ads
Tuesday, January 31, 2012

January 31, 2012
8
Sore itu, seperti biasa, Mbok Darmi berbelanja segala keperluan untuk angkringannya. Kios sayuran Bu Apiyah, adalah salah satu tujuan belanjanya. Kios itu memang tidak begitu besar, namun selalu ramai oleh para pelanggan. Silih berganti mereka berdatangan.

Bu Apiyah adalah sosok yang ulet, telaten, dan pandai berdagang. Bicaranya yang renyah dan bersahabat menjadi salah satu daya tarik para pembeli untuk betah berlama-lama di kios itu. Tidak hanya berlama-lama berbincang ringan, namun selalu disudahi dengan ketertarikan para pelanggan untuk memborong aneka belanjaan.

Sore itu, Bu Apiyah tidak sendirian seperti biasanya. Ada Pak Somad, suaminya, yang membantunya.

“Wah, tumben kamu ada di sini, Mad,” ucap Mbok Darmi membuka percakapan dengan Pak Somad.

“Iya, Mbok. Hari ini istri saya sedang tidak enak badan. Jadi saya ke sini untuk membantunya,” terang Pak Somad.

Memang, sangat jarang Pak Somad ikut membantu Bu Apiyah jualan sayur di kios itu. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan di kampungnya. Maklum, di kampungnya, dia dipercaya sebagai pengurus RW (Rukun Warga). Jadi, urusan bisnis alias cari uang, lebih banyak diampu oleh sang istri.

“Pakne,” terdengar panggilan mesra Bu Apiyah kepada suaminya, “Aku istirahat dulu, ya. Nanti gantian jaga kiosnya.”

“Ya, istirahat dulu sana. Biar aku yang melayani Mbok Darmi,” sahut Pak Somad.

“Piyah, kamu sakit apa? Sudah diperiksakan ke dokter apa belum?” tanya Mbok Darmi kepada Bu Apiyah.

“Nggak kok, Mbok. Cuma kecapean saja,” jawab Bu Apiyah.

“Kalau kecapean ya jangan dipaksa berjualan. Istirahat saja dulu,” ujar Mbok Darmi, “Rezeki itu salah satu dari misteri Ilahi. Kalau sudah jatah kita, tak capek mengejarnya pun akan jadi milik kita. Tapi, kalau bukan jatahnya kita, walaupun kita uber sampai ke liang semut pun nggak bakalan jadi milik kita. Kata Ustadz Ramli, hidup itu sebaiknya sersan, serius tapi santai. Serius menapakinya, tapi santai dan tawakal terhadap hasilnya.”

“Iya, Mbok. Makasih atas nasihatnya,” ucap Bu Apiyah.

Bu Apiyah lalu melangkahkan kaki menuju bilik kecil di belakang kios tersebut untuk beristirahat di sana. Namun, tidak berapa lama, dari dalam bilik terdengar Bu Apiyah berseru, “HP-nya mana, Pakne?”

Sambil melayani Mbok Darmi, Pak Somad menyahut, “HP? Mau buat apa? Kalau mau istirahat, ya istirahat saja sana. Nggak usah dolanan HP segala.”

“Sampeyan ini kok aneh, Pakne,” cetus Bu Apiyah.

“Aneh gimana maksud kamu?” sahut Pak Somad, kesal.

“Ya aneh! Lha wong HP yang kamu pakai itu aku yang belikan kok, tapi nggak pernah sekalipun kamu memberi kesempatan aku untuk menggunakannya atau setidaknya kamu mengajariku menggunakannya. Aku kan juga pengen bisa SMS-an atau fesbukan seperti kamu,” cetus Bu Apiyah dari balik biliknya.

Mendapat semprotan seperti itu, Pak Somad sontak jadi berang. Wajahnya merah menaham malu sekligus juga amarah. Malu karena umpatan istrinya itu dilemparkan saat Mbok Darmi berada di hadapannya. Sementara amarahnya meluap karena sang istri mengungkit-ungkit HP pemberiannya hingga menyakiti hatinya. Sesuatu yang semestinya tidak terjadi, akhirnya terjadi pula. Mereka bercekcok bak perang dunia ke-3. Pemicunya sangatlah sepele, yaitu HP.

Beberapa bulan lalu Pak Somad memang minta kepada istrinya agar dibelikan HP. Alasannya adalah untuk kelancaran koordinasi dengan para perangkat desa. Sebagai istri yang sayang kepada suami, maka diluluskanlah permintaan itu. Sejak itu, HP seharga 1juta pun selalu ditenteng Pak Somad ke mana pun ia pergi.

Karena tangan Pak Somad tak pernah lepas dari HP, wajar jika ia begitu fasih dan piawai memainkan HP itu untuk SMS-an, chattingan, juga fesbukan. Namun sebaliknya, karena tak pernah sekalipun Bu Apiyah menyentuhnya, wajar jika sampai detik ini ia tak bisa sama sekali mengoperasikannya.

Mbok Darmi yang mengetahui percekcokan itu tidak bisa tinggal diam. Dengan sifat bijaknya, Mbok Darmi meminta Bu Apiyah agar keluar sebentar dari biliknya untuk mendapatkan wejangan darinya.

Nduk… Piyah…, keluar sebentar, Nduk. Simbok mau ngomong sebentar sama kalian berdua,” ucap Mbok Darmi lembut.

Setelah Bu Apiyah dan Pak Somad duduk bersama, Mbok Darmi mulai menasihati mereka berdua.

“Simbok mau menyampaikan apa yang sudah diajarkan oleh Allah dan kanjeng Nabi kepada kita. Jadi, kalau kalian berdua mau protes, jangan protes ke Simbok ya. Tapi protes saja langsung kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Nggih, Mbok. Kami akan mendengarkan baik-baik wejangan Simbok,” ucap Bu Apiyah dan Pak Somad, hampir bersamaan.

“Yang pertama, Simbok mau menyampaikan pesan Allah dan kanjeng Nabi untuk kamu, Somad. Sebagai suami, besok di akhirat kamu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang kwajiban-kewajibanmu kepada istri. Salah satunya adalah kewajibanmu memberi nafkah. Jadi, semestinya yang wajib mencari nafkah dan menafkahi keluarga itu kamu, bukan istri kamu. Tapi karena takdir Allah berkehendak lain, akhirnya istrimulah yang mencukupi kebutuhan hidupmu. Namun, karena kerelaannya mencukupi kebutuhan hidupmu, jadilah apa yang diberikannya kepadamu itu sebagai sedekah darinya. Istrimu akan mendapat pahala atas sedekahnya itu. Tapi, bukan berarti kamu boleh seenaknya terus-menerus minta-minta kepada istrimu. Itu namanya memalukan kaum Adam. Kamu harus tetap berusaha untuk mencari nafkah, seberapa pun hasilnya,” petuah Mbok Darmi.

Pak Somad tertunduk lesu, meresapi wejangan luhur dari Mbok Darmi, sang pemilik angkringan.

Mbok Darmi melanjutkan petuahnya, “Mad, lelaki itu dijadikan sebagai pemimpin rumah tangga karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya serta karena perjuangannya menafkahi keluarga. Kalau kamu tidak tergerak untuk berusaha menafkahi keluarga, apa layak kamu disebut sebagai pemimpin rumah tangga? Renungkan wejangan SImbok ini, ya!”

Pak Somad kembali menunduk lalu menjawab singkat, “Iya, Mbok.”

“Jangan iya-iya saja, tapi harus benar-benar dilaksanakan. Termasuk juga jangan egois. Lha wong istri pengen bisa pake HP kok nggak boleh. Apa kamu nggak ingat, siapa yang sudah membelikanmu HP itu?”

Pak Somad tersenyum malu, lalu kembali menunduk.

“Nah, sekarang Simbok mau menyampaikan pesan dari Gusti Allah dan kanjeng Nabi untuk kamu, Piyah.”

“Nggih, Mbok,” sahut Piyah singkat.

“Kamu wajib bersyukur kepada Allah karena kamu bisa mencari uang banyak untuk keluargamu. Itu semata-mata karena pertolongan Allah. Dan Allah-lah yang menakdirkan kamu menjadi pengusaha sukses. Simbok juga bersyukur kamu bisa membelikan HP suamimu, walaupun sebetulnya itu tidaklah wajib bagimu. Karena yang berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup keluarga adalah suamimu, bukan kamu. Tapi, apa yang kamu keluarkan untuk keluargamu, itu akan dicatat oleh Allah sebagai sedekah. Sedekah itu pahalanya besar lho, Nduk.”

Sama seperti sang suami, Bu Apiyah pun hanya mampu menunduk dan menjawab singkat, “Nggih, Mbok.”

“Tapi, perlu kamu waspadai. Pahala sedekahmu bisa saja menguap dan hilang begitu saja kalau kamu tidak ikhlas, tidak berniat karena Allah, apalagi sekadar hanya ingin mendapat pujian dari orang lain. Kamu juga tidak boleh tinggi hati dan merasa hebat karena bisa membelikan suamimu ini dan itu.”

“Iya, Mbok,” lagi-lagi yang keluar dari mulut Bu Apiyah hanyalah “iya” dan “nggih”. Karena memang hanya kosakata itu yang sanggup dia ucapkan saat menerima wejangan Mbok Darmi.

“Kamu juga harus waspada, sedekahmu berupa HP tadi bisa sia-sia tanpa membuahkan pahala apabila kamu mengungkit-ungkit pemberianmu itu apalagi sampai melukai hati orang yang kamu beri. Eman-eman kan apabila sedekahmu sia-sia belaka?! Gusti Allah paring dhawuh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. “ (Q.S. Al-Baqarah:264)

Sejak mendapat wejangan itu, Bu Apiyah menambah koleksi HP-nya. Ia membeli satu lagi HP seharga 1,5 juta. Kini, ia memiliki HP sendiri. Sejak itulah sepasang suami istri itu jadi semakin romantis bak pengantin baru,karena hampir setiap hari mereka ber-SMS-an mesra. Bahkan, saat sama-sama di tempat tidur pun, mereka tetap menggunakan jasa HP untuk saling merayu dan bermanja ria. Duuuuuhhhh…, mesranya!

8 comments:

Arif mahfudz said...

wejangan2 dalam bentuk cerita kayak bgni yg aku suka...

rizki_ris said...

Kunjungan kembali mas
Suami sebagai kepala rumah tangga yang seharusnya mencari nafkah
Nasihatnya dalam bentuk cerita jadi lebih mudah dimengerti dan menarik
^^

Irham Sya'roni said...

@Arif mahfudz Makasih Kang Arif atas kunjungannya untuk kesekian kalinya di angkringannya Mbok Darmi. hehehe... Walaupun awalnya sekadar buat catatan pribadi, tapi jika bermanfaat buat yg lain ane bersyukur alhamdulillah.

Irham Sya'roni said...

@rizki_ris Rizka Riris yang selalu punya mimpi, makasih atas kunjungannya untuk kesekian kali di blog sederhana ini. Semoga coretan sederhana ini pun bermanfaat buat kita semua, khususnya saya dan Mbok Darmi. hehehe

Uswah said...

waaaaah :)

itu saking romantisnya apa karena kemaruk hape barunya ya? hihihihi..

kesalahan bukan pada hape, tp pada pemakainya :)

Irham Sya'roni said...

@Uswah Hahaha... begitulah mereka. Padahal pas di tempat tidur atau lagi jaga kios, kan bisa langsung ngobrol berdua, eeee...kok ya malah pake HP segala. Kaya' berjauhan aja. hehehe

Si Belo said...

Weww..wejangannya ngenaaa euy di hati ^_^

eheemm...jadi iri niih ma pasangan somad dan apiyah...:D

Irham Sya'roni said...

@Naya Elbetawi Hehehe... besok aku sampein deh ke pak Somad dan bu Apiyah, kalo ada yg ngiri sama romantisme mereka berdua. ^_^