“Maaf,
Pakne, aku tidak mau lagi shalat berjamaah denganmu,” ucap seorang istri
kepada suaminya. Sebut saja perempuan itu Wati, walaupun dalam KTP tertulis
Wathi (pakai tho’).
“Kenapa,
Makne?”
“Karena
cara sujud Panjenengan keliru, Pakne. Tidak sesuai sunnah Nabi.
Seharusnya tangan dulu yang turun, baru kemudian lutut. Tapi, Panjenengan
malah sebaliknya.”
“Siapa
bilang cara sujudku itu keliru?”
“Kata
Ustad Juhal, Pengasuh Majelis Taklim al-Mauza.”
“Belghedessss….!
Justru sampeyan yang tidak sesuai sunnah Nabi, Bune! Sudah khilafus-sunnah,
masih taqlid lagi. Dosa sampeyan dobel, Bune.”
“Taqlid?
Siapa yang taqlid?”
“Ya,
sampeyan itu! Sampeyan sudah taqlid kepada Ustad Juhal.”
“Kalau
Ustad Juhal Panjenengan anggap salah, terus yang benar bagaimana?”
“Makanya
baca hadits Nabi, jangan cuma taqlid kepada Ustad Juhal. Taqlid
kepada ustad itu dosa dan menyesatkan,” cetus sang Suami. Dia lalu membaca sepenggal terjemahan suatu
hadits: “…dan hendaklah dia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.”
“Hadits
yang aku bacakan itu shahih, lho, Bune,” lanjut sang Suami.
“Panjenengan
kok tahu kalau itu hadits shahih, Pakne?”
“Di
internet banyak disebut kok, bahwa hadits itu dishahihkan oleh Syaikh Albany. Makanya,
baca hadits, Bune. Jangan cuma taqlid kepada Ustad Juhal terus.”
“Bukannya
Panjenengan juga taqlid, Pakne? Pertama, Panjenengan
taqlid kepada penerjemah. Yang sedang Panjenengan pelajari itu terjemahan
hadits, bukan teks asli hadits. Benar begitu, kan, Pakne? Kedua, Panjenengan
taqlid kepada Syaikh Albany. Panjenengan tidak meneliti sendiri
kualitas hadits tersebut, tetapi hanya manut pendapat Syaikh Albany. Berarti
kita sama, Pakne.”
“Sama
apanya, Bune?”
“Sama-sama
taqlid-nya,” sahut sang Istri sambil mesam-mesem. “Cuma bedanya,
saya taqlid kepada Ustad Juhal, sedangkan Panjenengan taqlid kepada
penerjemah dan Syaikh Albany.” J
Seketika
sang Suami menekuk wajahnya ke tanah.
“Yo
wes, daripada kita engkel-engkelan, kita ambil jalan tengah saja
yang adil. Bukan tangan, juga bukan lutut dulu, yang kita turunkan saat sujud,
tapi bathuk alias dahi kita. Piye? Setuju?”
***
Apa
jadinya jika mereka benar-benar sujud dengan cara begitu; menjatuhkan dahi dulu
ke lantai? Duuuuhhh, pasti menyakitkan!
Anda
mau coba? Silakan! Dijamin langsung benjol dan nyut-nyutan. Hehehe....
Kamus Jawa-Indonesia
Pakne
|
:
|
Papa,
panggilan khas ala kampung istri kepada suami
|
Makne/Bune
|
:
|
Mama/Bunda,
panggilan khas ala kampung suami kepada istri
|
Sampeyan
|
:
|
Kamu
|
Panjenengan
|
:
|
Anda
(lebih halus daripada sampeyan)
|
Mesam-mesem
|
:
|
Senyum-senyum
|
Yo
wes
|
:
|
Ya
sudah
|
Engkel-engkelan
|
:
|
Bergontokan,
bertengkar, berdebat
|
Bathuk
|
:
|
Dahi,
kening, jidat
|
Piye
|
:
|
Bagaimana
|
6 comments:
wah kalau dahi dulu bisa benjol beneran pak
istrinya langsung diem hehe
Hehehe.... mau mempraktikkan? :))
Wahahah ada kosa kata bahasa daerah (Jawa) ya Mungkin disertakan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (diberi dalam kurung). Kebetulan saya kurang paham bahasa Jawa
Oh, iya, Mas. Maaf, saya lupa kalau Mas Asep bukan dari Jawa. :) Salam untuk keluarga di Borneo, ya, Mas.
Percakapan yang sangat seru tuh kang .. hehehe, nice artikelnya
Terima kasih, Mas, intermeso saja kok. Hehe
Post a Comment