ads
Wednesday, April 19, 2023

April 19, 2023

 


Perdebatan Tak Berkesudahan Perihal Kata “Silaturahim” dan “Silaturahmi”

Saya bukan sarjana bahasa dan sastra. Juga bukan ahli bahasa. Akan tetapi, semenjak berkecimpung di dunia penerbitan, baik sebagai penulis maupun editor, segala persoalan tentang bahasa terasa sangat menggiurkan untuk dibincangkan.

Satu di antaranya adalah kata “silaturahmi”. Kata ini selalu menjadi perdebatan tahunan setiap menjelang lebaran. Ada yang alergi dengan kata ini karena dipandang tidak islami. Menurut mereka, kata yang benar adalah “silaturahim”, bukan “silaturahmi”. Ada yang berpandangan bahwa kedua kata tersebut memiliki maksud dan makna yang sama, sehingga bisa saling bertukar untuk digunakan. Ada yang berpendapat bahwa “silaturahim” digunakan khusus untuk hubungan kekerabatan dekat (sesama anggota keluarga dari satu rahim/kandungan), sementara “silaturahmi” digunakan untuk hubungan kekerabatan jauh atau bahkan tidak memiliki hubungan kandung sama sekali.

 

Kata Serapan

Dalam kajian bahasa Indonesia kita mengenal istilah “kata serapan”, yakni kata yang berasal dari bahasa lain yang telah diintegrasikan ke bentuk bahasa dan telah diterima pemakaiannya secara umum. Ada yang diserap dari bahasa Sansekerta, Arab, Belanda, Jawa, Portugis, Inggris, dan lain-lain.

Karena tema “silaturahim vs silaturahmi” erat kaitannya dengan bahasa Arab, maka perlu saya kemukakan beberapa contoh kata lain yang diserap dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia (sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI).

Adzan ( أذان ) à menjadi Azan

Sholat  ( صلاة ) à menjadi Salat.

Zhuhur/Zhuhri ( ظهر ) à menjadi Zuhur

Shubuh/Shubhi  ( صبح ) à menjadi Subuh

Ustadz ( أستاذ ) à menjadi Ustaz

Ramadhan/Ramadlan ( رمضان ) à menjadi Ramadan

Qolbu  ( قلب ) à menjadi Kalbu

Qirthos ( قِرْطَاس ) à menjadi Kertas

Qorobah ( قَرَابَة ) à menjadi Kerabat

Fithri ( فطر) à menjadi Fitri

 

Jadi, yang Benar “Silaturahim” atau “Silaturahmi”?

Dalam tinjaun bahasa arab, kata “Silaturrahim” terdiri dari dua kata, yaitu صِلَةُ yang berarti koneksi, relasi, sangkut-paut, keterkaitan, hubungan, ikatan; danالرَّحِمِ   yang berarti rahim alias tempat janin sebelum dilahirkan. Dengan demikian, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilatur rahim) berarti hubungan baik dengan orang yang masih memiliki ikatan rahim atau darah.

Kanjeng Nabi juga menggunakan istilah صِلَةُ الرَّحِمِ  dalam beberapa sabdanya, di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِاْلعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ: "اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي". فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: "أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنَ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ". [أخرجه الهيثمي [

Artinya: Diriwayatkan dari Anas, diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu adalah cabang kuat di 'Arsy berdoa dengan lisan yang tajam: "Ya Allah sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutusku, Maka Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, "Aku adalah ar-Rahman ar-Rahim. Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan), maka barangsiapa menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa memutuskannya pasti Aku memutuskan orang itu," (HR al-Haitsami).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya atau ditambahkan umurnya maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya”.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

نْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ”. [رواه البخاري

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau hendaklah ia diam”.” [HR. al-Bukhari].

Sampai di sini, apakah sudah terang dan gamblang tanpa menyisakan persoalan? Ternyata, belum. Masih pertanyaan lanjutan yang dapat kita kemukakan, “Apakah kerabat, sanak, atau saudara yang tidak memiliki hubungan rahim atau darah tidak termasuk termasuk dalam kategori shilatur rahim?”

Ada sebagian ulama yang mendefinisikan shilatur rahim sebagai hubungan dua orang atau lebih yang memiliki ikatan kemahraman (haram dinikahi). Ada juga yang mengartikannya sebagai hubungan dua orang atau lebih yang memiliki relasi mawarits (saling mewarisi). Bahkan, ada yang memperluas makna shilatur rahim tidak hanya hubungan kemahraman dan mawarits, tetapi siapa pun yang memiliki hubungan kekerabatan baik dekat maupun jauh, baik ada kaitan nasab maupun tidak.

Ketika shilatur rahim diserap ke dalam bahasa Indonesia, ejaannya mengalami perubahan dan maknanya pun mengalami perluasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak akan kita temukan kata “silaturahim”, apalagi “shilatur rahim” atau “shilaturrahim”. Menurut KBBI, sebagai acuan baku dalam berbahasa Indonesia, “silaturahmi” berarti tali persahabatan (persaudaraan).

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa silaturahim, silaturahmi, shilatur rahim, dan shilaturrahim mempunyai maksud yang sama, hanya berbeda penulisan/ejaan. Jika “shilaturrahim” adalah bentuk baku dalam bahasa Arab, maka “silaturahmi” merupakan bentuk baku dalam bahasa Indonesia. Menurut saya, silakan gunakan kata mana pun yang lebih mudah dimafhumi dan lebih nyaman untuk diucapkan.

Ada kaidah yang menyebutkan:

لا مشاحة فى الاصطلاح

“Tidak ada perdebatan dalam istilah (jika hakihatnya sama)”

العبرة بالحقائق لا بالمسميات

“Yang dinilai adalah hakikatnya, bukan nama yang digunakan”

 

Jangan Katakan “Hubungan Silaturahim”!(?)

Sebagian orang ada yang mempermasalahkan kata “silaturahim” yang didahului dengan kata “hubungan” sehingga menjadi “hubungan silaturahim”.  Menurut mereka, ada pemubaziran kata karena kata shilat/shilah sendiri sudah berarti “hubungan”.

Pandangan ini memang benar. Ada pemubaziran kata dalam kalimat “hubungan silaturahim”. Namun, hal ini tidak perlu diambil risau, karena negara tidak jarang juga memubazirkan kata. Coba Anda lihat spanduk-spanduk yang dipasang di pinggir-pinggir jalan, baik milik instansi-instansi pemerintah maupun para anggota dewan, memberikan ucapan selamat Idul Fitri dengan kalimat “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Semestinya cukup “Selamat Idul Fitri” atau “Selamat Hari Raya Fitri”. []


0 comments: