ads
Saturday, August 11, 2007

August 11, 2007
1
Pada 16-12 bulan sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib), Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa dahsyat. Beliau diperjalankan (isra’) oleh Allah SWT dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Bait Al-Maqdis di Jerusalem, kemudian naik (mi’raj) ke Sidrat Al-Muntaha (akhir penggapaian), bahkan melampauinya, serta kembali lagi ke Makkah. Semua dilakoninya dalam waktu yang amat singkat.

Tentang Isra’, Allah SWT berfirman: Maha Suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Haram (di Makkah) ke Masjid al-Aqsha (di Palestina), yang Kami berkati sekelilingnya untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Israa’: 1).

Dan tentang Mi'raj, Allah menjelaskannya dalam Q.S. An-Najm: 13-18 yang berbunyi: Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Isra’ dan Mi’raj merupakan fenomena yang selalu mengundang kontroversi di setiap generasi. Tak hanya detik ini, namun telah berlangsung sejak masa Nabi.

Perdebatan panjang tak berujung itu selalu berkutat di seputar: apakah perjalanan Isra’ dan Mi’raj Muhammad itu dengan ruh saja, atau ruh dan jasad; berapa kali Rasulullah Isra’ dan kapan waktu tepatnya; mengapa pula perjalanan Isra’ mesti dilakukan ke Bait al-Maqdis.

Pun, tentang hakikat tujuh langit, Sidrat al-Muntaha, serta Buraq (kendaraan Muhammad ketika Mi’raj). Juga pertanyaan, bagaimana ihwal Rasulullah bertemu dan melihat Tuhannya (ru’yatullah) dalam Mi’raj? Serta, masih banyak lagi sederet pertanyaan yang digelindingkan untuk mendedah misteri peristiwa sakral-transendental itu.

Wajar semua pertanyaan itu menyembul. Pasalnya, Al-Qur’an memang tidak pernah membeberkan peristiwa itu secara rinci dan sharih (gamblang). Al-Qur’an hanya mengisahkannya sekilas dan global (mujmal). Sehingga, terbukalah ruang interpretasi yang luas bagi siapa pun yang ingin menguak misteri peristiwa agung itu.

Tak mengherankan jika kemudian muncul penafsiran dan analisis yang beragam antara kubu doktrinal dan rasional, kubu literal dan liberal, serta kubu tekstual dan kontekstual. Kita hanya berharap, semoga perbedaan pendapat ini hanyalah bagian dari dinamika wacana keilmuan yang tidak mengesampingkan bimbingan wahyu untuk peneguhan iman.


Hikmah Isra’ Mi’raj
Sebelum Isra’ dan Mi’raj, Nabi berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan: Khadijah (isteri tercinta) dan Abu Thalib (paman Nabi) mangkat. Selain itu, tekanan demi tekanan dari kaum Quraisy juga semakin gencar. Tak hanya tekanan psikis, namun juga ekonomi dan politik. Masa-masa inilah yang dalam catatan sejarah disebut ”tahun duka cita” (‘am al-huzn).

Dalam kondisi demikianlah Allah menjalan skenario-Nya. Nabi diperjalankan menuju tempat-tempat penting dan dipertemukan dengan para (nabi) pendahulunya. Tak cukup itu, beliau dipertemukan langsung dengan Allah, lalu kembali lagi ke bumi dengan membawa misi rahmatan lil’alamin (menebar kasih sayang bagi seluruh alam). Perjalanan itu boleh kita sebut ”wisata spiritual” luar biasa, yang melampaui batas-batas material-formal kesejarahan. Karena itu, peringatan Isra’ Mi’raj lebih tepat jika dijadikan momentum berefleksi dan mengurai hikmah di balik simbol-simbol misteri yang menyelubunginya ketimbang mendedah fakta sejarahnya.

Di antara hikmah yang dapat dipetik adalah: Pertama, sebelum melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Nabi melewati fase purifikasi atau penyucian hati. Dibelah dadanya, kemudian dibersihkan hatinya dengan air zamzam.Apa hati Rasulullah kotor, penuh dendam, riya’, iri hati, dan sebagainya? Tidak! Beliau adalah hamba yang ma'shum (terjaga dari berbuat dosa). Lantas, apa signifikasi purifikasi tersebut? Tak lain adalah pelajaran dan teladan bagi umat Muhammad, bahwa untuk bisa mendekat dan sampai kepada Allah dibutuhkan kesucian hati.

Ritual salat yang kita lakukan pada dasarnya adalah upaya untuk mencapai tujuan itu. Hanya saja, jika tidak didukung kesucian hati, maka shalat hanya akan menjadi ritual dan rutinitas tanpa arti. Hanya menggugurkan kewajiban, tapi tidak membuahkan kedekatan dengan Sang Serba Maha.

Kedua, di tengah perjalanan, Rasulullah dihadapkan pada dua pilihan: susu dan khamar. Susu merepresentasikan kebaikan, sementara khamar mewakili keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan selalu identik dengan kerugian.Ini pula yang menjadi pilihan umat Muhammad di dunia ini: kebaikan atau keburukan, manfaat atau madlarat. Beruntung, Nabi memilih susu (kebaikan dan kemanfaatan).

Ketiga, perjalanan horizontal yang dilakoni Nabi mengisyaratkan bahwa, setiap perjalanan hidup hendaknya selalu diawali dan dipungkasi ”masjid” (sujud). Maksudnya, segala aktivitas haruslah didasari ketaatan kepada Sang Khalik.

Sementara perjalanan horizontal adalah proses menuju vertikal. Kata Rasulullah, Addunya mazra'atul aakhirah (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat). Karenanya, setiap gerak tubuh dan denyut nadi di dunia horizontal ini pada gilirannya akan berujung pada arah vertikal (Allah). Hanya kepada Allah kita menyembah, hanya kepada-Nya kita kembali, dan kepada-Nya pula kita mempertanggungjawabkan segala amalan di dunia ini.

Keempat, Isra’ Mi’raj juga mengandaikan adanya dorongan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Perjumpaan dan dialog antara Nabi Muhammad dengan nabi-nabi seniornya, soal-jawabnya kepada Jibril, menandakan urgensi tawadlu’ (rendah hati) untuk belajar dari banyak kisah gagal dan sukses orang lain. Sifat ini pula yang mestinya menjadi identitas setiap muslim: tidak sombong dan menghargai orang lain.

Kelima, Nabi kembali ke bumi membawa oleh-oleh istimewa: shalat. Sabda Nabi, as-shalâtu mi`râjul mu’minîn (salat adalah mi’raj orang beriman). Jadi, selain ada mi’raj besar (akbar), ada juga mi’raj kecil (ashghar), yaitu salat kita sehari-hari.Dalam hal shalat, kita tidak hanya dititahkan untuk menjalankannya (ta’diyah), tapi lebih dari itu juga menegakkannya (iqamah).

Apa bedanya? Kata ta’diyah lebih banyak berorientasi pada aspek formal saja, sementara iqamah selain menekankan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam salat juga diperhatikan secara serius agar salat yang dilakukan benar-benar memberikan pencerahan, sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-‘Ankabut, 29: 45. **

---------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Batam Pos pada Jum'at, 10 Agustus 2007.

1 comments:

kasihnama said...

Terimakasih infonya. Buat bunda yang cari referensi nama yuk cek disini