnah), (2) segi maqāṣid (tujuan) al-syarī’ah, dan (3) segi penyelesaian
beberapa dalil yang bertentangan (ta’āruḍ dan tarjīḥ). Lihat Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana/Prenada
Media Group, 2005), hlm. 177.
[3] Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid
Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah dipresentasikan dalam
Kajian Ushul Fikih diselenggarakan oleh Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih Lembaga
Bahtsul Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU) pada
tanggal 20 Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir, dikutip Irfandi dalam
“Maqashid Al-Syari’ah Menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur”, Makalah (Pekalongan:
PPs STAIN Pekalongan, 2014).
[4] HR. al-Bukhari no. 4119. Dalam
riwayat Muslim no. 1770 disebutkan bahwa larangan tersebut berkaitan dengan
shalat Zuhur.
[5] Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk
Pemula, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 30.
[6] Al-Juwaini populer pula dengan nama
al-Imam al-Haramain, kesohor sebagai pencetus teori ‘kebutuhan publik’. Lihat
Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk Pemula…, hlm. 38. Nalar maqāṣidy al-Juwaini
dapat dibaca dalam buku karyanya berjudul al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh dan Giyā
al-Umam.
[7]
Al-Ghazali adalah murid al-Juwaini. Di tangan al-Ghazali muncullah “lima
jenjang keniscayaan” (al-ḍarūriyyāt al-khamsah), yaitu ḥifẓu al-dīn (menjaga
agama), ḥifẓu al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓu al-‘aql (menjaga
akal), ḥifẓu al-nasl (menjaga keturunan), dan ḥifẓu al-māl (menjaga
harta). Lebih lengkap pandangan al-Ghazali tentang hal ini bisa dibaca dalam bukunya al-Mustaṣfā.
[8] Di
antara tokoh abad ke-7 H
dan ke-8 H yang poppuler adalah Izzuddin bin Abdus Salam (w.660 H) dengan karyanya Maqāṣid al-Ṣalāh,
Maqāṣid al-Ṣawm, dan Qawā’id al-Aḥkām fīMaṣāliḥ al-Anām;
al-Qarafi (w. 684 H)
dengan karyanya berjudul al-Furūq; Ibnu Taimiyah (w. 728 H); Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (751 H); dan
al-Syathibi (w. 790 H).
[9] Muhammad
Husain, al-Tanẓir
al-Maqāṣidy ‘inda al-Imām Muḥammad
al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr fī Kitābih Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah,
(Aljazair: al-Jami‘ah Aljaza’ir, 2005), hlm. 24.
[10] Ibnu
‘Asyur memang bermazhab Maliki, selain karena banyak belajar kepada guru-guru
bermazhab Maliki, Ibnu ‘Asyur juga banyak menulis karya dengan berpedoman pada
usul fikih mazhab Maliki. Bahkan, pernah juga Ibnu ‘Asyur memangku jabatan
sebagai mufti dalam mazhab Maliki pada 1933 M.
[11] Universitas ini termasuk salah satu yang tertua di dunia. Berdiri sekira tahun 737 M/120 H. Salah satu ilmuwan kelas dunia yang lahir dari
universitas ini adalah Ibnu Khaldun (w. 808 H). Sumber http://www.nu.or.id/post/read/39591/belajar-di-universitas-az-zaituna-tunisia diakses
pada 29 Oktober 2017, pukul 09.24 WIB.
[12] Balqasim
al-Ghali, Syaikh al-Jamī‘ al-A‘ẓam Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr; Ḥayātuh wa Āṡāruh
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1996), hlm. 53.
[14] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir, cet. 25, (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
2002), hlm. 1123.
[15] Muhammad
Sa‘d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqāṣid al-syarī’ah Islāmiyyah wa ‘Alāqatuh bi al-Adillah al-Syar‘yyah, (Saudi
Arabia: Dar al-Hijrah, 1998), hlm. 25-28.
[16] Totok Jumantoro, dan Samsul Munir
Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet I (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 196.
[17] Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqāṣid
al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001), hal. 15.
[18] Siti Muhtamiroh, “Muhammad Thahir bin
‘Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid al-Syari’ah”, Jurnal at-Taqaddum, Vol. 5, No. 2,
(Novembr 2013), UIN Walisongo Semarang, hlm. 271-272.
[19] Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk
Pemula…, hlm. 46-48..
[20] Hafidz, Maqashid Syariah dalam
Ekonomi Islam, (Dari Jurassic Park Menuju Superioritas Ekonomi Islam).
(Yogyakarta: PPs. UIN Suka Yogyakarta, 2007), hlm. 4.
[21] Siti Muhtamiroh, “Muhammad Thahir bin
‘Asyur …, hlm. 270.
[29] Bin Zaghibah
‘Izzuddîn, al-Maqāṣid al-’Āmmah li al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, (Kairo: Dār
al-Ṣafwah, ,1996), hlm. 144
2 comments:
Ijin nyimak yai
Monggo, Pak. Sinambi ngopi :)
Post a Comment