Judul : Islam dan Humanisme
Penulis : Hasan Hanafi, Nurcholish Madjid (alm), dll
Penulis : Hasan Hanafi, Nurcholish Madjid (alm), dll
Penerbit : IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Halaman : xix + 247 halaman
Setiap agama mengajarkan penganutnya untuk menghormati orang lain dan hidup berdampingan secara harmonis. Tetapi mengapa kekerasan dan kekejaman atas nama agama tak kunjung surut dari bumi ini? Bisa jadi itu disebabkan ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dan kemampuan memahami ajaran agama. Akibatnya, yang lahir bukan keharmonisan, melainkan sikap fanatik (fanatic attitude), sikap keberagamaan yang sempit (narrow religiousity), dan fundamentalisme.
Dalam kaitan ini, Franzs Magnis Suseno berkomentar, "saya rasa kita tidak perlu mencari-cari alasan mengapa seseorang sebaiknya tidak berbuat kejam. Sebab, pada prinsipnya sikap yang melarang kekejaman tidak memerlukan justifikasi. Mencari-cari pembenaran atas sikap kejam dapat mengindikasikan bahwa jika Anda menemukan alasannya yang ‘tepat’, kemungkinan Anda akan melakukan kekejaman tersebut tanpa rasa bersalah. Hal ini jelas tidak sesuai dengan humanisme." (hal. 212)
Lebih jauh, Franzs Magnis Suseno menekankan, "kita harus membuat prinsip: Jangan ada agama jika tanpa humanisme! Orang-orang beragama dari semua keyakinan dan golongan harus berdiri bersatu dalam suatu resolusi untuk menyingkirkan semua kekejian dan kekejaman atas nama agama." (hal. 217)
Karenanya, spirit humanisme menjadi keniscayaan untuk dijiwai dalam keberagamaan secara universal. Sayangnya, kehadiran spirit humanisme dalam agama masih kerap dicurigai akan menggoyahkan stabilitas agama. Anggapan yang beredar, humanisme hanya menekankan pada individu rasional sebagai nilai paling tinggi dan sumber nilai terakhir tanpa harus terikat pada aturan agama tertentu. Secara simplistik, (seakan) spirit ini mendorong manusia untuk menggali ajaran-ajaran budi pekerti dari kontemplasi rasional individual tanpa harus menjadikan agama sebagai referensi dan tambatan berpikirnya. Pandangan inilah yang kerap menghambat perjalanan humanisme sebagai sebuah tata nilai yang inheren dengan agama.
Humanisme dalam Islam, misalnya, hanya akan berjalan dalam garis dialog antara Allah, manusia, dan sejarahnya. Artinya, penjabaran arti "memanusiakan manusia" tidak boleh dilepaskan dari garis teologis yang ada. Keharmonisan humanisme dan agama tergantung bagaimana agama itu dipahami. Jika dirunut melalui konteks historis, sesungguhnya kelahiran Islam dan juga agama lain tidak lain bertujuan untuk advokasi kemanusiaan. Inilah core atau inti dari kehadiran agama di bumi ini.
Tetapi, mengapa dalam Islam terdapat hukuman potong tangan, hukuman mati, hukuman rajam, hukuman jilid delapan puluh kali bagi peminum khamr? Bukankah itu mengindikasikan bahwa Islam kontrahumanis? Dalam perspektif Barat, apa yang diundangkan dalam Islam itu tidak manusiawi. Tetapi bagi Islam, seluruh produk hukumnya adalah manusiawi. Karena semua itu bertujuan menjaga martabat serta hak-hak kemanusiaan yang paling asasi.
Hukuman mati untuk menjaga hak hidup, potong tangan untuk menjaga hak kepemilikan, jilid dan rajam untuk menjaga kehormatan keluarga dan keturunan, jilid bagi pemabuk juga untuk menjaga kesehatan akal. Jadi, hukuman-hukuman itu hanya berfungsi sebagai sarana (wasilah) atau jembatan menuju tujuan asasi, yaitu menjaga hak-hak kemanusiaan.
Persoalan kontroversial yang kini mencuat bukanlah pada persoalan "tujuan" yang hendak dicapai untuk memanusiakan manusia, melainkan pada rumusan "sarana" atau "jembatan" yang menghantarkan kepada tujuan itu. Sebagian ulama memandang "sarana" (potong tangan, hukuman mati, rajam, serta hukuman cambuk) sebagai sesuatu yang baku, sebab telah ditetapkan oleh Alquran dan Al-Sunnah. Sebagian yang lain berpandangan bahwa "sarana" atau "jembatan" boleh saja berubah asalkan tetap pada tujuan dasarnya, yakni memanusiakan manusia. Jadi, kelompok kedua ini memandang hukuman potong tangan, jilid, rajam, dan sebagainya, boleh diganti dengan hukuman lain selama tujuan asasinya dapat tercapai.
Kehadiran buku ini hendak menjawab isu-isu tersebut dari kaca mata para pemikir nasional maupun internasional. Sebutlah Hassan Hanafi, Nurcholish Madjid (alm), Machasin, Julia Day Howell, Atho Mudzhar, Masykuri Abdillah, Bahtiar Effendi, A. Qodri Azizy, M. Amin Abdullah, Frans magnis Suseno, dan Mark R. Woodward.
Mereka inilah yang akan menganalisis secara kritis problem-problem yang terjadi pada kehidupan beragama dan merumuskannya dengan cara-cara yang lebih humanis. Pada akhirnya, semua itu akan bertemu pada satu kesamaan misi, yakni menjelaskan humanisme Islam di tengah krisis humanisme universal. Setelah membaca buku ini, kita diharapkan dapat memandang Islam sosial secara lebih humanis dan bersahabat.
-----------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian Suara Merdeka pada Ahad, 13 Mei 2007.
4 comments:
ya,kita sebagai umat islam tentu sangat faham jika ajaran agama kita sangat menghargai sebuah arti kedamaian.tapi akhir2 ini kita umat islam patut untuk prihatin.karena agama kita yang fitrah & rahmatan lil alamin jadi tercoreng oleh oknum2 tertentu yang mengatas namakan islam sebagai acuan perbuatannya yang radikal, tidak rasional dan paham fanatisme yang sempit.
Semoga kedamaian, perdamaian, serta kerukunan semakin tercipta di bumi ini, ya, Mas. aamiin
Saya baru baca buku ini, tapi kebetulan ada dua lembar yang hilang dari tulisan Mark R. Woodward, yaitu halaman 233-236 jika boleh saya ingin dikirimkan gambar dari dua lembar tersebut melalui email saya. Terima kasih.
Silakan infokan emailnya, Mas. InsyaAllah akan saya kirim.
Post a Comment