عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. ) رَوَاهُ
البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ (
Dari Abu Hurairah radliyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman yang Sempurna
Di antara kesempurnaan iman
adalah dengan berkata yang baik, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu. Jika
tidak dapat berkata yang baik, lebih baik diam.
Bagaimana jika seseorang belum atau
tidak melaksanakan ketiga hal tersebut, apakah secara otomatis imannya hilang? Ibnu
Hajar al-Haitami dalam al-Fathu al-Mubin bi Syarhi al-Arba’in menjelaskan,
apabila ketiga hal tersebut tidak dilaksanakan maka tidak sempurnalah iman
seseorang. Ia tetap dibilang memiliki iman, namun tidak sempurna.
Al-Haitami menganalogikan dengan ucapan
seorang ayah kepada anaknya, “Jika kamu benar-benar anakku, maka taatlah
kepadaku.” Kalimat ini dimaksudkan oleh sang ayah untuk memotivasi dan merangsang
sang anak agar selalu taat kepada ayahnya. Bisa jadi pula kalimat tersebut merupakan
ancaman orang tua kepada anaknya. Jika suatu ketika sang anak tidak taat kepada
ayahnya, bukan berarti ia tidak lagi disebut sebagai anak. Ia tetap menjadi
anak, namun tidak sempurna tugas ia sebagai anak karena durhaka kepada orang
tuanya.
Berkata yang Baik atau Diam
Lisan merupakan salah satu
anggota tubuh manusia yang paling banyak menebarkan kebaikan sekaligus juga berpotensi
melahirkan keburukan. Rasulullah bersabda, “Tidak akan lurus keimanan seorang
hamba hingga telah lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya hingga telah
lurus lisannya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat keimanan sehingga ia menahan
lisannya.” (HR. Ath-Thabrani)
Lisan yang terlalu banyak berbicara,
lama-kelamaan bisa terpeleset membicarakan hal-hal yang haram, bahkan berujung
melukai hati orang lain. Karena itulah Umar bin Khattab berwasiat, “Siapa yang
banyak bicara, banyak pula kesalahannya. Siapa yang banyak kesalahannya, banyak
pula dosanya. Siapa yang banyak dosanya, nerakalah tempat yang layak baginya.”
Muliakan Tetangga
Manusia adalah makhluk sosial. Ia
butuh berinteraksi dan saling membantu. Saat dihadapkan pada masalah atau kebutuhan,
orang terdekatlah yang kita mintai bantuan dan pertolongan. Dari sekian banyak
orang, tetanggalah orang terdekat kita secara fisik karena rumahnya memang
bersebelahan atau tidak jauh dari rumah kita. Wajar jika Rasulullah mewasiatkan
agar kita senantiasa berbuat baik kepada tetangga.
Wasiat itu pula yang didapatkan
Rasulullah dari Malaikat Jibril. Rasulullah bersabda,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى
ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat Jibril tidak henti-hentinya berpesan
kepadaku (agar selalu berbuat baik) kepada tetangga sampai-sampai
aku mengira bahwa bahwa Jibril hendak menjadikannya sebagai ahli waris.” Yaitu mengira
bahwa tetangga mendapatkan bagian warisan karena merekalah orang yang memberikan banyak bantuan.
Menyakiti tetangga menjadi salah
satu penyebab kehancuran hubungan bersosial, juga menunjukkan lemahnya keimanan
seseorang. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidak berimah! Demi Allah, tidak
berimah! Demi Allah, tidak berimah!” Seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, siapakah dia?” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang yang tetangganya
tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
Para ulama menjelaskan bahwa
tetangga itu ada tiga macam:
Tetangga muslim yang memiliki hubungan
kerabat. Maka ia memiliki 3 hak, yaitu: hak tetangga, hak kekerabatan, dan hak
sesama muslim.
Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan. Maka ia memiliki 2 hak, yaitu: hak tetangga, dan hak sesama
muslim.
Tetangga non-muslim. Maka ia hanya memiliki
satu hak, yaitu hak tetangga.
Muliakan Tamu
Memuliakan tamu merupakan salah
satu bentuk kesempurnaan iman. Memuliakan tamu tidak sebatas menyambutnya
dengan tutur kata yang baik, tetapi juga dengan sikap dan perbuatan yang menyenangkan.
Menjamu tamu merupakan kebiasaan atau
sunnah Nabi Ibrahim sehingga turun-temurun dan menjadi sunnah pula bagi Nabi
Muhammad. Nabi Ibrahim, dialah orang yang pertama kali melakukan perbuatan mulia
menjamu tamu. Allah mengisahkannya dalam Alquran surah adz-Dzariyat ayat 24-27.
Di antara cara memuliakan tamu adalah
dengan berwajah ceria, memberikan jamuan makanan yang baik sesuai dengan
kemampuan, memberikan penginapan jika dibutuhkan, dan berbicara dengan
pembicaraan yang baik.
Batasan waktu yang wajib dalam
memuliakan tamu adalah sehari semalam, dan setelah itu hukumnya sunnah. Dan
tidak seyogyanya bagi tamu berlama-lama ketika bertamu, akan tetapi ia duduk
sesuai dengan keperluan. Jika telah bertamu lebih dari tiga hari, maka
hendaklah ia meminta izin kepada tuan rumah, sehingga ia tidak memberatkannya.
Apabila seorang tamu hendak
menginap, hendaklah tidak melebihi dari tiga hari sebagaimana ajaran Nabi
Muhammad: “Jamuan hak tamu berjangka waktu tiga hari. Lebih dari itu, jamuan
adalah sedekah. Tidak boleh bagi tamu menginap di suatu rumah hingga ia
menyusahkan pemilik rumah.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalil Lain tentang Berkata Baik
عن مالك بن يُخامِر قال: قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : اِحْفَظْ لِسَانَكَ. (رواه أحمد و الترمذي و ابن ماجه و
ابن عساكر)
Dari Malik bin Yukhamir,
dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jagalah
lisanmu.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu ‘Asakir)
عن سهل بن سعد الساعدي عن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال: من يضمَنْ لي ما بين لَحيَيْه وما بين رِجلَيْه أضمنُ له
الجنَّةَ (رواه البخاري)
“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa
yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua
kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه
و سلم قال : إنَّ العبدَ ليتكلَّمُ بالكلمةِ من رضوانِ اللهِ ، لا يُلقي لها بالًا
، يرفعُ اللهُ بها درجاتٍ ، وإنَّ العبدَ ليتكلَّمُ بالكلمةِ من سخطِ اللهِ ، لا يُلقي
لها بالًا ، يهوي بها في جهنَّمَ (رواه البخاري).
“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat
yang mendatangkan keridhoan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab
perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan sungguh seorang hamba
mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia
menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke
dalam api neraka.” (HR. Bukhari)
عن أنس بن مالك قال: قال صلَّى اللَّهُ
عليهِ وسلَّمَ: لا يَسْتَقِيمُ إِيمانُ عبدٍ حتى يَسْتَقِيمَ قلبُهُ ، ولا يَسْتَقِيمُ
قلبُهُ حتى يَسْتَقِيمَ لسانُهُ ، ولا يدخلُ رجلٌ الجنةَ لا يَأْمَنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ
(رواه أحمد).
“Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga
lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya. Dan orang
yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk
surga.” (HR. Ahmad)
عن عبدالله بن عمرو قال: قال صلى الله
عليه و سلم : إنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ يُبغِضُ البليغَ من الرِّجالِ ، الَّذي يتخلَّلُ
بلسانِه تخلُّلَ الباقرةِ بلسانِها (رواه أحمد
و أبو داود و الترمذي).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci laki-laki yang
berlebihan dalam berbicara seperti sapi yang memainkan lidahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
dan Tirmidzi)
عن عبدالله بن مسعود قال : سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول : أكثرُ خطايا ابنِ آدمَ في لسانِه (رواه الطبراني و
البيهقي ).
“Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.” (HR. Thabarani dan al-Baihaqi)
عن عبدالله بن عمرو قال: قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : مَنْ صَمَتَ نَجَا (رواه أحمد و الترمذي و الطبراني).
Dari Abdullah bin Umar,
dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang diam
maka akan selamat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan ath-Thabrani)
يا رسول الله!
إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها،
هي في النار
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat
malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah
bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ياَ رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ فُلاَنَةَ
تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ، وَتَفْعَلُ، وَتَصَدَّقُ، وَتُؤْذِيْ جِيْرَانَهَا
بِلِسَانِهَا؟
“Wahai Rasulullah, si fulanah sering
melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga
berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,
لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ
“Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia
adalah penduduk neraka.” Para sahabat lalu berkata,
وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ،
وَتُصْدِقُ بِأَثْوَارٍ ، وَلاَ تُؤْذِي أَحَداً؟
“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan
shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu
tetangganya.” Beliau bersabda,
هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Dia adalah dari penduduk surga.”
Dalil Lain tentang Memuliakan
Tetangga
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ
عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِـجَارِهِ
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah
adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik
di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At
Tirmidzi dan Abu Daud)
وَاللهِ لَا
يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman,
tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau
menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘”
(HR. Bukhari dan Muslim)
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ
الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya
sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al-Baihaqi)
إِذَا طَبَخْتَ
مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ
مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ
“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah
kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada
mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim)
Dalil Lain tentang Memuliakan
Tamu
الضِّيَافَةُ
ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ
أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ
يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun
memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada
tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya
Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa
untuk menjamu tamunya.”[]
1 comments:
Izin copas artikel nya Tuan, semoga jadi jariyah untuk anda Tuan
Post a Comment