Rasanya mustahil memisahkan nama Nurcholish Madjid, yang karib disapa Cak Nur, dengan pemikiran Islam di Indonesia. Sejak 1970 pemikir kontroversial ini tekun menggelindingkan gagasan-gagasan yang amat progresif tentang liberalisasi pemikiran Islam, sekularisasi, kebebasan intelektual, dan pentingnya mengapresiasi gagasan kemajuan.
Gagasan tentang pluralisme dan sekularisasi telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus ke dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran tentang keindonesiaan modern, yaitu bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Tak berlebihan jika kemudian julukan "Guru Bangsa" kerap disematkan kepadanya.
Ia pun menjadi pelopor banyak isu pembaruan politik, seperti ide pentingnya tentang oposisi loyal, civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa di tengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Visi Neomodernis
Lelaki kelahiran Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu selalu dekat dengan jagat pesantren. Selama aktivitas nyantri-nya, Cak Nur dikubangkan dalam dua pesantren yang berbeda haluan: tradisional dan modern. Ia pernah belajar kitab kuning di Pesantren Rejoso, Jombang. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Pondok Pesantren Gontor, yang dikenal sebagai "pesantren modern". Kemudian, ia melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab, IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, pada tahun 1968.
Sejak itulah ia menjadi representasi "santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia modern. Menurutnya, umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern.
Budhy Munawar-Rachman, Pengajar Filsafat Islam di Universitas Paramadina, sempat mencatat sebuah analisis Cak Nur tentang masyarakat santri di tahun 2020. Menurutnya, tahun 2020 nanti akan terjadi keseimbangan antara golongan santri dan modernis karena mayoritas masyarakat santri saat itu telah memperoleh pendidikan tinggi yang cukup dan merupakan golongan profesional, yang akan mengimbangi golongan modernis yang telah mendapatkan pendidikan tinggi lebih dulu.
Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik" (al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdzu bî al-jadîd al-ashlah). Visi inilah yang disebutnya "neomodernis".
Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan fondasi pemikiran Islam yang hanif, Islam yang toleran dan penuh kelapangan, Islam yang universal dan berorientasi pada kemanusiaan dan peradaban. Terlebih saat ini, ketika fundamentalisme Islam bangkit dan mencoba membentangkan sayapnya, solusi Islam hanif menemukan relevansinya untuk dibumikan. Konkritnya, dengan menegaskan pentingnya kerja sama dan solidaritas agama-agama melalui kontribusi etika keagamaannya masing-masing pada masalah global.
Kritisisme Sebagai Spirit
Selama 35 tahun Cak Nur berhasil menyemai bentuk pemikiran Islam yang progresif di Indonesia. Charles Kurzman dalam buku daras pemikiran Islamnya, Liberal Islam, A Sourcebook (1998), menganggap Cak Nur sebagai tokoh liberal syari’ah. Maksudnya, Cak Nur mempunyai pemikiran-pemikiran tentang Islam yang amat liberal, dan keliberalannya justru didasarkan pada Al Quran. Ini amat menarik dan unik. Sebab, di satu segi Cak Nur amat Quranik, karena banyak mengupas hermeneutik Al Quran secara tekstual, tetapi kesimpulan yang dihasilkan amat liberal. Bahkan secara liberal pula Cak Nur berujar, "Kalau begitu yang liberal adalah Al Qurannya sendiri!"
Dalam teropongan Charles Kurzman, ada enam isu pemikiran Islam kontemporer yang kini menjadi perbincangan global di dunia Muslim termasuk juga diusung oleh Nurcholish, yaitu: (1) Perlawanan terhadap ide teokrasi atau negara Islam; (2) Pemikiran demokrasi; (3) Masalah hak-hak perempuan; (4) Masalah hak-hak non-Muslim; (5) Kebebasan berpikir; dan (6) Masalah kemajuan.
Cak Nur merupakan sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi terus dibutuhkan hingga saat ini. Ia bukan hanya seorang profesor, tetapi juga seorang ensiklopedis. Pengetahuan amat luas dan komprehensif, tak hanya tentang Islam namun juga dunia kemodernan. Tak mengejutkan, semasa hidupnya, ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran.
Kritisisme merupakan spirit pemikirannya. Menurut pengakuan murid-murid dan rekan-rekannya, Cak Nur kerap menghembuskan adagium yang prinsipil: To avoid criticism, do nothing, say nothing, and be nothing! Dari itulah, produk pemikiran Cak Nur selalu menjadi kontroversial. Bahkan julukan negatif dan vulgar kerap dilemparkan kepadanya.Misalnya Gerakan Pengacau Keagamaan (GPK), antek orientalis, dan sebagainya.
Sama halnya kalangan NU, lebih tepatnya "Gus Durisme" (para pegandrung atau pengikut Gus Dur), menyebut tokoh kontroversialnya (Gus Dur) sebagai pemikir tajam yang juga mempunyai visi ke depan melampaui daya pikir generasinya. Pun, kalangan Islam Indonesia menyebut Cak Nur sebagai cendekiawan Muslim Indonesia yang mempunyai visi jauh ke depan, melampaui pikiran-pikiran generasinya. Kritisisme dan liberalisme inilah yang menjadikan Cak Nur (mungkin juga Gus Dur) selalu kontroversial di masanya dan beberapa jengkal masa berikutnya.
Seperti dikatakan mendiang Cak Nur bahwa, jika menanam jagung hanya diperlukan waktu tiga bulan, maka menanam manusia diperlukan satu generasi atau 25 tahun. Untuk itu, kita sangat membutuhkan "Nurcholish-Nurcholish" baru yang akan merawat dan menumbuhkembangkan spirit pemikiran Cak Nur di ladang Indonesia agar terwujud Islam yang hanif dan Indonesia yang berperadaban, adil, terbuka, dan demokratis.
------------------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian umum Pelita pada Senin, 27 Agustus 2007.
Sumber Gambar
0 comments:
Post a Comment