ads
Friday, October 6, 2017

October 06, 2017
2

Seorang sahabat, redaktur buletin Aulawi (sebuah buletin Jumat yang terbit di Kudus, Jawa Tengah), menghubungi saya pada 7 September 2017. Intinya dia meminta saya membuat tulisan untuk diterbitkan di buletinnya. Karena tema yang aktual hari itu adalah tahun hijriah, saya tawarkan tulisan berjudul Yang Terluputdari Hijrah Nabi. Tulisan ini semula saya tawarkan ke sebuah surat kabar di Jogjakarta, tetapi ternyata tidak (layak) dimuat. Kalah oleh (tulisan) mereka yang bergelar profesor, guru besar, dosen, atau sejenisnya. Sahabat saya menyetujui judul yang saya tawarkan itu dengan sedikit pembenahan.
Singkat cerita, saya lakukanlah proses perbaikan atas tulisan itu. Sore hari baru kirimkan ke email sang Sahabat. “Tulisan sudah saya kirim lewat email, Sob,” pesanku kepadanya via WA. Tidak lama kemudian dia meneleponku dan menyampaikan permohonan maaf karena tulisan saya sebetulnya sudah ditunggu percetakan sejak siang. Tetapi, karena tidak kunjung datang, akhirnya dia berinisiatif mencari tulisan saya yang lain, yang terserak di internet. Diambillah tulisan saya sepuluh tahun lalu di www.nu.or.id, yang saya sendiri sudah lupa dengan tulisan itu, berjudul Ragam Tipe Manusia Haji. Setelah dilakukan sedikit penyesuaian, diterbitkanlah tulisan itu di buletin Aulawi edisi ke-13 dan di http://santrimenara.com. Anda bisa mengunduh versi pdf-nya di https://drive.google.com
Berikut tulisan lengkapnya.
***

Di masa lampau, seorang haji memang selalu menjadi cerminan pribadi yang istimewa. Haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup baik lahir maupun batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji, secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.
Walaupun secara substansial, haji tidaklah tepat dipandang lebih tinggi daripada ibadah-ibadah lainnya. Namun secara potensial, haji bisa dinilai sebagai ibadah tertinggi, dalam artian, pengalaman haji mampu membuka peluang untuk mengantarkan seseorang kepada kesadaran ketuhanan sebagai puncak dari tujuan hidup menjadi “ibaad al-rahman” (Q.S: Al-Furqan [25]: 63-77).
Konsep “ibaad al-rahman” boleh kita istilahkan dengan mabrur, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Haji mabrur tiada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” Tak satu pun jamaah calon haji yang tidak mengidamkan gelar itu. Meski Pemberian gelar ini adalah otoritas dan hak prerogratif Tuhan. Namun, bukan berarti manusia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merabanya. Secara konkrit, haji mabrur dapat dicandra melalui perilaku Pak Haji atau Bu Hajjah sepulang ia berhaji, apakah perbuatannya semakin baik, atau statis (tidak berubah), atau justru kian buruk.
Secara sederhana, haji mabrur dapat diartikan sebagai haji yang tidak sekadar memenuhi rukun, kewajiban, dan sunnah-sunnah haji secara teknis fiqhiyah, namun lebih dari itu berimplikasi juga pada peningkatan kualitas kesalehan baik individual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, ibadah mahdlah maupun ibadah ijtima’yah, sekembali ke Tanah Air.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, relakah kita menyematkan gelar haji (mabrur) kepada beberapa orang yang berperilaku kontradiktif dengan nilai-nilai ketuhanan (god mentality) dan ajaran haji yang telah ia lakukan? Pasalnya, gelar haji yang disandang sama sekali belum berimplikasi positif terhadap perilakunya. Banyak bukti yang bisa diajukan, di antaranya masih banyak ditemukan pejabat yang bergelar haji terindikasi kasus kejahatan, seperti korupsi, pengebirian hak-hak rakyat dan sebagainya.
Menyaksikan fenomena masih kukuhnya mentalitas negatif para elit penguasa kita yang notabene mayoritas bergelar haji, tampaknya ada yang perlu dikoreksi oleh para calon haji. Bisa jadi harta yang mereka gunakan untuk berhaji adalah syubhat (masih diragukan kehalalannya) atau bahkan terang haramnya. Misalnya, hasil menindas, menipu, korupsi, atau praktik kolusi.
Kemungkinan lain yang menjadi trigger factor (faktor pemicu) tetap suburnya perilaku negatif adalah karena kesalahan niat dalam berhaji. Artinya, ibadah yang dilakukan bukan karena mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah) yang tersimpul dalam predikat haji mabrur.
Dalam konteks inilah, setidaknya ada beberapa jenis tipikal haji yang bisa kita cermati.
Pertama, tipe haji wisata. Orang yang berhaji model ini cenderung beranggapan, tanah suci adalah objek wisata layaknya Gunung Bromo, Pantai Sanur, Menara Eiffel, Patung Liberty, Tembok Besar Cina, dan sebagainya. Tidak heran, yang dominan di alam khayalnya adalah keindahan, kenyamanan, dan fantasi hiburan.
Selain itu, yang mendesak di pikirannya ketika hendak kembali ke Tanah Air adalah oleh-oleh apa yang akan dibawa, foto-foto seperti apa yang akan dipertontonkan dan cerita-cerita dahsyat apa yang akan dikisahkan kepada sanak saudara serta tetangga. Tipe ini kerap pula disebut oleh masyarakat Jawa sebagai “Haji Mabur”. “Mabur” dalam bahasa Jawa berarti terbang, yaitu sekadar menikmati terbang atau pelesiran dengan menaiki pesawat terbang.
Kedua, tipe haji bisnis. Yakni, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Haji merupakan urusan akhirat. Karenanya, penghayatannya harus lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat. Bagaimana bisa menghadap Allah secara ikhlas jika orientasi untung rugi materi terselip di dalam hati.
Mereka yang ditunjuk pemerintah sebagai petugas haji boleh juga kita kategorikan ke dalam tipikal ini. Tugas mereka semestinya melayani urusan jemaah haji, bukan malah mengambil kesempatan untuk berhaji. Akibatnya, banyak urusan jemaah haji yang terabaikan dan terbengkalai karena sibuk dengan ‘ibadahnya’ sendiri.
Ketiga, tipe haji politik. Yakni, haji yang lebih diorientasikan untuk meraih prestasi, prestise, dan hegemoni politik. Karena, bagaimana pun, gelar haji mampu mendongkrak status sosial seseorang. Target utama haji tipe ini adalah keterpikatan kantung suara umat Islam terhadap sosok yang sengaja ia desain menjadi seolah relijius. Biasanya, setelah ambisi politik tercapai, Pak Haji Politik ini akan kembali seperti aslinya, yaitu korup, arogan, otoriter, menindas, dan membiarkan massa pendukungnya tetap dalam belitan ekonomi, kebodohan, dan sebagainya.
Keempat, tipe haji mabrur. Tipe inilah yang dikehendaki Allah SWT. Indikasinya terlihat dari adanya peningkatan ibadah baik ritual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, pasca berhaji.
Langkah awal dalam menggapai haji mabrur adalah meluruskan motivasi (niat) dan menanamkan keikhlasan serta ketawakkalannya semata-mata karena Allah SWT. Ciri Haji Mabrur terlihat dari Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang keluar melaksanakan haji, kemudian dia menjaga perkataannya dari hal-hal yang kotor (rafats) dan tidak berbuat kefasikan, maka ia datang ke dunia ini seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.” (HR. Bukhari)
Alangkah ruginya kita melakukan amal ibadah haji dengan bersusah payah, mengerahkan banyak pengorbanan fisik dan materi, namun kemabrurannya hilang karena kesalahan motivasi atau niat, seperti riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri sendiri), takabbur (sombong), dan sebagainya.
Untuk itu, meluruskan niat dalam haji merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, tidak ada salahnya bila kita belajar pada Abu Yazid al-Bistami, salah seorang tokoh sufi. Abu Yazid pernah berujar, “Pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan; pada yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemilik-Nya; dan pada perjalanan haji yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja.” Artinya, niat haji hanyalah karena Tuhan semata.

Semoga yang telah melaksanakan ibadah haji menjadi haji yang mabrur! Hajjan mabruura, wa sa’yan masykuura, dzanban maghfuura, wa tijaratan lan tabuur.

2 comments:

Bayu Fajar Pratama said...

Semoga semua orang yang telah melaksanakan ibadah haji telah memasang niat yang benar dan menyelesaikan ibadah haji dengan status haji yang mabrur. Aamiin ya Allah o:)

Irham Sya'roni said...

Aamiin, ya Rabbal 'aalamiin.