Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif
baru dalam dunia pendidikan. Gagasan ini baru mengemuka pada 1970-an di Amerika
bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran “interkulturalisme” seusai Perang Dunia
II. Kesadaran ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional
menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial, juga
karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sebagai akibat dari meningkatnya
migrasi ke Amerika dan negara-negara Eropa.
Gagasan pendidikan multikultural berkelindan dengan
kemunculan gerakan hak-hak sipil yang terjadi pada 1960-an di Amerika yang dilatarbelakangi
adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif di negara tersebut selama
1950-an. Diskriminasi ini dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas utamanya penduduk pendatang dan masyarakat kulit hitam (Abdullah Aly,
2011: 88-89).
Diskriminasi menyentuh pula ranah pendidikan, di mana
lembaga-lembaga pendidikan di Amerika saat itu tidak memberi kesempatan yang
sama kepada semua ras, khususnya kepada anak-anak kulit hitam dan anak-anak
cacat, untuk memperoleh pendidikan (James A. Banks, 1989: 4-5).
Di Indonesia, diskursus pendidikan multikultural mulai masuk
dan diterima sekira tahun 2000. Pengaminan terhadap gagasan ini didasarkan pada
fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak problem berkaitan
dengan eksistensi sosial, etnik, dan kelompok keagamaan yang beragam. Pendidikan
multikultural diharapkan dapat melahirkan masyarakat multikultural Indonesia
yang sehat, yang menghormati keragaman dan bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) sebagaimana semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal
Ika.
Jauh sebelum Amerika menggagas pendidikan multikultural,
semangat multikulturalisme senyatanya telah diteladankan oleh Nabi Muhammad
Saw, salah satunya melalui shahifah Madinah (Piagam Madinah). Piagam ini menekankan pentingnya
hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar di satu pihak dan
dengan orang-orang Yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama,
saling melindungi hak milik, dan mempunyai kewajiban yang sama dalam
mempertahankan Madinah. Semua golongan, termasuk muslim, Yahudi, dan penganut
paganisme diberi kebebasan yang sama dalam berpikir, menyatakan pendapat, dan
melaksanakan ajaran agama.
Penanaman spirit Piagam Madinah dalam konteks pendidikan
multikultural, meniscayakan peneguhan kesadaran atas keragaman (plurality),
kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice),
dan nilai-nilai demokrasi (democration value). Dengan prinsip-prinsip tersebut diharapkan
tidak terjadi lagi diskriminasi pendidikan. Setiap warga negara dengan beragam kemajemukannya
(termasuk kemajemukan mengeskpresikan ajaran agamanya) berhak mendapat perlakuan
yang sama, adil, dan manusiawi untuk menikmati pendidikan secara nyaman tanpa intimidasi.
Tekanan dan upaya penyeragaman ––atau sering disebut politik monokulturalisme––
sebagaimana dilakukan pemerintahan Orde Baru tentu kontraproduktif bagi pengembangan
pendidikan multikultural di Indonesia. Di sinilah Piagam Madinah layak dikontekstualisasikan
dalam lanskap keindonesiaan sebagai spirit dan inspiratornya.
*) Tulisan ini saya kirimkan ke kolom Suara Mahasiswa Koran Republika pada 13 Maret 2018, baru dimuat di koran tersebut pada 9 Juli 2018.
Kantor Republika perwakilan Yogyakarta
Jl. Prau No.2, Kotabaru, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224
0 comments:
Post a Comment