Televisi bisa diibaratkan dengan agresi tentara bersenjata lengkap menyerbu sasaran yang tak berdaya dari pintu ke pintu, dari bilik yang satu ke bilik yang lain. Analog ini nampaknya bukan serampangan. Pasalnya, daya jangkau televisi sangat luas disertai dengan sifat pandang dengarnya yang serempak dapat mudah menelusup ke wilayah tersempit sekali pun. Selain itu dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, maka diversifikasi tayangan seperti apa pun hampir mampu mereka lakukan.
Contoh kongkrit yang sering kita saksikan misalnya nyawa yang keluar dari tubuh dengan digambarkan seolah ada tubuh lain yang terpisah dan terbang bergentayangan. Jangan-jangan ini pula yang menjadi trigger (pemicu) sejumlah bocah yang bunuh diri hanya karena alasan sepele. Barangkali dalam bayangan mereka, roh mereka akan terbang ringan kemana pun suka.
Televisi benar-benar menjadi media yang merubah karakter seseorang, bisa memerintah apa yang sebelumnya tak kita kerjakan, dan bisa menghentikan apa pun yang sebelumnya gemar kita lakukan.
Kita tentu ingat ketika film Superman pertama kali masuk ke ruang pandang anak-anak kita. Hanya butuh waktu sekejap anak-anak di hampir penjuru negeri ini meniru pakaian Superman. Lalu, terbang atau terjun dari gedung bertingkat. Mereka pikir dengan pakaian itu mereka juga bisa terbang.
Belum lama juga kita disuguhi pemandangan memilukan dan mengenaskan, beberapa bocah bersimbah darah bahkan ada yang patah tulang hingga meninggal dunia akibat meniru gulat bebas ala Smack Down. Anehnya, tayangan yang kontraproduktif dan kontraedukatif itu akan distop manakala masyarakat sudah berteriak protes.
Faktor pemicu munculnya tayangan yang kurang mendidik ini terjadi karena kurang sehatnya persaingan. Kita bisa membayangkan bagaimana belanja iklan yang di tahun 2006 lalu hanya sebesar Rp 26,5 triliyun diperebutkan 11 stasiun televisi nasional. Padahal dalam kondisi normal dana sebesar itu sebenarnya hanya layak digunakan maksimal 3-4 stasiun televisi agar mampu hidup sehat, sehingga tayangan- tayangannya pun sehat.
Terkait itu, Dian Marheni 2006 (dalam Pawito, 2007), melakukan penelitian dengan menggunakan analisis wacana, dan hasilnya antara lain menunjukkan bahwa iklan-iklan anak-anak di televisi tampak sekali mengusung ideologi kapitalisme dalam berbagai aspek, individualisme, materialisme, dan pengumpulan keuntungan.
Peran TVRI Menghadapi kenyataan semacam ini sebenarnya selain tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memintarkan masyarakat dalam menyeleksi tayangan televisi, juga menjadi tugas TVRI sebagaimana diatur UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berstatus sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang tugasnya antara lain adalah melayani kepentingan publik dengan berbagai tayangan yang menarik, namun tetap mendidik.
Sayangnya, hingga saat ini TVRI belum mampu berbuat banyak. Selain perubahan sistem serta manajemen yang memerlukan waktu untuk merubah berbagai karakter yang telah lama melekat, dukungan dana dari masyarakat baik lewat APBN atau melalui cara lainnya cenderung sangat minim.
Dalam kondisi seperti inilah, legislatif dan eksekutif dituntut kepeduliaannya menghidupkan TVRI sebagai televisi tertua yang “ramah lingkungan” dan televisi-televisi swasta lain agar berjalan di atas rel budaya negeri yang santun dan mengedepankan masa depan anak bangsa ketimbang sekadar profit semata.
Terkait TVRI, PP No 13 Tahun 2005 tampak kurang mendukung. Pada PP 13 Tahun 2005 tersebut tidak disebut dukungan dana melalui APBD untuk TVRI di daerah. Padahal pada PP 11 Tahun 2005 tentang Media Penyiaran sebenarnya telah tersirat, dan pada PP 12 Tahun 2005 untuk RRI, dukungan dana melalui APBD jelas disebut di salah satu pasalnya.
Terbatasnya dana APBN yang dikucurkan tersebut tampaknya juga sebagai bentuk kekhawatiran seperti di zaman orba, bila TVRI akan dimanfaatkan oleh penguasa. Kekhawatiran yang sebenarnya berlebihan atau terkesan dicari-cari, karena pemilihan dewan pengawas hingga dewan direksinya sesuai amanat UU juga telah dilakukan dengan prosedur yang benar.
Kendala itulah tampaknya yang menghambat TVRI beserta jajarannya di daerah. Padahal sebenarnya berdasarkan UU Penyiaran, TVRI merupakan satu-satunya televisi yang diperbolehkan bersiaran nasional (untuk swasta sebenarnya harus berjaringan), namun kenyataannya hingga saat ini belum mampu menjadi penyeimbang bagi sajian televisi swasta yang kecenderungannya isi siarannya makin tidak sehat.
Karena itu, ke depan TVRI sebagai LPP perlu diberi kepercayaan sekaligus dukungan nyata, sehingga mampu menjadi media alternatif dalam mencari berbagai tayangan yang sehat, mendidik, sekaligus menghibur, sehingga ramah lingkungan. LPP di luar negeri yang sehat seperti BBC, NHK, ABC, serta LPP lainnya bisa kita jadikan kiblat. Ini perlu dilakukan, karena berdasarkan UU, pemerintah hanyalah menjadi fasilitator, sementara KPI juga belum berperan maksimal, karena hingga saat in pun UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga belum bisa berjalan secara maksimal, terutama dengan masih carut marutnya peraturan pelaksanaannya.
Sebagai pungkasan, akankah para pengelola televisi (utamanya swasta) terus mengeksploitasi masyarakat demi keuntungan sesaat? Atau sebaliknya mulai memikirkan tayangan edukatif sekaligus menghibur dan tidak mencerabut akar budaya bangsa dari dasarnya yang santun dan beradab?
Semoga pada Hari Ulang Tahun yang ke-45 TVRI, sekaligus momentum refleksi bagi televisi-televisi lain, para pengelola televisi tidak menjadi oportunis dan kolonial baru yang memperburuk masa depan anak bangsa, sekadar digadai dengan sejumput keuntungan yang bernama materi dan rupiah. Semoga!
------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Koran Merapi pada Sabtu, 25 Agustus 2007.
Sumber Gambar
0 comments:
Post a Comment