Dalam Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah juz 21 hal. 522 disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berfatwa; mencuci daging
sembelihan itu bid’ah.
Kebanyakan pembaca
fatwa itu kaget, cuma masalah cuci mencuci daging saja kok bid’ah.
Sebagian menafsirinya sebagai bid’ah dalam konteks kebahasaan, sebagian
mencoba memahami dan menafsirkan fatwa bid’ah Ibnu Taimiyyah karena
merasa lebih kenal dengan beliau.
Terlepas dari itu semua, ada
fakta menarik yang perlu diketahui. Ternyata tak hanya mencuci daging
sembelihan saja yang beliau anggap bid’ah. Paling tidak ada 4 bid’ah
lain terkait cuci mencuci.
Beliau menuliskan itu pada juz 21
bab menghilangkan najis. Di awal-awal bab menghilangkan najis, beliau
hampir tak pernah menyinggung bid’ah, khusus pada term penyembelihan
hewan ini beliau mengungkapkan; ini bid’ah, ini menyelisihi sunnah, ini
tidak pernah dilakukan shahabat Nabi.
Keempat bid’ah itu adalah:
1. Mencuci tali kekang hewan: Bid’ah
2. Mencuci tangan dari bersalaman dengan tukang jagal: Waswas, menyelisihi sunnah dan Bid’ah
3. Mencuci daging sembelihan: Bid’ah
4. Mencuci pisau atau pedang yang untuk menyembelih: Bid’ah
1) Mencuci tali kekang hewan:
وغسل المقاود بدعة لم ينقل ذلك عن الصحابة رضوان الله عليهم بل كانوا يركبونها
“Mencuci tali kekang hewan adalah bid’ah dan tidak pernah ada riwayat
dari shahabat Nabi (bahwa mereka mencucinya: pent.) bahkan meraka
menaikinya (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, hal. 21/521)
2) Mencuci tangan dari bersalaman dengan tukang jagal
وثوب القصَّاب وبدنه محكوم بطهارته، وإن كان عليه دسم، وغسل اليدين من ذلك وسوسة وبدعة
“Pakaian tukang jagal dan tubuhnya itu suci hukumnya, walaupun ada
lemak yang menempel, mencuci tangan darinya adalah waswas dan bid’ah”
(Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, hal. 21/521)
وغسل يده من مصافحة القصَّاب أو الطواف وسوسة وتنطع مخالف للسنة
“Mencuci tangan selepas berjabat tangan dengan tukang jagal atau
pelayannya adalah waswas, melebih-lebihkan dan menyelisihi sunnah” (Ibnu
Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, hal. 21/522)
3) Mencuci daging hewan sembelihan
أكل الشوى والشريح جائز سواء غسل اللحم أو لم يغسل، بل غسل لحم الذبيحة
بدعة، فما زال الصحابة رضي الله عنهم على عهد النبي صلى الله عليه وسلم
يأخذون اللحم فيطبخونه ويأكلونه بغير غسله، وكانوا يرون الدم في القدر
خطوطًا، وذلك أن الله إنما حرم عليهم الدم المسفوح أى المصبوب المهراق،
فأما ما يبقى في العروق فلم يحرمه
“Makan daging panggang dan
sepotong daging itu boleh, baik dicuci dahulu dagingnya atau tidak.
Bahkan mencuci daging sembelihan itu bid’ah” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, hal. 21/522)
4) Mencuci pisau dan pedang yang untuk menyembelih hewan
وسكين القصَّاب يذبح بها ويسلخ، فلا تحتاج إلى غسل، فإن غسل السكاكين التي يذبح بها بدعة، وكذلك غسل السيوف
“Pisau tukang jagal itu tidak perlu dicuci, karena mencuci pisau yang
digunakan untuk menyembelih itu bid’ah, begitu juga pedang” (Ibnu
Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, hal. 21/523)
*[ Bid’ah Lughawiyyah atau Syar’iyyah? ]*
Sebagian kalangan, dengan semangat tinggi menentang pembagian bid’ah.
