Hikmah Syawalan
Syawalan,
Halal Bihalal, atau apa pun istilahnya, adalah tradisi khas Indonesia yang sarat
dengan nilai-nilai kebaikan. Selama tidak bertabur kemaksiatan dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tradisi syawalan atau halal bihalal
layak dilestarikan.
Di
antara nilai kebaikan yang terkandung dalam tradisi ini adalah terbukanya
kesempatan untuk saling silaturahim, saling berkunjung, dan saling mengenal antara
satu saudara dengan saudara lainnya.
Setiap
lebaran, keluarga saya pun melanggengkan tradisi ini. Dari pihak ayah mertua
saya digelar Syawalan Trah Kromosono (keluarga besar Simbah Buyut Kromosono).
Sementara dari pihak ibu mertua diadakan Syawalan Trah Haji Syaibani (keluarga
besar Simbah Buyut Haji Syaibani).
Di
Jogja, tradisi ini sudah sangat mengakar. Hampir semua keluarga besar
menggelarnya. Dalam tradisi ini terlihat nyata kemanfaatannya. Semua keluarga
dan saudara, baik saudara dekat maupun jauh, berkumpul bersama. Mereka yang
semula tidak saling mengenal, menjadi saling mengenal. Mereka yang semula tak
bertegur sapa, menjadi cair dan hangat dalam perbincangan-perbincangan ringan.
Rukun,
damai, harmonis, dan bersaudara. Suasana itulah yang membuat saya iri, dan
ingin menggelarnya di keluarga saya di Purwodadi. Alhamdulillah, sudah lima tahun
ini Syawalan Bani Muslih Djuremi berhasil kami gelar.
Tidak
seperti Syawalan Trah Kromosono dan Trah Haji Syaibani yang dihadiri lebih dari seratus saudara, Syawalan Bani Muslih Djuremi dihadiri 17 orang saja. Maklum, karena Syawalan
yang kami adakan bukan keluarga besar dari simbah atau simbah buyut, melainkan keluarga
kecil, anak dan cucu dari ayah saya.
Muslih
Djuremi adalah ayah saya. Almarhum memiliki lima orang anak laki-laki, dan saya
adalah anak keempat. Akan tetapi, karena kakak kandung saya meninggal, bergeserlah
saya menjadi anak ketiga. Kakak pertama saya bernama Miftahul Huda (mempunyai 2
anak). Kakak kedua bernama Rohmi Abdul Halim (mempunyai 3 anak), sedangkan adik
saya bernama Asnawi Lathif (mempunyai 1 anak).
Berawal dari 17 orang ini, semoga kelak jika beranak-pinak, tradisi Syawalan Bani Muslih Djuremi tetap dijaga.
Berawal dari 17 orang ini, semoga kelak jika beranak-pinak, tradisi Syawalan Bani Muslih Djuremi tetap dijaga.
Keluarga Bani Muslih Djuremi |
Anjuran
Merunut dan Menulis Silsilah
Syawalan
keluarga bisa menjadi momentum yang tepat untuk mengenal saudara dengan merunut
dan menulis silsilahnya. Kanjeng Nabi pernah bersabda,
تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الأَهْلِ ، مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ ، مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِ
"Pelajarilah dari nasab (garis
keturunan) kalian apa yang membuat kalian bisa menyambung tali silaturahim;
karena silaturahim dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, melapangkan
harta, dan memanjangkan umur.” (HR. Tirmidzi)
Di
antara manfaat merunut dan menulis silsilah adalah:
- Saling mengenal antarsaudara. Dengan saling mengenal akan mengertilah kedudukan kita dengan saudara lainnya. Dengan begitu, akan lahirlah sikap menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
- Dengan adanya kejelasan nasab/silsilah, kita akan mengetahui siapa saja yang menjadi ahli waris. Ini sangat penting untuk keperluan pembagian warisan.
- Dengan adanya kejelasan nasab/silsilah, kita menjadi tahu siapa yang termasuk mahram. Bukan muhrim, lho, ya... muhrim itu artinya orang yang sedang melaksanakan ihram (haji atau umroh), sedangkan mahram ialah orang yang haram kita nikahi.
Jangan
sampai anak angkat kita tulis dalam garis nasab sebagai anak kandung, karena hakikatnya
dia adalah orang lain, bukan anak kandung. Sebagai orang lain (ajnabi/ajnabiyah)
maka berlaku hukum sebagai orang lain pula. Misalnya, jika anak angkat itu
perempuan, maka (menurut madzhab Syafi’i) membatalkan wudhu jika saya bersentuhan
kulit dengannya. Sebagai orang lain, saya boleh-boleh saja menikahinya. Dan,
sebagai orang lain, jika dia hendak menikah dengan lelaki lain, saya tidak
boleh menjadi walinya.
Rasulullah
bersabda,
مَنْ
ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ
عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Siapa
yang mengaku-aku anak dari seseorang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu
bahwa lelaki itu bukanlah bapaknya, maka haram baginya surga.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Dahulu
Rasulullah juga mempunyai anak angkat yang sangat beliau sayangi. Namanya Zaid
bin Haritsah. Saking sayangnya beliau kepada Zaid, para sahabat biasa menyebut
Zaid bin Muhammad. Padahal senyatanya Zaid bukanlah putra Nabi Muhammad,
melainkan putra dari Haritsah.
Allah
tidak menghendaki itu. Karena itulah Dia memerintahkan para sahabat agar
menyebut Zaid bin Haritsah, bukan Zaid bin Muhammad. Firman Allah Ta’ala,
اُدْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu[1]....”
(Q.S. Al-Ahzab [33]: 5)
Walaupun
secara nasab Zaid tidak boleh disebut sebagai bin (putra) Muhammad,
tetapi secara sosial Zaid tetap disayangi oleh Nabi seperti layaknya anak
sendiri. Kasih sayang beliau tidak hanya berhenti kepada Zaid. Bahkan, beliau
juga sangat menyayangi anak lelaki Zaid, yaitu Usamah bin Zaid.
Sebagaimana
kita tahu, dahulu Zaid bin Haritsah dinikahkan oleh Nabi dengan seorang
perempuan bernama Zainab binti Jahsy.[2] Akan tetapi, kehidupan
rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Mereka bercerai.
Pada
zaman itu, masyarakat Arab meyakini bahwa mantan istri dari anak angkat tidak
boleh dinikahi oleh ayah angkat. Keyakinan seperti ini jelas keliru. Oleh
karena itulah, atas perintah Allah, Kanjeng Nabi mengajarkan bahwa mantan istri
dari anak angkat boleh dinikahi oleh ayah angkat. Beliau lalu menikahi Zainab binti Jahsy, janda dari Zaid bin Haritsah.
Selepas
bercerai dari Zainab binti Jahsy, Zaid bin Haritsah lalu menikah dengan Ummu
Aiman, perempuan yang sangat dihormati Kanjeng Nabi selayaknya anak menghormati
ibunya. Dialah perempuan yang menjadi asisten rumah tangga Aminah, ibunda
Kanjeng Nabi. Tatkala Aminah meninggal, Ummu Aimanlah yang merawat dan mengasuh
Kanjeng Nabi. Dari pernikahan Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman inilah lahir
seorang pejuang bernama Usamah bin Zaid.
Mencoba
Merunut Silsilah Saya
Untuk
merunut dan mencatat silsilah/nasab ternyata tidaklah mudah. Saat catatan
sampai pada garis anak, kesulitan belumlah terasa. Tetapi, ketika anak-anak itu
kemudian melahirkan anak-anak lagi alias cucu, kemudian lahir dan berkembang pula
garis buyut dan seterusnya, di sinilah kesulitan akan terasa.
Saya
juga memiliki catatan silsilah dari pihak bapak saya. Entah siapa yang telah merunutnya
dan menuliskannya. Yang jelas, kata keluarga saya, catatan itu shahih. Mungkin simbah-simbah
dan para orang tua terdahulu memang sabar, tekun, dan telaten menuliskannya.
Berikut
garis silsilah saya dari pihak Bapak, Muslih bin Djuremi.
Jika
garis silsilah tersebut ditarik dari leluhur yang lebih atas lagi, akan tampaklah
garis-garis silsilah seperti ini.
Jangan
Bangga dan Sombong!
Setelah
mengetahui garis silsilah kita, jangan sampai kesombongan meruntuhkan
kerendahan hati kita. Keturunan siapa pun kita, di hadapan Allah itu tiada
guna. Hanya ketakwaan yang membuat kita mulia di depan-Nya. Sebaliknya, jika
kita durhaka kepada-Nya, walaupun kita keturunan orang mulia, tiada balasan
yang tepat kecuali neraka.
firman
Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat:
13)
Anda
pernah mendengar nama Kan’an, kan? Dia adalah anak lelaki dari Nabi Nuh. Namun sayang,
walaupun keturunan Nabi, dia tidak mau beriman kepada Allah. Dia justru durhaka
kepada-Nya sehingga nerakalah balasan baginya.
Oleh
karena itu, jika ada seseorang menyombongkan nasabnya atau garis keturunannya,
misalnya dengan menyebut “saya ini keturunan Pangeran Diponegoro”, jawab saja “Saya
malah keturunan nabi, yaitu Nabi Adam.” Hehe... J
Wallahu
a’lam
[1] Maula ialah
hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak
angkat, seperti Salim anak angkat Hudzaifah disebut Salim maula Hudzaifah.
[2] Zainab
binti Jahsy adalah sepupu Kanjeng Nabi. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul
Muththallib. Sementara Kanjeng Nabi adalah putra dari Abdullah bin Abdul
Muththallib. Umaimah (ibunda Zainab) dan Abdulllah (ayahanda Kanjeng Nabi)
sama-sama putra Abdul Muththallib dari ibu bernama Fathimah binti Amr.
Selengkapnya silakan klik link ini: http://nabimuhammad.info/umaimah-binti-abdul-muthalib/
4 comments:
lengkap banget kangg :) semoga silaturahmi nya tetap terjaga :) saya juga sering di beri pepatah oleh kakek tentang penting nya hala bihala namun sayang nya tahun ini kakek sudah wafat :(
Aamiin... terima kasih doanya, Mas Effendi. Doa pula untuk kakek Mas Effendi, semoga amal baiknya diterima Allah Ta'ala.
Senengnya bisa kumpul bareng keluarga ya gan! ...
Tentu, Mas.
Post a Comment