ads
Monday, August 11, 2014

August 11, 2014

"Pergilah, Nak! Jangan hiraukan ibumu. Kelak kita akan dipertemukan di akhirat," ucap sang Ibunda kepada putra tercintanya, Muhammad bin Idris.

Sebagai anak yang taat, patuh, dan berbakti kepada orang tua, Muhammad bin Idris sungguh-sungguh mengukuhi ucapan ibundanya itu. Muhammad bin Idris lalu berjalan meninggalkan ibundanya. Dia pergi menuju Irak untuk thalabul ilmi/mencari ilmu.

Bertahun-tahun Muhammad bin Idris berkonsentrasi belajar di negeri 1001 malam itu. Tidak ada sms, telepon, email, atau bahkan facebook dan twitter untuk dia berkomunikasi dengan ibundanya. Semua media komunikasi tersebut memang belum ada pada saat itu. Hanya kekuatan doa yang tetap menyatukan hati mereka.

Bertahun-tahun itu pula Muhammad bin Idris tidak bertemu ibundanya. Tetapi, ia berkeyakinan, sebagaimana ucapan ibundanya, mereka akan bertemu kelak di akhirat.

Karena keseriusan, kesabaran, dan keikhlasan Muhammad bin Idris dalam belajar, ia berhasil menjadi ulama ternama di Negeri 1001 Malam itu. Semua orang selalu menyandarkan persoalan keagamaan mereka kepada Muhammad bin Idris yang memang sangat 'alim.

Suatu ketika, saat sang Ibunda menunaikan ibadah haji, sekonyong-konyong ia dibuat penasaran oleh obrolan para jamaah haji dari Irak yang sering menyebut nama Muhammad bin Idris. Dari obrolan mereka, tampaknya nama itu sangat mereka muliakan.

"Muhammad bin Idris telah berijtihad bahwa hukum masalah ini adalah begini, dan hukum masalah itu adalah begitu," ujar seorang jamaah haji kepada kawannya.

Sang Ibunda yang kebetulan mendengar ucapan itu tidak kuasa untuk tidak bertanya.

"Siapa Muhammad bin Idris yang kalian maksud itu? Tolong beri aku ciri-ciri orang tersebut," ucap sang Ibunda.

Para jamaah haji itu lalu menceritakan semua hal tentang Muhammad bin Idris. Sontak sang Ibunda bahagia mendengarnya.

"Dia itu anak saya," terang Ibunda, "Tolong sampaikan kepadanya, aku sudah mengizinkannya untuk pulang dan bertemu denganku."

Sepulang menunaikan ibadah haji, pesan sang Ibunda benar-benar disampaikan kepada asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Idris.

"Aku tidak akan pernah menolak atau bahkan membantah ucapan ibundaku," ujar Muhammad bin Idris, "Karena itu, aku akan pulang untuk menemui ibundaku."

Karena ketulusan cinta masyarakat Irak kepada al-Imam Muhammad bin Idris, dengan suka cita mereka lalu menghadiahkan harta kekayaan dan ratusan onta kepada sang Imam. Beberapa orang pun ikut mengantar dan mengawal sang Imam pulang ke kampung halamannya.

Seorang pengantar melaju lebih dulu menuju rumah ibunda sang Imam untuk menyampaikan kabar kedatangan putra sang Ibunda.

"Nama saya Fulan. Saya membawa kabar gembira bahwa putra Anda sudah memasuki perbatasan desa. Sebentar lagi akan bertemu Anda."

"Apa yang dibawa anakku, Muhammad bin Idris?" tanya sang Ibunda.

"Berbahagialah dan berbanggalah karena putra Anda sudah menjadi seorang imam besar. Dia pulang membawa kekayaan yang banyak dan ratusan onta," terang sang pengantar.

"Katakan kepada anakku, aku tidak mau bertemu dengannya dalam keadaan ia seperti itu! Aku tidak pernah menyuruhnya pulang membawa kekayaan!"

Sang pengantar bergegas menyampaikan pesan sang Ibunda kepada al-Imam Muhammad bin Idris. Mendengar pesan itu, dengan ringan hati al-Imam membagikan semua kekayaannya itu kepada fakir-miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

"Cukuplah aku pulang membawa ilmu dalam hatiku dan kitab-kitab ini sebagai sahabat setiaku," ucap al-Imam Muhammad bin Idris sembari tersenyum.

Kembalilah sang pengantar menemui ibunda al-Imam Muhammad bin Idris. Dia menginformasikan bahwa sang Imam sudah membagikan semua hartanya kepada fakir-miskin.

"Syukurlah. Alhamdulillaah. Katakan kepada anakku, sekarang aku mengizinkannya pulang untuk bertemu denganku."

Nama sang Imam itu kini masyhur hingga seluruh negeri di muka bumi ini. Dialah Imam Syafi'i.




*) Fragmen indah nan mengharukan sekaligus menampar hati di atas diceritakan oleh Mbah Sabdo pagi ini sehabis Subuh di depan surau. Mbah Sabdo membiarkanku merenungi fragmen tersebut untuk mengais sendiri pelajaran-pelajaran penting darinya. Sekali lagi, penuturan Mbah Sabdo membuat aku tertunduk malu.

 

0 comments: