Musibah dan bencana bisa
terjadi kapan saja. Sekarang, esok, atau lusa. Pun yang terjadi pada Sabtu, 27
Mei sepuluh tahun lalu. Sekira pukul 05.54 WIB, saat kebanyakan orang memulai aktivitas pagi; memasak di
dapur, merawat tanaman di sawah, berikhtiar ke pasar, dan bersiap ke kantor maupun
sekolah. Tiba-tiba, guncangan hebat berkekuatan 5,9 skala richter menghentak hebat
memecah hening. Rumah-rumah roboh. Korban berjatuhan. Ribuan nyawa pun tak
terselamatkan. Semua terjadi hanya dalam hitungan detik. Tidak sampai 1 menit.
Mengenang kembali kisah
pilu sepuluh tahun lalu, membawa kita pada sebuah refleksi bahwa Tuhan sungguh
Mahakuasa atas segala ciptaan-Nya. Bagi-Nya, dunia kosmos hanyalah debu kecil
yang mudah dihancurkan kapan saja sesuai kehendak-Nya.
Semoga tragedi 27 Mei
menjadi pelajaran berharga bagi kita agar selalu menjalin kemesraan dengan Sang
Pencipta, sebagaimana titah Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Musibah Membawa
Berkah
Saat peristiwa dahsyat
itu terjadi, saya berada di Pondok Pesantren Terpadu Darul-Hikmah, Purwobinangun,
Pakem, Sleman, Yogyakarta. Sudah 3 tahun saya di pesantren di kaki Gunung
Merapi itu. Sejak 2003 saya berkhidmah di sana sebagai staf pengajar.
Saat peristiwa itu terjadi,
kami mengira Gunung Merapi meletus. Kebetulan saat itu Gunung Merapi memang sedang
kurang bersahabat. Beberapa kali gunung itu mengeluarkan gemuruh keras bak
dentuman meriam. Sesekali memuntahkan material dan membumbungkan asap tebal.
Dugaan kami ternyata
salah. Bukan Gunung Merapi yang murka, melainkan bumi Projotamansari (Bantul) yang
sedang diguncang gempa. Saat itu Bantul terbilang daerah yang paling parah
terkena efek gempa. Hari itu juga saya dan beberapa teman segera meluncur ke Bantul
untuk menjadi relawan. Target aksi saya dan teman-teman adalah Dusun Ngeblak,
Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak. Mengapa di situ? Karena di situlah, teman
kuliah saya sekaligus belahan jiwa saya tinggal. J
Sepanjang jalan kami saksikan
banyak bangunan yang sudah rata dengan tanah. Hilir mudik manusia tampak
dicekam kepanikan. Banyak di antara mereka yang terluka. Apalagi saat kabar tsunami
tersiar, suasana jalan raya mendadak riuh tak terkendalikan. Mereka berlari ke
utara dan dataran tinggi, mencoba menyelamatkan diri. Padahal itu hanya isu. Ulah
buruk orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Saat malam tiba, saya
dan sebagian warga melakukan doa bersama memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.
Saat itu hujan mengguyur sangat lebat. Listrik pun padam. Beberapa kali gempa
susulan juga mengguncang. Walaupun demikian kami tetap khusyuk dan khidmat
berdoa bersama.
“Kata Ibu, bagaimana
kalau tidak hanya dilakukan istigahtsah atau doa bersama?” ucap Ulfah,
teman kuliah sekaligus belahan jiwa saya itu.
“Terus mau diisi acara apa
lagi selain berdoa?” tanyaku.
“Diisi akad nikah,”
sahut Ulfah diiringi tawa kecilnya yang indah.
Dia mungkin hanya
berkelakar atau iseng saja berbual. Tapi, aku menanggapi sebaliknya. Aku respon
“tantangan” itu dengan sungguh-sungguh. Serius. Bahkan, seribu rius! Hehe... Walaupun
secara agama sah-sah saja pernikahan tanpa wali dari pihak laki-laki. Tetapi,
pastilah tak elok jika malam itu saya mengikrarkan akad nikah tanpa
sepengetahuan kedua orang tua dan saudara-saudara saya.
Akhirnya, keseriusan
saya ditanggapi secara serius juga oleh kedua orang tuanya. Pagi hari, saya
bergegas pulang ke tanah lahir di Purwodadi untuk menyampaikan rencana pernikahan
itu kepada Bapak dan Ibu. Di luar dugaan, tanpa perlu mengeluarkan argumentasi
apa pun, Bapak dan Ibu langsung setuju. Tanpa lamaran dan tanpa
pertemuan antarcalon besan. Padahal saat itu kedua calon besan belum pernah bertemu dan mengenal. Semua dirembuk hanya melalui telepon dan SMS. Sampai
akhirnya disepakatilah tanggal 1 Juni 2006 sebagai hari sakral kami; ijab dan qabul.
Karena saat itu masih
suasana duka, kami tidak menggelar acara apa pun layaknya pernikahan-pernikahan
umumnya. Tak ada untaian bunga. Tak ada gaun pengantin. Tak ada deretan puluhan
atau bahkan ratusan kursi untuk tamu undangan. Juga tak ada resepsi dengan
segala kemeriahan pestanya. Hanya beberapa warga RT 05 Ngeblak yang menjadi
saksi atas ijab dan qabul saya. Tidak di panggung mewah, tetapi di mushalla kecil
yang dindangnya telah retak oleh gempa.
Kenangan tahun 1995 (kalau tidak salah). Berdiri dari kiri: Kakak pertama, saya, dan Kakak kedua. Duduk dari kiri: (alm) Bapak, Adik, dan Ibu. |
Tidak ada iring-iringan mobil layaknya pernikahan pada umumnya. Hanya Bapak, Ibu, Kakak-Kakak, dan Adik yang membersamai saya dalam satu mobil. Bahkan, adik saya sempat dibuat
terbelalak lalu tergelak saat kami menjemputnya di pesantren, tempat dia nyantri, di Jragung, Demak.
“Mau ada acara apa toh
ini?” tanyanya saat kami jemput.
“Aku mau nikah hari
ini,” jawabku.
“Serius?!” sahutnya
terbelalak.
Aku jawab, “Sejak kapan
kakakmu ini tak serius?”
“Hahaha... Unik...
Unik....! Benar-benar pernikahan yang unik!” ucapnya sambil tergelak.
Menjadi Relawan Abadi
“Bagaimana para saksi?
Sah?” ucap KH. Drs. Murtadlo, selaku wakil dari wali mempelai putri.
Semua yang hadir
serempak menjawab, “Saaaahhhh....!”
Alhamdulillah, sejak
hari itu saya resmi menjadi suami. Resmi menjadi relawan abadi hingga detik ini.
Tak ada honeymoon ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Pasca ijab qabul
semua kembali seperti sediakala. Membersihkan puing-puing bangunan. Melakukan perbaikan
rumah.
Foto lebaran tahun kemarin (2015). |
Ketika perkuliahan di kampus kembali aktif, kami pun kembali kuliah
seperti biasa. Bedanya, jika dulu kami berangkat sendiri-sendiri (saya dari Sleman, sedangkan dia dari Bantul), sejak menikah kami bisa berangkat dan pulang kuliah bersama. :-)
Status sebagai suami-istri tidak menghalangi kami untuk merampungkan kuliah. Bahkan, saat Istri melakoni masa kehamilan anak pertama (2009), dia tetap semangat menyelesaikan skripsi. Sampai akhirnya, pascamelahirkan anak pertama, dia resmi diwisuda sebagai sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I).
Status sebagai suami-istri tidak menghalangi kami untuk merampungkan kuliah. Bahkan, saat Istri melakoni masa kehamilan anak pertama (2009), dia tetap semangat menyelesaikan skripsi. Sampai akhirnya, pascamelahirkan anak pertama, dia resmi diwisuda sebagai sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I).
Alhamdulillah, terima
kasih, ya Allah!
Begitulah sepenggal kisah saya di balik gempa Jogja 10 tahun lalu.
-------------------------------
Anak Pertama: Muhammad Ar-Rusyda Babel Haqq
Anak Kedua: Anneswa Mahdeatul Haqq
-------------------------------
Anak Pertama: Muhammad Ar-Rusyda Babel Haqq
Anak Kedua: Anneswa Mahdeatul Haqq
22 comments:
10 ahun lalu ya mas ? mungkin pada saat itu saya masih berumur 8 tahun . jadi kurang tahu mas maklum masih bocah :) hhe
Iya, Mas. Tepat 10 tahun lalu. Saat itu saya baru berusia 26 tahun. Alhamdulillah, sampai sekarang masih muda. Gak kalah sama yang usia 18-an. Hehe.....
Wah, ijab qobulnya sesuatu banget, ya? :) Saat itu sepertinya saya masih 18 tahun.
Iya, Mbak, kenangan unik yang tak terlupakan. :)
Pernikahan yg unik ya om dan sangat mengesankan. kalo dirangkum bisa masuk on the spot om..hehe
klo 27 Mei 2006 itu saya msh kelas 6SD, om..hehe
saya jd ingat jg pda th.2006 itu om, pakcik saya menikah dan menemukan tautan hatinya tapi di th.2009 istrinya meninggal dlm keadaan hamil, sedih klo ingat itu saya sehari sebelum meninggal beliau jagain beliau selama bulan puasa krena pakcik kerja sift malam. :'(
Pasti tiap ultah pernikahan jadi kenangan banget ya mas
^_^
Turut berbela sungkawa, Hayy. Semoga istri Pakcik husnul khatimah, dan semua amal baiknya diterima oleh Allah Ta'ala. Aamiin...
Hehe... iya, Mbak. Kenangan unik dan indah. :)
Cieeh ternyata dibalik gempa Yogya ada kisah romantis juga ya mas :)
Semoga selalu samara dan tetap istiqomah ya, aamiin :)
Gempa Yogya memang sangat mengejutkan semua orang waktu itu, nggak ada yang nyangka dan korbannya banyak sekali. Tetapi cukup menjadi pelajaran berharga :)
Hehe...
Aamiin... terima kasih doanya, Mbak. Doa yang sama untuk Mbak Anjar.
Haha syukurlah kalau begitu mas :) kalau ada tanda-tanda penuaan jangan lupa mampir ke blog saya ya mas :) hhe
Wah, benar-benar moment yang tepat dalam memilih hari pernikahan, moga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah mas, sukses selalu dan tetaplah menjadi relawan abadi sampai sepanjang masa bagi umat.
Alhamdulillah, tanda-tanda yang muncul bukan penuaan, tapi peremajaan. Heheh
Terima kasih doanya, Mas.
Waw subhanallah..patut dicontoh keberanian dan niat baiknya! Tak ada yg harus ditakutkan dg ibadah yg nilainya setengah agama ini
Hal yang sering ditakutkan dan menghalangi seseorang segera menikah --biasanya-- soal kemapanan ekonomi. Alhamdulillah, janji Allah dalam surat An-Nur ayat 32 benar-benar nyata, ya, Mbak.
Waah pernikahannya unik dan pasti membekas sekali di hati. Salut sama mbanya, walau sedang mengandung tapi semangat untuk mengerjakan skripsi :) waktu gempa tahun 2006 itu saya masih kelas 7, usia 12 tahun. Kurang begitu ingat.
Iya, Mbak Gilang, sangat membekas di hati. :)
Status sudah menikah tidak boleh menghalangi kita untuk terus belajar, berprestasi, dan berkarya. Benar begitu, kan?
wah saya salut dengan istri mas yang tidak seperti perempuan sekarang harus tuntut ini itu sebelum menikah :)
kisah cinta yang romantis dan menggemparkan,hehe
jadi pengen nyusul nih
Ayooo, Mbak Debe, buruan nyusul. Nggak perlu menunggu sampai tanggal 30 Februari. :)
Saat awal-awal menikah, sempat degdegan juga bagaimana cari uang, Mbak. Tapi, alhamdulillah, Allah memberi jalan rezeki lewat menulis di koran. :) Dari menulis itulah Allah mengizinkan saya membiayai istri sampai rampung kuliah. Alhamdulillah...
Post a Comment