ads
Wednesday, July 25, 2018

July 25, 2018


Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru dalam dunia pendidikan. Gagasan ini baru mengemuka pada 1970-an di Amerika bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran “interkulturalisme” seusai Perang Dunia II. Kesadaran ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sebagai akibat dari meningkatnya migrasi ke Amerika dan negara-negara Eropa.
Gagasan pendidikan multikultural berkelindan dengan kemunculan gerakan hak-hak sipil yang terjadi pada 1960-an di Amerika yang dilatarbelakangi adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif di negara tersebut selama 1950-an. Diskriminasi ini dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas utamanya penduduk pendatang dan masyarakat kulit hitam (Abdullah Aly, 2011: 88-89).
Diskriminasi menyentuh pula ranah pendidikan, di mana lembaga-lembaga pendidikan di Amerika saat itu tidak memberi kesempatan yang sama kepada semua ras, khususnya kepada anak-anak kulit hitam dan anak-anak cacat, untuk memperoleh pendidikan (James A. Banks, 1989: 4-5).
Di Indonesia, diskursus pendidikan multikultural mulai masuk dan diterima sekira tahun 2000. Pengaminan terhadap gagasan ini didasarkan pada fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak problem berkaitan dengan eksistensi sosial, etnik, dan kelompok keagamaan yang beragam. Pendidikan multikultural diharapkan dapat melahirkan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat, yang menghormati keragaman dan bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) sebagaimana semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.
Jauh sebelum Amerika menggagas pendidikan multikultural, semangat multikulturalisme senyatanya telah diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw, salah satunya melalui shahifah Madinah (Piagam Madinah). Piagam ini menekankan pentingnya hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar di satu pihak dan dengan orang-orang Yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama, saling melindungi hak milik, dan mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan Madinah. Semua golongan, termasuk muslim, Yahudi, dan penganut paganisme diberi kebebasan yang sama dalam berpikir, menyatakan pendapat, dan melaksanakan ajaran agama.
Penanaman spirit Piagam Madinah dalam konteks pendidikan multikultural, meniscayakan peneguhan kesadaran atas keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (democration value).  Dengan prinsip-prinsip tersebut diharapkan tidak terjadi lagi diskriminasi pendidikan. Setiap warga negara dengan beragam kemajemukannya (termasuk kemajemukan mengeskpresikan ajaran agamanya) berhak mendapat perlakuan yang sama, adil, dan manusiawi untuk menikmati pendidikan secara nyaman tanpa intimidasi. Tekanan dan upaya penyeragaman ––atau sering disebut politik monokulturalisme–– sebagaimana dilakukan pemerintahan Orde Baru tentu kontraproduktif bagi pengembangan pendidikan multikultural di Indonesia. Di sinilah Piagam Madinah layak dikontekstualisasikan dalam lanskap keindonesiaan sebagai spirit dan inspiratornya.

*) Tulisan ini saya kirimkan ke kolom Suara Mahasiswa Koran Republika pada 13 Maret 2018, baru dimuat di koran tersebut pada 9 Juli 2018.


Kantor Republika perwakilan Yogyakarta
Jl. Prau No.2, Kotabaru, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224

0 comments: