ads
Friday, August 8, 2014

August 08, 2014
"Lihatlah Pak Rudi itu!" ucap seorang lelaki yang aku kenal bernama Adnan, sembari menunjuk ke arah Pak Rudi yang sedang memasuki surau.

"Ada apa dengan Pak Rudi, Kang?" sahut yang lain.

"Di tengah kesibukannya berdagang, Pak Rudi tidak pernah melupakan shalat lima waktu," jawab Adnan.

"Tidak cuma itu, setahuku Pak Rudi itu juga suka menolong dan rendah hati kepada siapa saja," imbuh yang lain.

"Betul... Betul...," timpal Adnan, "Tidak hanya kepada sesama muslim, kepada non-muslim pun dia sangat toleran dan suka menciptakan kesejukan juga keharmonisan."

Lamat-lamat aku dengar percakapan Adnan dan teman-temannya di depan surau. Buru-buru kuhampiri mereka.

"Alaaaaahhh, kalian jangan tertipu dengan sedikit kebaikan si Rudi itu!" ucapku nyinyir.

Adnan dan teman-temannya terkesiap. Melongo. Mengernyitkan dahi mendengar ucapanku.

"Kalian jangan bengong begitu! Kalau kalian mau mencermati perilaku si Rudi, kalian akan mendapati keburukan-keburukannya," lanjutku. Aku terus menceracau tanpa memberi kesempatan kepada Adnan dan teman-temannya untuk berbicara atau menyela. "Bagaimana bisa kalian menyebut Rudi itu orang baik, lha wong jenggot saja tidak punya, tidak berjubah seperti saya, tidak rajin shalat Dhuha seperti kita, tidak bisa berdalil sebagaimana aku saat berkhotbah, bacaan Fatihahnya saja belepotan, lha wong sujudnya saja masih belum sempurna, dan masih banyak lagi keburukan-keburukan dia."

"Bukankah tidak akan pernah ada manusia yang sempurna, Kang?" Adnan menyela, "Masing-masing orang punya kelebihan dan kekurangan. Masing-masing juga punya bermiliar kebaikan dan tidak sedikit pula keburukan."

"Betul! Apa yang sampeyan katakan itu betul, Kang Adnan. Karena itulah tidak selayaknya kalian memuji si Rudi."

"Lebih tidak layak lagi jika kita memuji diri sendiri. Benar begitu, kan, Kang?" ucap yang lain.

"Betul! Pokoknya kalian jangan memuji si Rudi, juga jangan memuji kalian sendiri. Itu tidak sesuai dengan sunnah Nabi. Dosa, tahu!" tegasku.

Sekonyong-konyong terdengar suara mematahkan obrolan kami. Suara parau dengan seorang lelaki tua yang ternyata sang imam surau, Mbah Sabdo.

"Kalau Adnan dan teman-teman kamu larang memuji si Rudi, juga kamu larang memuji diri mereka sendiri, tetapi kenapa dari kamu malah asyik memamerkan kebaikanmu, Dul? Dari tadi kamu mengajarkan kebaikan, tetapi dirimu sendiri malah kamu lumuri dengan keburukan!" hentak Mbah Sabdo.

"Lho, saya kan cuma menceritakan kebaikan-kebaikan saya supaya mereka meniru saya, Mbah. Biar sesuai sunnah Nabi," jawabku membela diri.

"Sunnah Nabi, katamu?!" lagi-lagi Mbah Sabdo menghentak, "Sunnah Nabi itu banyak sekali. Kamu baru bisa melakukan sedikit saja sudah suka memvonis buruk saudaramu lain yang kebetulan tidak melakukan seperti yang kamu lakukan."

Aku terdiam. Adnan dan teman-teman juga terdiam. Mereka saling beradu pandang berharap Mbah Sabdo melanjutkan wejangannya.

"Kanjeng Nabi itu tidak pernah menghasut. Beliau lebih suka mengungkap kebaikan dan memuji orang lain daripada mendedah keburukan orang lain dan mencelanya. Ini juga bagian dari sunnah Nabi. Dari tadi aku dengar kamu menghasut orang lain agar menjelek-jelekkan si Rudi, apa itu sunnah Kanjeng Nabi?!"

Makjlebbb...! Ucapan Mbah Sabdo kali ini benar-benar menusuk jantungku. Seketika berasa Malaikat Izrail mencabik-cabik nyawaku. Sakit. Air mataku sontak mengucur deras.

"Sudahlah, jangan menangis! Perbaiki dirimu dengan baik. Jika ingin berbuat baik kepada orang lain, berbuatlah dengan cara yang baik pula. Banyak kebaikan orang lain yang bisa kita ceritakan kepada saudara-saudara kita. Sayangnya, kita kerap melupakan ini yang sebetulnya juga merupakan sunnah Nabi. Jika ada rekan yang mempunyai 9 kebaikan dan 1 keburukan, ternyata kita lebih tertarik membicarakan 1 keburukan itu secara berulang-ulang kepada siapa saja dan mengabaikan yang 9."

"Betul, Mbah. Ternyata kita lebih suka mencela daripada memuji. Lebih suka membicarakan keburukan orang lain daripada kebaikannya," lanjut Adnan.

Buru-buru aku raih tangan Mbah Sabdo. Aku cium tangannya lalu kupeluk erat tubuhnya. Ia biarkan tangan dan bajunya basah oleh air mataku yang tak kuasa aku hentikan.

"Astaghfirullahal 'azhiim... Matur nuwun, Mbah Sabdo, panjenengan sudah menyadarkanku," ucapku lirih.


0 comments: