Seorang
sahabat, redaktur buletin Aulawi (sebuah buletin Jumat yang terbit di Kudus,
Jawa Tengah), menghubungi saya pada 7 September 2017. Intinya dia meminta
saya membuat tulisan untuk diterbitkan di buletinnya. Karena tema yang aktual
hari itu adalah tahun hijriah, saya tawarkan tulisan berjudul Yang Terluputdari Hijrah Nabi. Tulisan ini semula saya tawarkan ke sebuah surat kabar di
Jogjakarta, tetapi ternyata tidak (layak) dimuat. Kalah oleh (tulisan) mereka
yang bergelar profesor, guru besar, dosen, atau sejenisnya. Sahabat saya
menyetujui judul yang saya tawarkan itu dengan sedikit pembenahan.
Singkat
cerita, saya lakukanlah proses perbaikan atas tulisan itu. Sore hari baru
kirimkan ke email sang Sahabat. “Tulisan sudah saya kirim lewat email, Sob,”
pesanku kepadanya via WA. Tidak lama kemudian dia meneleponku dan menyampaikan
permohonan maaf karena tulisan saya sebetulnya sudah ditunggu percetakan sejak
siang. Tetapi, karena tidak kunjung datang, akhirnya dia berinisiatif mencari
tulisan saya yang lain, yang terserak di internet. Diambillah tulisan saya
sepuluh tahun lalu di www.nu.or.id, yang saya sendiri sudah lupa dengan tulisan
itu, berjudul Ragam Tipe Manusia Haji. Setelah dilakukan sedikit penyesuaian,
diterbitkanlah tulisan itu di buletin Aulawi edisi ke-13 dan di http://santrimenara.com.
Anda bisa mengunduh versi pdf-nya di https://drive.google.com
Berikut
tulisan lengkapnya.
***
Di
masa lampau, seorang haji memang selalu menjadi cerminan pribadi yang istimewa.
Haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu
pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup baik lahir maupun
batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji,
secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.
Walaupun
secara substansial, haji tidaklah tepat dipandang lebih tinggi daripada
ibadah-ibadah lainnya. Namun secara potensial, haji bisa dinilai sebagai ibadah
tertinggi, dalam artian, pengalaman haji mampu membuka peluang untuk
mengantarkan seseorang kepada kesadaran ketuhanan sebagai puncak dari tujuan
hidup menjadi “ibaad al-rahman” (Q.S: Al-Furqan [25]: 63-77).
Konsep
“ibaad al-rahman” boleh kita istilahkan dengan mabrur, sebagaimana sabda
Nabi SAW, “Haji mabrur tiada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” Tak
satu pun jamaah calon haji yang tidak mengidamkan gelar itu. Meski Pemberian
gelar ini adalah otoritas dan hak prerogratif Tuhan. Namun, bukan berarti
manusia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merabanya. Secara konkrit,
haji mabrur dapat dicandra melalui perilaku Pak Haji atau Bu Hajjah sepulang ia
berhaji, apakah perbuatannya semakin baik, atau statis (tidak berubah), atau
justru kian buruk.
Secara
sederhana, haji mabrur dapat diartikan sebagai haji yang tidak sekadar memenuhi
rukun, kewajiban, dan sunnah-sunnah haji secara teknis fiqhiyah, namun lebih
dari itu berimplikasi juga pada peningkatan kualitas kesalehan baik individual
maupun sosial, vertikal maupun horisontal, ibadah mahdlah maupun ibadah
ijtima’yah, sekembali ke Tanah Air.
Dalam
konteks kekinian dan kedisinian, relakah kita menyematkan gelar haji (mabrur)
kepada beberapa orang yang berperilaku kontradiktif dengan nilai-nilai
ketuhanan (god mentality) dan ajaran haji yang telah ia lakukan?
Pasalnya, gelar haji yang disandang sama sekali belum berimplikasi positif
terhadap perilakunya. Banyak bukti yang bisa diajukan, di antaranya masih
banyak ditemukan pejabat yang bergelar haji terindikasi kasus kejahatan,
seperti korupsi, pengebirian hak-hak rakyat dan sebagainya.
Menyaksikan
fenomena masih kukuhnya mentalitas negatif para elit penguasa kita yang
notabene mayoritas bergelar haji, tampaknya ada yang perlu dikoreksi oleh para
calon haji. Bisa jadi harta yang mereka gunakan untuk berhaji adalah syubhat
(masih diragukan kehalalannya) atau bahkan terang haramnya. Misalnya, hasil
menindas, menipu, korupsi, atau praktik kolusi.
Kemungkinan
lain yang menjadi trigger factor (faktor pemicu) tetap suburnya perilaku
negatif adalah karena kesalahan niat dalam berhaji. Artinya, ibadah yang
dilakukan bukan karena mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah) yang
tersimpul dalam predikat haji mabrur.
Dalam
konteks inilah, setidaknya ada beberapa jenis tipikal haji yang bisa kita
cermati.
Pertama,
tipe haji wisata. Orang yang berhaji model ini cenderung beranggapan, tanah
suci adalah objek wisata layaknya Gunung Bromo, Pantai Sanur, Menara Eiffel,
Patung Liberty, Tembok Besar Cina, dan sebagainya. Tidak heran, yang dominan di
alam khayalnya adalah keindahan, kenyamanan, dan fantasi hiburan.
Selain
itu, yang mendesak di pikirannya ketika hendak kembali ke Tanah Air adalah
oleh-oleh apa yang akan dibawa, foto-foto seperti apa yang akan dipertontonkan
dan cerita-cerita dahsyat apa yang akan dikisahkan kepada sanak saudara serta
tetangga. Tipe ini kerap pula disebut oleh masyarakat Jawa sebagai “Haji
Mabur”. “Mabur” dalam bahasa Jawa berarti terbang, yaitu sekadar menikmati
terbang atau pelesiran dengan menaiki pesawat terbang.
Kedua,
tipe haji bisnis. Yakni, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Haji merupakan
urusan akhirat. Karenanya, penghayatannya harus lebih berorientasi kepada
kehidupan akhirat. Bagaimana bisa menghadap Allah secara ikhlas jika orientasi
untung rugi materi terselip di dalam hati.
Mereka
yang ditunjuk pemerintah sebagai petugas haji boleh juga kita kategorikan ke
dalam tipikal ini. Tugas mereka semestinya melayani urusan jemaah haji, bukan
malah mengambil kesempatan untuk berhaji. Akibatnya, banyak urusan jemaah haji
yang terabaikan dan terbengkalai karena sibuk dengan ‘ibadahnya’ sendiri.
Ketiga,
tipe haji politik. Yakni, haji yang lebih diorientasikan untuk meraih prestasi,
prestise, dan hegemoni politik. Karena, bagaimana pun, gelar haji mampu
mendongkrak status sosial seseorang. Target utama haji tipe ini adalah keterpikatan
kantung suara umat Islam terhadap sosok yang sengaja ia desain menjadi seolah
relijius. Biasanya, setelah ambisi politik tercapai, Pak Haji Politik ini akan
kembali seperti aslinya, yaitu korup, arogan, otoriter, menindas, dan
membiarkan massa pendukungnya tetap dalam belitan ekonomi, kebodohan, dan
sebagainya.
Keempat,
tipe haji mabrur. Tipe inilah yang dikehendaki Allah SWT. Indikasinya terlihat
dari adanya peningkatan ibadah baik ritual maupun sosial, vertikal maupun
horisontal, pasca berhaji.
Langkah
awal dalam menggapai haji mabrur adalah meluruskan motivasi (niat) dan
menanamkan keikhlasan serta ketawakkalannya semata-mata karena Allah SWT. Ciri
Haji Mabrur terlihat dari Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang keluar
melaksanakan haji, kemudian dia menjaga perkataannya dari hal-hal yang kotor
(rafats) dan tidak berbuat kefasikan, maka ia datang ke dunia ini seperti bayi
yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.” (HR. Bukhari)
Alangkah
ruginya kita melakukan amal ibadah haji dengan bersusah payah, mengerahkan
banyak pengorbanan fisik dan materi, namun kemabrurannya hilang karena
kesalahan motivasi atau niat, seperti riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri
sendiri), takabbur (sombong), dan sebagainya.
Untuk
itu, meluruskan niat dalam haji merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, tidak ada
salahnya bila kita belajar pada Abu Yazid al-Bistami, salah seorang tokoh sufi.
Abu Yazid pernah berujar, “Pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya
melihat rumah Tuhan; pada yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemilik-Nya;
dan pada perjalanan haji yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja.” Artinya,
niat haji hanyalah karena Tuhan semata.
Semoga
yang telah melaksanakan ibadah haji menjadi haji yang mabrur! Hajjan
mabruura, wa sa’yan masykuura, dzanban maghfuura, wa tijaratan lan tabuur.
2 comments:
Semoga semua orang yang telah melaksanakan ibadah haji telah memasang niat yang benar dan menyelesaikan ibadah haji dengan status haji yang mabrur. Aamiin ya Allah o:)
Aamiin, ya Rabbal 'aalamiin.
Post a Comment