“Malam Jum’at, Suamiku,” jawab sang
istri. “Memangnya ada apa dengan malam Jum’at?” lanjutnya.
“Ah, masak kagak tahu. Sunnah rasul…
sunnah rasul…!” ucap sang suami sambil mengedip-kedipkan sebelah matanya. Padahal
si suami tidak sedang kelilipan lho. “Pahalanya buesar banget lho. Ada dalilnya
lho, istriku.”
Sang suami lalu menyebut
sepenggal kalimat yang menurutnya itu adalah dalil hadits Nabi. “Barangsiapa
melakukan hubungan suami isteri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya
sama dengan membunuh 100 Yahudi. Dalil lain menyebutkan sama dengan membunuh
1.000 atau 7.000 Yahudi.”
Demi membahagiakan suami, apalagi suaminya menyitir sebuah dalil, maka sang istri memenuhi keinginan suaminya untuk berhubungan badan pada
malam itu.
Malam Jum’at berikutnya, sang
suami kembali merajuk. Lagi-lagi demi membahagiakan suami, sang istri sejenak melupakan
kepenatannya setelah seharian bekerja. Ia ikuti langkah riang sang suami menuju
kamar tidur. Mereka kembali berhubungan badan, dan sang suami masih tetap
berkeyakinan bahwa yang ia lakukan adalah berdasar hadits Nabi di atas.
Begitu terus-menerus sang suami
mengukuhi “dalil” di atas. Setiap malam Jum’at pun sang suami selalu mengerlingkan
dan mengedipkan mata untuk meminta jatah spesial pada malam keramat. “Istriku,
ayo kita bunuh lagi 100 Yahudi!” ajak sang suami. Selelah apa pun, sang istri selalu
menuruti keinginan suaminya.
Suatu ketika, giliran sang
istri yang berhasrat sekali melakukan hubungan suami-istri. Tetapi, kali ini justru
suaminya yang tampak ogah-ogahan. Ia tidak lagi berdigdaya seperti malam-malam
sebelumnya. Tampaknya kali ini ia sangat amat kelelahan sekali. Tetapi, demi
“dalil” yang sering diajukan oleh suaminya, sang istri pun memberanikan diri
meminta “jatah malam sakral”.
“Suamiku, ayo dong kita bunuh lagi
100 Yahudi!” ucap sang istri menirukan kebiasaan suaminya.
Dengan lemah dan ogah-ogahan
sang suami menjawab, “Sudahlah, istriku, kita tidak usah berambisi lagi ‘membunuh
Yahudi’. Yahudinya sudah mati semua! Tidak ada lagi yang tersisa.”
Gubrakkkkkkksssss….!!!
***
Fragmen di atas hanyalah anekdot. Sekadar rekaan. Dari cerita tersebut, ada beberapa hal yang harus kita luruskan.
- Menyebut “sunnah rasul” sebagai pengganti dari penyebutan aktivitas biologis suami-istri merupakan kesalahan besar, bahkan bisa jadi merendahkan kemuliaan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh, serta akhlak sebagai tasyri’ (pensyariatan) bagi umat Islam. Jadi, terang sekali bahwa sunnah Rasul itu sangat amat banyak dan luas. Bukan sesempit arti seperti yang dipahami oleh sang suami dalam fragmen di atas. Tetapi, meliputi apa pun; shalat, puasa, dzikir dan doa, membaca shalawat, muamalah, akhlak, dan sebagainya. Nah, mulai sekarang jangan lagi kita menjadikan kata “sunnah rasul” sebagai olokan dengan menyempitkan artinya sebatas hubungan biologis ya. Demi kemuliaan sunnah Nabi Saw.
- “Barangsiapa melakukan hubungan suami isteri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.” Menurut penelitian Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, ini bukanlah hadits. Beliau tidak menjumpai satu pun kitab yang menulis hadits tersebut, baik di kumpulan hadits dha’if, apalagi di kitab-kitab hadits shahih. Simpulan beliau, ini hanyalah hadits maudhu’ (palsu) alias bukan hadits. Karenanya beliau mengimbau para ustadz agar tidak latah menjadikan ungkapan yang tidak jelas sumbernya tersebut sebagai dalil.
Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat
duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Mughirah
juga berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena
barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia
mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
4 comments:
terimakasih buat pencerahanya, saya jadi tahu skrg heheee
Betul2 Om, sangat parang kalok dalil disalah gunakan, terkesan sebagai bahan "guyonan" malah.... Makasih Om, jadi tahu kalau ternyata itu bukan Hadits.. :)
Terima kasih kembali, Mas.
Makasih kembali, Mas Eko. Eh, blognya skrg hijrah ke wordpress ya? :)
Post a Comment