Semua bid’ah adalah dhalalah, sebagaimana hadits Nabi. Tidak ada
pembagian bid’ah hasanah-sayyiah, apalagi menjadi bid’ah wajib, sunnah,
makruh, mubah, haram.
Tapi tak jarang malah mereka membagi sendiri bid’ah menjadi bid’ah lughawiyyah dan bid’ah syar’iyyah.
Terkait fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) disini, apakah maksud beliau bid’ah lughawiyyah atau syar’iyyah? Kita akan lihat.
Sepanjang pengetahuan penulis, Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) sangat jarang
me-muthlaq-kan kata bid’ah tetapi maksud beliau adalah bid’ah secara
bahasa. Apalagi dalam fatwa beliau disini, beliau menguatkan dengan
kata, “waswas, tidak pernah dilakukan shahabat, menyelisihi sunnah”.
Indikasi ini memperjelas bahwa maksud Ibnu Taimiyyah adalah bid’ah dalam
syariat.
Jikapun dipaksakan bahwa bid’ah disini maksudnya
hanya secara bahasa saja, maka ada konsekwensi logis bagi setiap fatwa
bid’ah dari Ibnu Taimiyyah. Kita bisa saja mengatakan pada fatwa bid’ah
Ibnu Taimiyyah yang lain, “Oh, itu bid’ah lughawiyyah saja dan belum
tentu dhalalah!”
*[ Beberapa Catatan ]*
Pertama, hal
yang sampai saat ini belum saya mengerti adalah kenapa Ibnu Taimiyyah
(w. 728 H) di sub bab ini sering sekali menyebut bid’ah. Sepertinya
beliau sedang membantah atau meluruskan pandangan lain yang berbeda
dengan beliau.
Kedua, dalam memahami fatwa ulama memang
diperlukan pengetahuan tentang metode ulama tersebut dalam berfatwa,
mengetahui konteks fatwa dan juga keadaan dari peminta fatwa/ mustafti.
Secara dzahir memang fatwa itu mengatakan, mencuci tali kekang hewan,
mencuci tangan dari bersalaman dengan tukang jagal, mencuci daging
sembelihan, dan mencuci pisau atau pedang yang untuk menyembelih adalah
BID’AH.
Terus kalo sudah bid’ah, apakah dhalalah? Apakah
hukumnya HARAM mencuci tali kekang hewan, mencuci tangan dari bersalaman
dengan tukang jagal, mencuci daging sembelihan, dan mencuci pisau atau
pedang yang untuk menyembelih?
Tentu menjadi sebuah fatwa yang aneh jika maksudnya seperti itu. Tapi memang secara dzahir fatwanya seperti itu.
Ketiga, melihat konteks fatwa secara komprehensif kita akan sedikit
faham, bahwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) sedang berbicara NAJIS dan CARA
MENSUCIKANNYA. Darah sedikit dari daging hewan itu tidaklah najis, baik
yang masih tersisa di daging itu sendiri, di baju tukang jagal, di badan
dan tangan maupun pisau tukang jagal itu tidaklah najis, maka tidak
perlu dicuci.
Tanpa mengatakan mencuci itu “bid’ah” pun
sebenarnya mustafti seharusnya sudah paham. Agar tidak terjadi kerancuan
pemahaman, sebenarnya yang bid’ah itu “mencuci” daging, tangan dan
pedang atau “meyakini” bahwa darah yang sedikit itu najis, lalu
mencucinya.
Keempat, Gampang menganggap bid’ah orang lain, menjadikan orang lain menganggap gampang bid’ah.
WaAllahua’alam, ila hadharat ruhi Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyyah al-fatihah.
*) Dipublikasikan ulang dari tulisan Ust. Hanif Luthfi di facebook.
Thursday, October 17, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment