Apa yang Anda bayangkan jika al-Qur’an tidak bertitik dan bertanda baca (harakat/syakal)? Pasti kesulitan atau bahkan mustahil bisa membacanya, kan?
Pada masa Nabi Muhammad dan
Khulafa’ur Rasyidin, al-Qur’an memang tidak bertitik dan bertanda baca. Namun, seiring
perkembangan zaman dan semakin meluasnya wilayah Islam, banyak kaum muslimin yang kesulitan
membacanya.
Akhirnya, muncul
inisiatif untuk membuat sesuatu yang bisa membantu umat Islam dalam membaca
al-Qur’an, yaitu pemberian titik dan tanda baca. Ini dilakukan setelah 40 tahun
umat Islam membaca al-Qur’an tanpa titik dan tanda baca.
Proses pemberian titik
dan tanda baca ini melalui tiga fase.
- Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Dia menugaskan Abul Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca di tiap akhir kata/kalimat (i'rab) dalam bentuk titik.
- Kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan. Dia menugaskan al-Hajjaj bin Yusuf agar memberi titik sebagai pembeda antara satu huruf dan huruf lainnya. Misalnya, huruf ba' dengan satu titik di bawah, huruf ta’ dengan dua titik di atas, dan tsa’ dengan tiga titik di atas.
- Ketiga, pada masa Dinasti Abbasiyah, diberilah tanda baca berupa dhammah, fathah, kasrah, tasydid, dan sukun untuk memperindah dan mempermudah umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Adalah Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidy yang memiliki jasa besar dalam hal ini.
Begitulah sejarah
singkat munculnya titik dan tanda baca dalam huruf-huruf al-Qur’an. Agar Sobat
Blogger bisa merasakan bagaimana sulitnya membaca huruf Arab tanpa titik dan
tanda baca, berikut saya sertakan satu contohnya.
Apa yang bisa Anda baca dari
tulisan di atas?
Mungkin Anda akan
langsung berpikir, pasti itu tulisan ayat ke-5 dari surat al-Fatihah.
Anda benar! Tulisan di
atas memang bisa dibaca:
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (QS. Al-Fatihah:
5).
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan.”
Tapi, jangan heran jika
tulisan di atas juga bisa dibaca secara berbeda, menjadi:
Ataaka bi’abdin wa
ataaka bisab’iina.
“Aku kirimkan kepadamu
seorang budak, dan aku kirimkan uang sebanyak 70.”
Karena itulah, pernah
terjadi suatu peristiwa terkait tulisan tersebut. Wallahu a’lam, apakah peristiwa tersebut benar-benar nyata atau sekadar rekaan yang bertujuan semata-mata untuk pembelajaran
kita.
Ceritanya begini.
Suatu hari, seorang ulama
mengutus seorang budak agar menyerahkan sekantong uang kepada ulama lain. Untuk
memudahkan cerita, kita sebut saja Ulama A sebagai pemberi uang, dan Ulama B
sebagai penerima uang.
Baiklah, kita lanjutkan
ceritanya. Si budak bergegas melakukan perjalanan menuju rumah Ulama B. Di
tengah perjalanan muncullah pikiran busuk si budak. Dia buka kantong itu. Ternyata
isinya uang dan selembar kertas. Uangnya berjumlah 70 dinar, sementara
kertasnya bertuliskan:
Dalam batin si budak, “Ah,
aku kira kertas ini berisi surat penting. Ternyata hanya berisi tulisan ayat ke-5 dari surat
al-Fatihah.”
Karena dalam kertas itu tidak disebutkan pesan apa pun yang berhubungan dengan uang, maka pikiran busuk si budak semakin menjadi-jadi. Dia ambil sedikit uang dari kantong itu.
Karena dalam kertas itu tidak disebutkan pesan apa pun yang berhubungan dengan uang, maka pikiran busuk si budak semakin menjadi-jadi. Dia ambil sedikit uang dari kantong itu.
“Pastilah Ulama B tidak
akan tahu kalau uangnya sudah aku ambil sebagian,” batin si budak.
Ulama B menerima
sekantong uang tersebut, lalu membuka isinya dan membaca selembar kertas yang terselip di dalamnya. Ulama B manggut-manggut, lalu menghitung uang yang ada dalam kantong.
“Isinya kok kurang
dari 70 Dinar?” ucap Ulama B kepada si budak. “Apakah ada yang mengambilnya?”
Si budak kelimpungan. Dia
mencoba berbohong. Tapi, setelah didesak, dia mengaku telah mengambilnya sebagian.
“Bagaimana Tuan Ulama
bisa tahu uangnya telah berkurang?” tanya si budak.
Ulama B lalu menjelaskan
bahwa selembar kertas yang dikira oleh si budak hanya berisi ayat ke-5 dari surat al-Fatihah, sebetulnya adalah pesan pendek dari Ulama A, yang bunyinya:
Ataaka bi’abdin wa
ataaka bisab’iina.
“Aku kirimkan kepadamu
seorang budak, dan aku kirimkan uang sebanyak 70.”
Dari situlah Ulama B
mengetahui bahwa uang dalam kantong yang dia terima telah dikorupsi oleh si budak. J
Ada pula cerita lain yang membuktikan betapa titik dalam huruf Arab itu sangat penting pada zaman ini. Kurang satu
titik saja, bisa berakibat fatal. Bahkan, berujung kematian.
Ceritanya begini...
Ceritanya begini...
Seorang anak mendatangi
tabib untuk meminta resep.
“Siapa yang sakit?”
tanya si Tabib.
“Ayah saya,” jawab anak
tersebut.
Si Tabib lalu mendiktekan
secara lisan suatu resep kepada anak tersebut.
“Habbatun sauda’ dawa’un
likulli da’,” kata si Tabib.
Artinya, biji hitam adalah obat untuk segala
penyakit.
Si anak lalu menulisnya.
Sayangnya, si anak kurang cermat dalam menulis resep itu. Satu titik tertambahkan
dalam huruf ba’, sehingga menjadi:
Hayyatun sauda’ dawa’un
likulli da’.
Artinya,
ular hitam adalah obat untuk segala penyakit.
Membaca resep itu, si Ayah
cepat-cepat ke kebun untuk mencari ular yang berwarna hitam sesuai resep. Apa yang terjadi? Bukan sembuh yang didapat, si Ayah justru mati digigit ular
hitam. J
Begitulah betapa kita
berutang besar kepada para ulama yang telah membuat kreasi titik dan tanda
baca untuk memudahkan kita membaca huruf-huruf Arab, utamanya membaca al-Qur'an.
Wallahu a’lam
13 comments:
Baru tahu kang tak kirain sudah sedemikian rupa diturunkan seperti yg saat ini saya tahu :) nice share
Smg Allah merahmati pendahulu kita yg telah berijtihad memberikan titik dan tanda baca dlm Al-Qur'an. Kalau tidak ada titik dan tanda baca, bisa salah2 kita bacanya, ya...
satu titk dalam meletakkan pada ayat kuran sudah lain makna nya :D
Tidak apa-apa, Mbak. Sebetulnya buanyak sekali saudara kita yang mempunyai anggapan yang sama dengan Mbak Herva kok.
Alhamdulillah, sekarang sudah tahu, ya, Mbak. :)
Aamiin ya Rabb...
Tak bisa aku bayangkan aoa jadinya kalau tak ada titik dan tanda baca, Mbak. Lha wong sudah ada saja masih kesulitan membaca, apalagi kalau tidak ada sama sekali. :)
Iya, Mas CB. Bisa berubah total maknanya. :)
benar ya mas ada sejarahnya titik dan tanda baca dalam alquran
ih ia serupa ternyata yang bertanda dengan tidak, wah apa jadinya kalau harus baca tanpa tanda baca, bingung dong ya,hehe
Semua ada penjelasannya ya pak, kalau kita mau mempelajarinya dengan baik Insya Allah kita bisa memahami Al-Quran dengan baik pula.
Tak kebayang andai tidak ada para ahli tata bahasa Arab yang menemukan titik dan tanca baca itu, pasti kita cuma bisa garuk-garuk kepala tanpa bisa membaca. :)
Iya, Kang Maman. Betul banget. :)
Subhanallah..tulisan ini sangat bermanfaat. semoga Allah senantiasa memberi pahala kepada sang penulisnya.
Terimakasih
Alhamdulillah...
Aamiin, terima kasih banyak, Mas Mustaqim Abdullah.
Tapi saya pengen tau kang pada tahun berapa dibuatnya titik dan syakal
Post a Comment