ads
Thursday, July 16, 2015

July 16, 2015
8
Manakala terjadi dua hari raya dalam sehari[1], mengemukalah kembali pertanyaan sebagian umat Islam tentang pelaksanaan Shalat Jumat; apakah Shalat Jumat tetap wajib dikerjakan atau boleh ditinggalkan.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang tetap mewajibkan dan ada pula yang tidak.

Tetap Wajib Shalat Jumat
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah. Mereka berpendapat bahwa shalat Jumat tetap wajib dikerjakan walaupun bertepatan dengan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha). Mereka berpijak pada keumuman dalil kewajiban Shalat Jumat, di antaranya firman Allah Swt,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Akan tetapi, dalam hal ini, para ulama Syafi'iyah memberi ketentuan rinci sebagai berikut.
1.     Apabila seseorang tinggal di suatu tempat yang di situ didirikan shalat Jumat, atau berada dekat dari tempat pelaksanaan shalat Jumat, maka ia wajib menunaikan shalat Jumat.
2.    Apabila orang tersebut tinggal di daerah yang tidak didirikan shalat Jumat, atau berada jauh dari tempat pelaksanaan shalat Jum’at, maka boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Zuhur.

Di antara pijakan para ulama Syafi’iyah ini adalah sabda Nabi Saw,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, bahwa beliau Saw pernah bersabda, “Pada hari ini ada dua hari raya. Siapa yang menghendaki, dia boleh tidak Jumatan. Tetapi, kami akan menyelenggarakan Jumatan.” (HR. Abu Daud)

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah Saw menyelenggarakan Shalat ‘Id, kemudian beliau memberi keringanan dalam Shalat Jumat. Beliau bersabda, ‘Siapa yang menghendaki shalat Jumat maka shalatlah.”

Menurut Imam Syafi’i, maksud dari kata مَنْ شَاءَ (siapa yang menghendaki) dalam hadits di atas tidaklah ditujukan kepada semua orang yang melaksanakan Shalat ‘Id, tetapi hanya kepada ahlul aliyah (penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id), yang tentunya cukup kerepotan jika harus kembali lagi ke tempat Jumatan pada siang hari setelah sebelumnya melaksanakan Shalat ‘Id.[2]

Penjelasan tersebut disampaikan pula oleh Imam Nawawi dalam al-Muhadzdzab,

وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. ـ[3]

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat maka penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id –yang telah hadir untuk melaksanakan Shalat ‘Id– boleh kembali ke kampungnya, tidak usah mengikuti Jumatan, karena adanya riwayat dari Utsman r.a. bahwa ia berkata dalam khutbahnya, ‘Wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat ‘Id ini menghendaki ikut Shalat Jumat, silakan; dan siapa yang ingin pulang ke kampungnya, silakan ia pulang.’ Terhadap ucapan Utsman ini tidak ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya.
(kata “as-sawad”) artinya ialah penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar, (kata “al-aliyah”) Imam Jauhari mengatakan bahwa al-aliyah ialah kawasan pegunungan di atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Mekah, yakni Hijaz dan sekitarnya. Imam Syafi’i berkata: ‘Tidak boleh meninggalkan Jumatan bagi penduduk kota, kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak Jumatan, walaupun bertepatan dengan hari raya.’”

Tidak Wajib Shalat Jumat (Diganti Shalat Zuhur)
Ini adalah pendapat para ulama Hanabilah dan pendapat lain dari mazhab Syafi'i. Para ulama yang berpendapat demikian juga mendasarkan pendapat mereka kepada beberapa dalil di atas. Akan tetapi, mereka menarik kesimpulan yang berbeda. Menurut mereka, keringanan (tidak wajib shalat Jumat) itu berlaku bagi seluruh umat Islam, baik yang tinggal jauh dari tempat pelaksanaan Shalat Jumat maupun yang dekat. Walaupun demikian, mereka tetap berpandangan bahwa imam dan khatib sebaiknya tidak meliburkan Shalat Jumat supaya umat Islam yang ingin menunaikan Shalat Jumat tetap terfasilitasi.

Bagaimana Kita Menyikapi[4]
Karena ini benar-benar masalah khilafiyah, sudah sepatutnya kita berlapang hati terhadap perbedaan. Tidak perlulah kita membenturkan pendapat ulama yang satu dengan ulama yang lain. Bagaimanapun mereka telah ikhlas mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk berijtihad. Kewajiban kita—sebagai orang awam—adalah memberi penghormatan yang setinggi-tingginya atas jasa mereka.

Jika kita memilih pendapat yang pertama, tak perlulah merendahkan atau bahkan mengolok-olok saudara kita yang memilih pendapat kedua. Begitu pula sebaliknya, apabila pendapat kedua yang kita pilih, tak pantas pula kita menyalahkan saudara kita yang meyakini pendapat pertama—walaupun melaksanakan Shalat Jumat itu lebih utama dan bisa menjadi pilihan aman dari beberapa pendapat yang ada. Bukankah al-khuruj minal khilaf mustahab? [5]

Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber Gambar


[1] Maksud dari "dua hari raya dalam sehari" adalah hari raya yang jatuh pada hari Jumat.
[2] Imam Syafi'i dalam al-Umm juz 1 hlm. 212.
[4] Dalam catatan singkat ini, saya sengaja tidak mengemukakan pendapat Atha’, yang oleh para ulama masih menuai banyak kritik dan koreksi.
[5] Keluar dari perbedaan pendapat adalah baik/disenangi.

8 comments:

beyourselfwoman said...

Eh, baru baca ini. Udah telanjur ngomelin suami, tp terus diterangin suami kalau sunah jadinya. Stlh mepet2 jamnya, eh beliau jumatan juga akhirnya. Sayang, katanya hehehee

Irham Sya'roni said...

Di sini juga banyak yang tetap jumatan, Mbak. Mungkin karena sekarang ini masjid-masjid sudah banyak berdiri di kampung sehingga sangat dekat untuk jumatan.

Nathalia Diana Pitaloka said...

klo suami saya ikut pendapat yg pertama :)

Irham Sya'roni said...

Iya, Mbak. Di kampung saya juga tetap pada jumatan kok. :)

Adi Pradana said...

Saya tetap ikut jumatan... Soalnya masjid dekat dan banyak....

Irham Sya'roni said...

Iya, Mas. Sama.

Ida Farida said...

terimakasih ini sangat bermanfaat bagi saya yang masih awam

Irham Sya'roni said...

Sama-sama, terima kasih kembali, Bu Ida.